Hakikat
Kiai Kampung
Oleh: KH
Abdurrahman Wahid
Keberadaan
kiai kampung merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupa politik yang
sedang di bangun bangsa ini. Istilah “kiai kampung” adalah kata yang di gunakan
untuk menunjuk salah satu dari dua macam kiai sepuh dan sebangsanya, yaitu
mereka yang menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar seperti Lirboyo,
Langitan, Tebuireng dan sebagainya.
Kiai
kampung seringkali dihadapkan kepada “keharusan” menghadapi penilaian-penilaian
oleh kiai-kiai di level lebih atas tentang keadaan yang dihadapi. Tetapi mereka
juga harus mendengarkan pendapat orang-orang pinggiran, rakyat kecil, maupun
pihak-pihak lain yang tidak masuk ke lingkaran kekuasaan dalam suasana
keadaan-keadaan yang saling bertentangan itu, kiai kampung lebih sering
mendengar pendapat mereka yang di luar lingkar kekuasaan itu. Sudah tentu ini
merupakan pola hubungan timbal balik yang sehat antara kiai kampung dengan
rakyat yang mereka pimpin.
Pola
komunikasi antara keduabelah pihak ini tentu saja dapat dibalik, yaitu sangat
besarnya pengaruh dari orang-orang masyarakat itu dan kiai kampung. Karena itu,
dapatlah dipertanggungjawabkan anggapan bahwa kiai kampung lebih mengerti
keadaan dan perasaan rakyat kecil.
Apa yang
dikemukakan di atas, sebenarnya adalah proses pedangkalan pemahaman agama,
akibat berkembang masyarakat secara horizontal. Dahulu, para kiai utama
(seperti halnya KHM. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang) masih dapat
meluangkan waktu untuk mendengarkan warga masyarakat yang berbagai-bagai itu,
karena mereka berada di luar lingkaran kekuasaan pemerintah. Sebagai hasil,
komunikasi antara mereka dan rakyat kecil tetap terpelihara dengan baik.
Tetapi
sekarang, banyak kiai-kiai utama itu harus menghabiskan waktu untuk berhubungan
dengan orang-orang pemerintahan maupun elite kekuasaan. Ini berarti peluang
untuk berkomunikasi dengan orang biasa relatif agak berkurang.
Dari
keselruhan uraian di atas, dapat dibayangkan bagaimana besarnya perubahan
sosial dari perkembangan yang terjadi dalam hidup bermasyarakat. Hal-hal
seperti inilah yang sering luput dari perhatian kita. Belum lagi berbagai
perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat dari perjumpaan antara elite
politik dan para kiai sepuh membawa akibat-akibat yang tidak terduga sebelumnya.
Di lihat
dari sudut pandang ini, sebenarnya ilmu-ilmu sosial tertinggal dari
perkembangan keadaan dalam masyarakat luas. Ini antara lain dapat di lihat pada
penggunaan bahasa dalam masyarakat kita. Walupun bunyinya sama, ada perbedaan
besar dalam penggunaan bahasa yang sama itu oleh berbagai kelompok.
Kalangan
mahasiswa, lembaga Swadaya Masyarakat(LSM), dan para intelektual menggunakan
bahasa yang tidak sama dengan kelompok lain. Kaum birokrat umunya menggunakan
bahasa semu (euphemisme), seperti kata “diamankan” untuk menyatakan ditangkap.
Rakyat kecil, dengan demikian mendapati bahwa mereka berada di luar lingkaran
kekuasaan dalam segala hal, termasuk dalam komunikasi. Karena itulah, mereka
mengembangkan dua hal sekaligus, di satu pihak mereka melakukan komunikasi
intern dengan bahasa sendiri.
Bahasa
itu tidak sedikit mempunyai konotasi serius, umpama saja, mereka menggunakan
kata bonek (bondo nekat) untuk membuat euphemisme mereka sendiri atas keadaan
yang terjadi. Di sisi lain, mereka kembangkan sikap seolah-olah tidak peduli
kepadaperubahan yang terjadi, dan dengan denekian mengembangkan apa yang oleh
mantan presiden Amerika Serikat, mendiang Richard Nixon di sebut sebagai
“mayoritas yang membisu” (silent majority). Dari sinilah, kita lalu di paksa
menerima kebisuan sebagai alat komunikasi. Hal-hal seperti ini menunjukan kita
harus mampu memahami hakikat segala permasalahan, termasuk pemunculan kiai
kampung. []
Jakarta,
27 Maret 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar