10 Menit Gus Dur
Putuskan Pancasila itu Islami dan Final
Memutuskan persoalan
yang membutuhkan dasar pemikiran yang mendalam dan kajian serius tidaklah
mudah. Tetapi lain halnya ketika persoalan tersebut hadir di tangan KH
Abdurrahman Wahid (1940-2009) atau Gus Dur ketika memimpin rapat soal substansi
Pancasila sebagai dasar negara dan organisasi di Indonesia dalam Muktamar NU
tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur.
Setidaknya ada
beberapa alasan mendasar NU membahas Pancasila ke forum tertinggi organisasi,
Muktamar. Dasar bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh bangsa tidaklah
cukup bagi sejumlah ormas Islam di Indonesia. Meskipun NU sendiri tidak pernah
mempersoalkan keberadaan Pancasila karena dirancang sendiri secara teologis
maupun filosofis oleh KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur.
Menjelaskan hubungan
Islam dan Pancasila tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena jika hal
ini berhasil dilakukan NU, ormas Islam di Indonesia merasa terbantu secara
dasar syar’i. Sebab itu, Pancasila sebagai dasar mutlak dalam berbangsa dan
bernegara harus juga dijelaskan oleh NU untuk menegaskan bahwa lima sila yang
dipelopori oleh Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 tersebut dapat diterima
secara final sebagai pondasi negara yang Islami.
Riwayat ketika Gus
Dur secara mudah memutuskan bahwa Pancasila itu Islami dan final diceritakan
oleh salah satu sahabat Gus Dur, KH Ahmad Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus
Mus. Bahkan, Gus Mus sendiri merupakan pelaku sejarah dalam perumusan Pancasila
sebagai asas tunggal organisasi dalam Muktamar NU 1984 tersebut. Dia salah satu
kiai yang ditunjuk oleh Gus Dur untuk menjadi anggota dalam tim perumusan
deklarasi hubungan Islam dan Pancasila.
Muktamar NU 1984 juga
menjadi tonggak sejarah bagi organisasi para kiai pesantren ini untuk kembali
ke Khittah 1926. NU menegaskan diri sebagai jami’yyah diniyyah ijtima’iyyah
(organisasi sosial kegamaan) sesuai amanat pendirian organisasi pada 1926,
bukan lagi sebagai organisasi politik praktis.
Dalam Muktamar 1984
itu ada tiga komisi, salah satunya adalah komisi khittah yang membahas
paradigma, gagasan dasar, dan konsep hubungan Islam dan Pancasila. Dua komisi
lain membahas tentang keorganisasian yang dipimpin oleh Drs Zamroni dan komisi
AD/ART dipimpin oleh KH Tholhah Mansur. Dengan jumlah anggota rapat komisi yang
cukup banyak, mereka membahas secara terpisah di tempat yang berbeda.
Gus Dur memimpin
subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila. Salah seorang
cucu Hadltrassyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) ini kemudian
menunjuk lima orang kiai sebagai anggotanya, yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri dari
Rembang, Dr KH Hasan dari Medan, KH Zahrowi, KH Mukafi Makki, dan dr Muhammad
dari Surabaya.
Gus Dur membuka rapat
dengan bertanya kepada anggotanya satu per satu soal pendapatnya tentang
hubungan Islam dan Pancasila. Mereka menyampaikan pandangannya terhadap satu
per satu sila dalam Pancasila disertai sejumlah argumen keagamannya. Gus Dur
mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian.
Pada dasarnya,
Pancasila menurut para kiai dalam subkomisi ini tidak bertentangan dengan
Islam, justru sebaliknya sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Pancasila itu
Islami,” simpul mereka seperti diungkapkan Gus Mus.
Usai mereka menjawab,
Gus Dur berkata, “Bagaimana jika ini (Pancasila itu Islami, red) saja yang
nanti kita sampaikan, kita deklarasikan di hadapan sidang pleno Muktamar?”
tanya Gus Dur. Tanpa pikir panjang, mereka setuju, sepakat bulat, lalu rapat
ditutup. “Al-Fatihah!” Menurut pengakuan Gus Mus, kala itu Gus Dur tersenyum
manis, ya manis sekali.
Lalu Gus Mus
memberikan kesaksian, “Gus Dur hebat sekali. Rapat untuk sesuatu yang mendasar
dan pondasi bagi penataan relasi kehidupan berbangsa dan bernegara hanya
diputuskan dalam waktu 10 menit! Sementara komisi yang lain rapat sampai
berjam-jam bahkan hingga subuh untuk memutuskan pembahasan sesuai bidangnya
masing-masing.”
Dalam perhelatan
Muktamar yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
Sukorejo, Asembagus, Situbondo itu terpilih Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU dan
KH Achmad Siddiq (1926-1991) sebagai Rais ‘Aam. Kiai Achmad Siddiq ditunjuk
langsung sebagai Rais ‘Aam oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (selaku Ahlul
Halli wal Aqdi). Penunjukkan Kiai As’ad disepakati oleh berbagai pihak.
Sebagai salah satu
tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga berperan penting dalam ikut merumuskan
pondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH Achmad Siddiq menyampaikan sebuah
pidato. Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad Siddiq yang begitu
berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin:
“Dengan demikian,
Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa),
teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah
Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini
dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan
sosial.” ***
Riwayat tersebut
disarikan dari buku “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus” karya KH Husein Muhammad
(Noura Books, 2015).
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar