Kamis, 25 Juli 2013

BamSoet: Rusuh LP, dari Kerobokan ke Tanjung Gusta

Rusuh LP, dari Kerobokan ke Tanjung Gusta

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI/
Presidium Nasional KAHMI

Rusuh di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta,  Medan, Sumatera Utara, akan menginspirasi warga binaan di LP lain. Kemungkinan ini  perlu diwaspadai Kementerian Hukum dan HAM. Maka, pembenahan manajemen LP harus diprioritaskan, sementara PP No.99/2012 tak layak dipertahankan.

Kalau Pemerintah benar-benar mau belajar dari rusuh di LP Kerobokan, Denpasar, Bali, narapidana (Napi) LP Tanjung Gusta mungkin tidak akan pernah berontak atau membuat rusuh. Sayang, pemberontakan Napi Kerobokan tahun lalu itu rupanya dimaknai Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai peristiwa biasa-biasa saja yang tak bermakna sama sekali. Buktinya, tidak ada aksi terencana untuk membenahi kebobrokan manajemen LP.

Semula, publik berasumsi bahwa inspeksi mendadak (sidak) yang begitu sering dilakukan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana ke sejumlah LP di berbagai daerah merupakan langkah awal dan bagian dari program pembenahan manajemen LP. Ternyata, publik keliru. Dalam Sidak-nya, Denny lebih menyoroti perlakuan manajemen LP terhadap Napi kasus korupsi dan kasus narkoba. Dia menutup mata atas kebobrokan LP yang begitu sering dikecam publik.

Padahal, kebobrokan manajemen LP sudah diakui Kemenkumham sendiri. Pasca rusuh di LP Kerobokan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin sempat menyatakan bahwa kondisi LP yang kelebihan kapasitas terjadi di mana-mana.

Kerusuhan di LP Kelas IIA Kerobokan terjadi pada Selasa malam, 21 Februari 2012. Bangunan kantor LP itu terbakar. Hampir semua  arsip hangus. Rusuh LP Kerobokan memang dipicu perkelahian antarwarga binaan. Tetapi, muara persoalannya adalah diskriminasi perlakuan terhadap Napi yang menimbulkan ketidaknyamanan. Diskriminasi dan ketidaknyamanan disebabkan oleh jumlah warga binaan yang mencapai tiga kali lipat dari kapasitas LP. Bayangkan, LP Kerobokan didesain untuk menampung 361 Napi. Saat kerusuhan terjadi, LP ini dihuni 1.238 warga binaan.

Akar masalah di LP Tanjung Gusta pun sama, yakni ketidaknyamanan yang dirasakan warga binaan LP karena setiap harus hidup berhimpitan. Maka, hanya karena aliran listrik padam dan kelangkaan air bersih, kekesalan mereka bisa langsung berubah menjadi amarah tak terkendali. Kerobokan dan Tanjung Gusta pun dibakar.

Aspirasi paling utama warga binaan adalah perlakukan mereka dengan adil dan manusiawi, jangan ada diskriminasi, dan berikan standar kenyamanan sebagai narapidana.  Oleh karena kelebihan jumlah penghuni terjadi di banyak LP, Kemenkumham kini harus mewaspadai kemungkinan perlawanan serupa terjadi di LP lain. Misalnya di LP Kelas II A Pekanbaru. Kapasitas LP ini hanya mampu menampung 361 Napi, tetapi sudah dihuni 1.238 warga binaan.

Sekali lagi, akar masalah atau potensi rusuh di LP adalah jumlah penghuni yang jauh melampui kapasitas tampung. Kelebihan jumlah penghuni menggoda sipir untuk mempraktikan diskriminasi karena fasilitas standar bagi Napi otomatis berkurang. Diskriminasi menyebabkan ketidaknyamanan, dan membuat komunitas Napi di LP bersangkutan terkotak-kotak. Dari situasi yang demikian, terbangunlah potensi konflik antarwarga binaan. Begitu terjadi pertikaian antarkelompok Napi, api pertikaian itu dengan cepat menjalar dan berubah menjadi kerusuhan di dalam lingkungan LP. Seperti itulah kronologi rusuh di LP Tanjung Gusta dan Kerobokan.

Maka, marilah belajar dari muara persoalan rusuh di LP Tanjung Gusta dan Kerobokan. Upaya untuk mereduksi potensi rusuh itu harus terfokus pada perbaikan manajemen LP. Kemenkumham harus segera merumuskan cara atau strategi untuk mengakhiri kelebihan kapasitas tampung pada sejumlah LP.  Para Napi masih memiliki hak azasi untuk berkeluh kesah tentang ketidaknyamanan akibat hidup berhimpit-himpitan setiap harinya. Dengarkan dan tanggapilah keluhan mereka.

Tidak Layak        

Dari data atau catatan yang bisa dipelajari, Potensi rusuh atau perlawanan warga binaan di LP Tanjung Gusta  sesungguhnya sudah terlihat begitu nyata.  Sebab, LP itu dihuni 2.660 narapidana dan tahanan, padahal kapasitas tampungnya hanya 1.054 narapidana.

Jelas bahwa Kemenkumham sama tidak peduli pada potensi perlawanan warga binaan di LP Tanjung Gusta. Padahal, orang bodoh sekali pun paham dan sadar bahwa penampungan yang melebihi kapasitas selalu mengandung risiko alias bom waktu. Dan,  bom waktu di LP Tanjung Gusta sudah meledak baru-baru ini.

Kesalahan tidak bisa sepenuhnya dituduhkan pada petugas LP Tanjung Gusta. Manajemen LP hanya dipersiapkan untuk mengawasi dan melayani 1.054 Napi, bukan 2.660 Napi dan tahananan.  Diyakini bahwa  manajemen LP Tanjung Gusta sudah mengeluhkan masalah ini, tetapi tidak ditanggapi Kemenkumham. Mengawasi dan melayani lebih dari 2.500 Napi dan tahanan bukanlah pekerjaan sederhana. Apalagi, beberapa di antaranya berstatus Napi teroris.

Kerusuhan di Tanjung Gusta dikait-kaitkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 yang mengatur Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP ini memang  tidak layak dipertahankan.  Dalam PP No. 99/2012, pasal 34 mengatur tata cara mendapatkan remisi, Pasal 36 tentang tata cara mendapatkan asimilasi , Pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, dan Pasal 43 tentang Pembebasan Bersyarat. Semua ketentuan ini diberlakukan pada terpidana kasus korupsi, kasus narkoba dan kasus terorisme.

Tak layak untuk dipertahankan karena PP No.99/2012 sangat mudah untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak berwenang melaksanakan PP ini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa remisi dalam praktiknya ibarat barang dagangan. Ekstrimnya, Anda mau dapat remisi? Berani bayar berapa? Model pertanyaan seperti ini sudah barang tentu hanya layak dialamatkan kepada terpidana kasus korupsi dan terpidana kasus narkoba. Mengapa? Karena diasumsikan bahwa para terpidana dua kasus ini masih kaya raya dengan pemilikan jumlah uang yang masih sangat besar.

Para terpidana dua kasus ini berani bayar berapa saja untuk mendapatkan keringanan hukuman mereka. Masih ingat heboh grasi untuk Meirika Franola alias Ola, terpidana mati dalam kasus narkoba? Demikian geramnya sehingga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) waktu itu, Mahfud M.D. menduga kuat jaringan mafia narkoba sudah berhasil menembus Istana Negara.

Proses untuk mendapatkan grasi itu pasti cukup panjang. Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan rekan-rekan Ola agar rekomendasi grasi itu bisa sampai ke meja presiden? Artinya, selain bisa diperdagangkan, PP No.99/2012 pun bisa dijadikan alat untuk memeras. Maka, belajar dari kasus grasi untuk Ola. PP ini sebaiknya dibatalkan agar tidak lagi terjadi ekses di kemudian hari.

Sejak masih digagas oleh Denny Indrayana, ide pengetatan remisi bagi terpidana kasus korupsi, kasus narkoba dan kasus terorisme sudah mengundang perdebatan. Juga abnormal karena semula digunakan kata moratorium remisi. []



Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar