Selasa, 16 Juli 2013

Kang Said: Meraih Berkah Ramadhan


Meraih Berkah Ramadhan

Oleh: Said Aqil Siradj

Harian Kompas, Jumat, 12 Juli 2013

 
 

Waktu terus berjalan. Sering orang merasakan betapa cepat hari berganti. Berganti waktu, berganti pula segala hal. Usia bertambah, tubuh beralih rupa. Untung atau malang mengikuti iringan waktu, saling menyapa. Tawa, gembira, sedih, dan tangis berjalan menyandingi perjalanan waktu. Tak terasa pula, yang kita kerjakan belum mencapai keinginan. Sehari semalam rasanya belumlah cukup bergulat dalam amal.

 

Seorang karyawan yang pagi hingga malam bekerja sekonyong-konyong tersadarkan betapa rutinitas telah membuatnya kehilangan waktu senggang. Pengusaha yang banting tulang memburu sukses sekonyong-konyong pula tersadarkan betapa hari-hari yang ia lalui tak menyisakan waktu untuk melepas penat dan berkumpul bersama keluarga. Menukil kata-kata Ali bin Abi Thalib, waktu bagaikan pedang. Maknanya, siapa yang tak waspada dan tak mampu mengelola waktu dengan baik, maka dia akan terpancung sendiri oleh cepatnya waktu berlalu.

 

Dalam melesaknya perjalanan waktu itu, tak terasa kita akan berjumpa lagi dengan Ramadhan. Ada penantian dan pengharapan. Bulan yang penuh kesak- ralan dan keberkahan ini bolehlah diibaratkan sebuah "medan" yang penuh godaan dan tantangan. Dan apakah kita berhasil memenangi pertarungan itu, ini yang sejatinya perlu terus-menerus menjadi refleksi kita.

 

Pemaknaan sakralitas


Nama Ramadhan yang berarti 'panas terik matahari' merupakan satu-satunya yang disebutkan dalam Al Quran surah al-Baqarah Ayat 18 yang berbunyi, "Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk manusia". Sebutan untuk bulan Ramadhan pun berbilang nama, seperti syahrul najah (bulan keberuntungan), syahrul juud (bulan kedermawanan), syahrul quran (bulan Al Quran diturunkan), syahrul rahmah (bulan pelimpahan rahmat), syahrul shabri (bulan kesabaran), syahrul tilawah (bulan memperbanyak membaca Al Quran), dan syahrul Shiyam (bulan wajib berpuasa).

 

Sakralisasi Ramadhan sesungguhnya telah terjadi sebelum kehadiran Islam di tanah Arab. Dalam telaah Khalil Abdul Karim (2003), kalangan mutahannifin, yaitu penganut tradisi agama hanif/Ibrahim, telah melaksanakan tradisi menyambut Ramadhan. Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad, saban datang bulan Ramadhan akan mengencangkan kain sarung (yang membelit pinggangnya) lalu bertolak menuju Goa Hira untuk menyepi (khalwat) di sana serta memerintahkan masyarakat untuk menjamu kaum miskin sepanjang bulan Ramadhan.

 

Dan di bulan Ramadhan dititahkan bahwa setiap Muslim diwajibkan berpuasa sebulan penuh. Benar, dari sisi pandang syariat, puasa sangat identik dengan pengekangan lahiriah yang biasa diartikulasikan dengan "menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan dengan istri dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari". Hal ini dapat dirunut dari makna puasa secara bahasa yang berasal dari bahasa Arab shama, yang berarti 'amsaka', yaitu menahan, mengekang, berhenti, atau tidak bergerak.

 

Kata shama ini juga merujuk pada aktivitas batiniah. Puasa juga bermakna menahan hati dari berbagai hal-hal negatif yang bisa merusak jiwa. Dalam berpuasa seorang Muslim sebenarnya dilatih menyinergikan antara dua eksistensi yang berbeda, yaitu jasmaniah dan rohaniah, sebab di dalam rohani kita terdapat ide-ide kebaikan yang nantinya akan diejawantahkan oleh jasmani dengan sikap hidup keseharian.

 

Dalam jagat rohaniah, manusia mempunyai beberapa ornamen, di antaranya adalah qalb dan dlamir. Biasanya qalb diartikan dalam bahasa Indonesia dengan 'hati'. Akan tetapi, makna sebenarnya bukanlah merujuk pada segumpal daging yang terletak di dalam rongga tubuh manusia, melainkan lebih menunjuk pada sesuatu yang bersifat rohani yang metafisik dan bukan jasmaniah. Qalb inilah yang sering juga disebut sebagai mata hati, eye of heart, atau bashirah. Bashirah mempunyai potensi melihat kebaikan dan keburukan. Bashirah adalah ruang dalam diri manusia yang dapat memilah antara yang baik dan yang buruk. Bashirah merupakan alat pendeteksi yang dianugerahkan Allah untuk manusia.

 

Apabila bashirah hanya bisa melihat dan memilah antara yang baik dan yang buruk, maka dlamir berfungsi memotivasi manusia berbuat kebaikan dan menjauh dari hal-hal yang buruk. Oleh karenanya, dlamir juga dapat diartikan sebagai moral sehingga jika dilihat dari sisi kualifikasi, konteks, dan batasannya, dlamir (moral) dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, dlamir ijtima'i, yakni moralitas yang terbentuk karena lingkungan dan bersifat sosial. Di sini moralitas lahir sebagai kesepakatan secara sosial. Kedua, dlamir qanuni, yaitu moralitas yang terbentuk karena norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan bersifat legal. Dan ketiga, adalah dlamir dini, yakni moralitas berdasarkan petunjuk agama.

 

Nah, puasa pada dasarnya merupakan pekerjaan dlamir, baik dlamir ijtima'i, qanuni, maupun dlamir dini. Di dalam puasa terkandung berbagai macam aspek yang tidak terbatas pada masalah keagamaan saja, namun juga norma dan sosial. Ketika kita puasa dengan kesungguhan hati, hanya karena Allah, maka secara otomatis kita telah ikut menjaga kestabilan lingkungan, keamanan, dan ketertiban. Karena sebagai seorang yang menjalankan puasa (shaim), kita tidak akan melangkahkan kaki dan mengayunkan tangan untuk hal-hal yang keji dan buruk.

 

Melampaui rutinitas


Puasa Ramadhan jangan sampai sekadar menjadi simbol ibadah yang belum memberikan makna spiritual-transformatif. Ibarat orang yang pergi ke kantor saban hari, berangkat pagi pulang sore, sehingga sudah tidak "berasa" apa-apa, kecuali rasa lelah dalam berburu nafkah. Puasa Ramadhan setiap tahun datang sehingga akan memudahkan orang menjadikannya semata rutinitas dan banalitas. Yang dilakukan hanya itu-itu saja, tanpa ada peningkatan sikap dan perilaku yang lebih dahsyat. Perlu diingat bahwa setiap perintah agama pasti menyimpan banyak hikmah dan pelajaran bagi manusia. Karenanya, apa yang sering dinyatakan bahwa agama teralienasi dari pesan moral dan ajaran agama yang formal, janganlah sampai terjadi.

 

Kenyataan sering berbalik-balik. Lalu banyak yang melihat dampak puasa belum ditumbuhkan dalam kehidupan konkret. Buktinya, berbagai bentuk kezaliman terus merajalela, korupsi masih menjadi kelaziman, kejahatan terus meningkat, kekerasan tetap marak, dan proses dehumanisasi terus berlangsung dalam kehidupan.

 

Ajaran Islam masih dipahami secara formalis-skripturalis. Ini merupakan "jebakan" formalitas yang parsial sehingga belum mampu membangkitkan spiritual umat dalam menghadapi kondisi riil masyarakat yang tengah dilanda demoralisasi individual dan sosial ini.

 

Ada hadis, "Banyak di antara umat Islam yang tidak mendapati apa-apa (hasil) dari puasanya, kecuali rasa lapar dan haus". Di sini kita diingatkan bahwa hakikat puasa adalah pengendalian diri, self control.

 

Seorang mukmin yang tangguh pastilah terhujam sifat-sifat kebaikan, mahmudah, yang menjadi modalitas untuk resistensi dan pengembangan diri. Dan juga, seorang mukmin akan mampu memaknai waktu hidupnya untuk senantiasa berperilaku yang lurus, menjauhi segala keburukan.

 

Nah, di sinilah rutinitas puasa Ramadhan akan meraih makna transformatif yang dimulai dari diri-pribadi ke masyarakat dan negara.

 

Said Aqil Siradj

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

 

Sumber: Kompas Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar