Selasa, 23 Juli 2013

Mahfud MD: Rasionalitas dari yang Irasional


Rasionalitas dari yang Irasional

 

Ini terjadi saat saya berbuka puasa di Masjidilharam (Makkah) pada Selasa, 9 September 2008. Ketika azan magrib berkumandang, saya langsung berbuka dengan bersemangat. Tangan kanan memegang segelas air zamzam, tangan kiri memegang kurma. Maunya minum zamzam dengan tangan kanan dan makan kurma dengan tangan kiri agar nikmat dan praktis.

 

Tapi, seorang Arab bernama Abdurrahman yang duduk di samping saya menyuruh saya untuk meletakkan kurma di mangkuk dan minum air zamzam dulu. ”Sunahnya makan dan minum harus memakai tangan kanan. Letakkan dulu kurma, lalu minum air zamzam, kemudian makanlah kurma dengan tangan kanan,” kata Abdurrahman.

 

Meski langsung menurut, karena orang itu bermaksud baik, saya tetap mencoba mempersoalkan. ”Apa bedanya? Kan sama saja tangan kanan dan kiri diciptakan Allah. Rasionalitasnya kan begitu,” kata saya.

 

Abdurrahman menjadi serius. Dia mengungkapkan, beragama Islam itu bukan soal rasionalitas semata-mata. Saya pun menganggut-anggut. Sebab, dalam pemahaman saya, Islam memang menerima semua yang rasional, tapi tidak menerima rasionalisme.

 

Artinya, semua yang rasional bisa diterima oleh Islam. Tapi, ada juga hal-hal yang tidak rasional harus kita terima sebagai kebenaran atau keharusan. Apalagi, yang rasional itu sebenarnya tidak rasional karena kalau dirunut selalu ada ujung akhir yang tidak bisa lagi dijawab secara rasional.

 

Abdurrahman menekankan, tuntunan makan atau memulai sesuatu dengan tangan kanan itu adalah sunah Rasul yang tak perlu dipersoalkan rasionalitasnya. Itu sama halnya dengan perintah salat fardu yang harus lima waktu, wukuf di Arafah saat berhaji, memulai puasa Ramadan atau ber-Idul Fitri yang harus tanggal 1. Semua harus dilaksanakan tanpa dapat ditanya alasan rasionalnya. ”Semua tuntunan ibadah mahdhah harus diikuti tanpa menyoal rasionalitasnya,” kata Abdurrahman.

 

Pembicaraan kami kemudian sampai pada soal jatuhnya tanggal 1 Ramadan atau 1 Syawal yang di Indonesia sering diributkan. Sebagai warga Saudi yang konservatif, Abdurrahman menyatakan bahwa jatuhnya 1 Ramadan dan 1 Syawal yang harus ditandai dengan ”melihat bulan dengan mata” tak perlu dipersoalkan rasionalitasnya.

 

Katanya, ada hadis Nabi yang terang soal itu, Shuumuu biru’yatihi wa afthiruu bi ru’yatihi (berpuasalah kamu jika melihat bulan dan berharirayalah jika melihat bulan). Praktiknya, Rasulullah selalu memulai dan mengakhiri puasa jika melihat bulan tanggal 1 dengan mata (ru’yatul hilaal bil ‘ain).

 

Karena itu, Rasul juga bersabda agar ”jika kamu tidak dapat melihat bulan dengan mata, maka genapkanlah puasamu menjadi 30 hari”. Maksudnya, kalau sesudah berpuasa 29 hari, bulan tanggal 1 Syawal bisa dilihat, berpuasa diakhiri. Tapi, kalau bulan tak terlihat, puasa harus digenapkan 30 hari untuk kemudian dapat berhari raya tanpa harus melihat bulan lagi. Itu tak perlu dicari atau dipertentangkan rasionalitasnya dengan ilmu falak atau ilmu hisab. Sebab, untuk melihat bulan pun, tentu lebih dulu digunakan perhitungan ilmu falak. Dalam hadisnya, Rasul menyatakan biru’yatihi (kalau ”melihat” bulan), bukan menyatakan biwujudihi (kalau ”ada” bulan) karena hitungan ilmu.

 

Di Indonesia, kita sering terlibat dalam keributan yang tidak perlu karena sering terjadi perbedaan antara penetapan berdasar rukyat (penglihatan dengan mata) dan hisab (penglihatan dengan ilmu).Dalam perkembangannya memang ada pendapat kuat bahwa rukyat (melihat) itu bukan hanya dengan mata (bil ‘ain), tapi juga bisa dengan perhitungan (bil’ilm). Ilmu pengetahuan dan teknologi falak sekarang sudah sangat maju, sehingga bulan tanggal 1 sudah bisa ditentukan dengan tepat tanpa harus melihat bulan dengan mata. Kepastian ilmu falak (astronomi) untuk menghitung posisi bulan (dan planet) dengan tingkat ketepatan 100 persen itu semua juga berasal dari Allah.

 

***

 

Lalu, mana yang benar? Melihat dengan mata (ru’yah bil’ain) atau melihat dengan ilmu falak (ru’yah bil ilm)? Insya Allah dan alhamdulillah, pada 2008 ini, umat Islam Indonesia takkan terlibat dalam perbedaan tanggal jatuhnya hari raya. Sebab, hasil perhitungan falakiyah Muhammadiyah dan NU sama, 1 Syawal akan jatuh pada 1 Oktober. Tapi, kalaupun suatu saat perbedaan itu harus terjadi lagi, tak perlulah bertengkar. Sebab, semua berdasar hasil ijtihad yang alat-alatnya diberikan oleh Allah.

 

Menurut Nabi, sejauh persyaratan dan peralatan ilmunya terpenuhi, tak ada ijtihad yang tak berpahala. Sebuah ijtihad yang benar mendapat dua pahala, sedangkan ijtihad yang (ternyata) salah mendapat satu pahala.

 

Yang berdosa itu kalau bertengkar dan saling mengejek karena perbedaan dalam menentukan jatuhnya tanggal 1. Sedangkan pilihan atas jatuhnya tanggal 1 itu, apakah dengan melihat atau dengan menghitung, tak ada yang salah. Semua berpahala karena dasarnya adalah ijtihad dengan alat yang diberikan oleh Allah.

 

Hanya, tetaplah harus berpedoman bahwa rasionalitas ilmiah tak bisa dipaksakan dalam tata cara ibadah mahdhah (ritual). Ibadah mahdhah itu pada umumnya tak dapat dirasionalkan dalam pemahaman kita tentang rasionalitas itu. Bahkan rasionalitas ibadah mahdhah tersebut justru terletak pada irasionalitasnya.

 

Dimuat di Jawa Pos

 

Moh. Mahfud MD, Akademisi

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar