Kamis, 11 Juli 2013

(Ngaji of the Day) Mencari Titik Temu NU-Muhammadiyah


Mencari Titik Temu NU-Muhammadiyah

 

Seperti diperkirakan sebelumnya, penetapan awal Ramadhan 1434 H tahun ini cukup ramai. Sebagian umat Islam yang mengikuti Muhammadiyah menjalankan puasa lebih dulu, berbeda dengan ketetapan pemerintah. Bahkan jauh sebelum pemerintah menggelar sidang istbat, ormas dimaksud sudah menetapkan awal Ramadhan dengan metodenya sendiri.

 

Kontan perbedaan ini menjadi bahan berita menarik bagi berbagai media massa. Secara “news” penetapan awal Ramadhan itu sendiri sudah menarik karena melibatkan rasa ingin tahu masyarakat, apalagi jika ada yang berbeda.

 

Beberapa media menyederhanakan perbedaan penetapan awal bulan qamariyah itu sebagai perbedaan antara kubu hisab dan kubu rukyat. Kubu hisab diwakili oleh Muhammadiyah yang menjalankan puasa lebih dulu. Sementara kubu rukyat diwakili oleh NU yang didukung oleh pemerintah dan beberapa perwakilan ormas yang menghadiri sidang itsbat.

 

Semestinya perbedaan tidak bisa disederhanakan hanya persoalan hisab da rukyat saja. Menempatkan posisi hisab dan rukyat secara berhadapan akan menjauhkan masyarakat dari akar perbedaan. Kalau diikuti betul, mereka yang melakukan rukyat pasti juga melakukan hisab atau perhitungan astronomis. Misalnya untuk mengetahui kapan matahari akan terbenam, dimana posisi hilal, bagaimana kemiringannya, dimana posisi hilal dan berapa derajat jaraknya dengan matahari, berapa ketinggian hilal saat matahari tenggelam, dan berapa lama hilal berada di atas ufuk, semuanya pasti memerlukan data hisab.

 

Penentuan awal bulan selalu menggunakan hisab dan dalam perkembangannya data hisab yang dihasilkan tidak jauh berbeda antar beberapa metode. Para ahli hisab sudah hampir menemukan titik akurasi yang sepadan karena didukung berbagai alat yang canggih.

 

Perbedaan justru muncul dari bagaimana menyikapi data hisab. Muhammadiyah memakai data hisab itu sebagai sumber utama penetapan awal bulan dengan memakai satu teori "wujudul hilal", yakni ketika peristiwa ijtima’ atau konjungsi atau bulan baru terjadi sebelum matahari tenggelam, maka keesokan harinya sudah dinyatakan awal bulan. Teori ini tidak mengharuskan adanya rukyatul hilal, karena jika dalam kondisi tertentu saat waktu ijtima’ sangat dekat dengan waktu matahari tenggelam, posisi hilal sangat rendah sehingga tidak akan bisa dilihat bumi.

 

Sementara NU menempatkan data hisab sebagai pendukung pelaksanaan rukyat. Jadi hisab bukanlah penentu awal bulan, namun hanya sebagai alat bantu pelaksanaan rukyat. Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW sudah sangat sharih dan bahkan seperti satu petunjuk pelaksanaan atau juklak, bahwa penetapan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal didahului dengan proses rukyatul hilal. Dengan demikian teori wujudul hilal tidak bisa diterima karena mengabaikan proses rukyatul hilal yang jelas-jelas diperintahkan oleh nash.

 

Persoalannya saat ini bukan bagaimana menyikapi perbedaan, karena masyarakat sudah sangat siap dengan berbagai perbedaan. Juga bukan soal apakah wajib mengikuti pemerintah atau tidak. Karena bagaimanapun juga Kementerian Agama yang memegang mandat sebagai wakil dari pemerintah adalah jabatan politis bisa diisi oleh orang yang lebih dekat dengan satu ormas tertentu. Persoalannya adalah kemauan para ahli falak dan ahli fikih lintas ormas untuk mempertemukan satu kriteria di bawah satu payung Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.

Sidang itsbat juga bukan solusi, karena metode sidang itsbat yang menggunakan pedoman hisab dan rukyat sekaligus, pasti akan memenangkan rukyat, tepatnya memenangkan NU. Kritik yang sempat dilontarkan oleh Muhammadiyah, bahwa sidang itsbat hanya menghabiskan anggaran ada benarnya juga. Jadi sidang atau pertemuan antar ormas jika dimaksud untuk menyatukan kriteria penentuan awal bulan mestinya diselenggarakan jauh hari sebelum datangnya awal bulan qamariyah, terutama jika data hisab menunjukkan adanya potensi perbedaan.

 

Jika perbedaan dalam penetapan awal bulan qamariyah bisa disederhanakan menjadi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, semestinya solusi ada di tangan para ahli falak/astronomi dari kedua ormas itu. Dalam sejarahnya kedua ormas juga tidak menggunakan satu kriteria secara permanen. Sejak awal berdiri, Muhammadiyah juga memakai metode rukyatul hilal dalam penetapan awal bulan qamariyah. Kriteria Wujudul hilal baru dipakai pada sekitar tahun 50-an.

 

NU juga telah melakukan berbagai terobosan di bidang ilmu falak, antara lain mengadakan penyerasian berbagai metode hisab yang dipakai di kalangan pesantren, sehingga hasil perhitungan antara berbagai metode atau berbagai kitab ilmu hisab bisa ditengah-tengahi. Pada tahun 2006 NU juga telah menerapkan metode "imkanur rukyat" atau visibilitas pengamatan dan diaplikasikan dalam almanak yang diterbitkan oleh Lajnah Falakiyah. penjelasan dari kriteria ini menyebutkan bahwa jika hilal dinyatakan belum imkanur rukyat maka kesaksian siapa pun melihat hilal akan ditolak, yang artinya secara tidak langsung NU sudah memakai hisab dalam penetapan awal bulan. Dan dalam konsisi seperti ini, seperti halnya dalam penetapan awal Ramadhan tahun ini, sebenarnya bagi NU tidak diperlukan adanya rukyat.

 

Artinya titik temu itu sangat mungkin ada, hanya dengan sedikit mengubah kriteria penetapan awal bulan qamariyah masing-masing ormas yang berbeda, yang dalam sejarahnya juga pernah mengalami perubahan. []

 

(A. Khoirul Anam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar