Industri
Kebohongan
Oleh:
Yudi Latief
Terbongkarnya
kelompok Saracen, sebagai salah satu jaringan industri kebohongan dan ujaran
kebencian, harus kita pandang sebagai puncak gunung es dengan kedalaman akar
persoalan yang lebih gawat. Pada dasarnya, merebaknya penetrasi pesan-pesan
hoaks ini mencerminkan dekadensi nalar-etis, nalar-literasi, dan nalar-ilmiah
dalam kehidupan bangsa.
Kehidupan
kota dan republik yang semestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus
ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai ”kota korup” (citta corrottisima)
atau apa yang disebut Al-Farabi sebagai ”kota jahiliah” (almudun
al-jahiliyyah).
Dekadensi
nalar-etis melemahkan rasa saling percaya dalam masyarakat. Pertama-tama,
kepuasan dan kepercayaan rakyat pada politik di negeri ini terus merosot.
Demokrasi yang semestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan, dan daulat
rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan, kekecewaan, dan ketidakberdayaan
rakyat.
Pada
tahap selanjutnya, ketika rakyat kehilangan kepercayaannya pada pusat-pusat
teladan, efek mimetik (peniruan) akan berkembang dengan membudayakan kebisaan
saling menipu, saling memperalat, dan saling mendustai antarsesama.
Membendung
industri kebohongan harus dimulai dari usaha memulihkan rasa saling percaya dan
kepercayaan publik pada politik. Kepercayaan bahwa warga negara akan
mendapatkan politik sesuai dengan perilakunya harus diubah dengan kepercayaan
bahwa politik tepercaya akan mendapatkan partisipasi politik yang sepadan
dengannya.
Pentingnya
memelihara trust dalam pemerintahan, kita bisa menyimak pernyataan Lee Kuan
Yew. ”Modal kami cuma kepercayaan dan keyakinan rakyat, kerja keras, hemat,
haus belajar, serta kesadaran bahwa tindakan korup akan menghancurkan segala
harapan.” Lantas ia tekankan, ”Jangan sia- siakan kepercayaan rakyat. Sebab,
modal terbesar untuk perubahan adalah kepercayaan dan keyakinan rakyat. Tugasku
adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami
demoralisasi.”
Masalah
trust ini bukan hanya penting dalam kehidupan politik, melainkan juga dalam
daya saing perekonomian suatu bangsa. Seperti dinyatakan oleh Francis Fukuyama
(1995), ”Kemakmuran suatu bangsa, dan juga kemampuannya untuk berkompetisi di
pasar global, dikondisikan oleh suatu karakteristik kultural yang bersifat pervasif,
yakni tingkat ’percaya’ (trust) yang secara inheren ada dalam masyarakat
tersebut.”
Industri
kebohongan menemukan lahan yang subur di tengah masyarakat dengan tingkat
kepercayaan yang rendah. Di sinilah titik genting yang kita hadapi. Tingkat trust
bangsa ini di mata dunia terus merosot, seperti tecermin dari menguatnya indeks
persepsi korupsi, country risk, buruknya etika kerja, serta sebutan sebagai
negara lembek (soft state).
Industri
hoaks juga berkembang pesat dalam konteks masyarakat dengan budaya baca yang
rendah. Berdasarkan studi Most Littered Nation in the World 2016, minat baca di
Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Saat yang sama, penggunaan
media sosial di negeri ini termasuk salah satu dari empat negara paling intens
di dunia. Penggunaan media sosial dapat dikatakan sebagai literasi semu.
Meskipun aktivitasnya memerlukan kemampuan baca-tulis, hakikat penggunaannya
merupakan perpanjangan dari tradisi kelisanan.
Budaya
demokrasi mengandaikan adanya empati dan argumentasi; yakni kesanggupan untuk
memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain serta kesanggupan
mengekspresikan pikiran secara tepat, rasional, dan terukur. Kemampuan empati
dan argumentasi ini bisa ditumbuhkan oleh kekuatan literasi (Lerner, 1958).
Tradisi tulis merupakan sarana olah ketepatan. Belajar baca-tulis secara aktif
merupakan wahana untuk belajar mengemukakan diri secara benar dan tepat dalam
pembicaraan lisannya (Olson, 1996).
Bersamaan
dengan rendahnya tingkat literasi, bangsa Indonesia juga memperlihatkan
kelemahan dalam nalar-ilmiah, bahkan dalam perkembangan terakhir mengarah pada
kecenderungan anti-intelektualisme.
Sutan
Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama
merisaukan fenomena seperti itu. ”Bagi kebanyakan orang-orang kita ’yang
bertitel’—saya pakai perkataan ini akan pengganti ’intelektuil’, sebab di
Indonesia ini ukuran orang bukan terutama tingkat penghidupan intelek,
melainkan pendidikan sekolah—bagi ’orang- orang yang bertitel’ itu pengertian
ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka, bukan keuntungan batin. Bagi mereka ilmu
itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup, berubah-ubah,
dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.”
Apa yang
dicatat Bung Sjahrir pada 20 April 1934 itu situasinya saat ini tidak tambah
membaik, bahkan memburuk. Upaya peningkatan sumber daya manusia hanya
dilandaskan pada tingkat pendidikan formal, bukan pada penyediaan ekosistem
yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta, dan olah karsa
(kreativitas). Perolehan ijazah lebih dikedepankan daripada penguasaan ilmu.
Bertambahnya jumlah golongan terdidik tidak mendorong produktivitas dan
kapasitas ilmiah bangsa ini. Tanpa tradisi ilmiah yang kuat, pesan-pesan
kebohongan mudah tersebar tanpa penyaringan prosedur-prosedur verifikasi
ilmiah.
Keadaan
demikian membuat negara tanpa tuntunan pengetahuan-kebijaksanaan yang kuat,
yang menempatkannya dalam kondisi rawan. Kebebasan demokratis dipertaruhkan.
Sebab, seperti kata Edmund Burke, ”Di antara gugus manusia yang cenderung
berbohong dan korup, kebebasan tak bisa bertahan lama.” []
KOMPAS, 5
September 2017
Yudi
Latif | Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar