Surat HAMKA untuk KH
Mahfudz Shiddiq tentang Ijtihad dan Taqlid
Berbeda organisasi
dan pemahaman merupakan hal biasa bagi tokoh-tokoh umat Islam pada masa lalu.
Berdebat terbuka atau polemik di surat kabar mereka lakukan tanpa mengurangi
kehangatan saat bertemu di satu kesempatan. Ada yang lebih tinggi dari
organisasi yaitu ukhuwah islamiyah.
Ada kisah saling
menghormati antara tokoh NU dan Muhammadiyah yaitu antara KH Idham Chalid
(pernah Ketum PBNU) dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang dikenal Buya HAMKA
(tokoh Muhammadiyah).
Konon kedua tokoh itu
pernah berjamaah Shalat Subuh. Kiai Idham menjadi imam. Meskipun ia orang NU,
memilih tidak membaca qunut karena jamaah di belakangnya ada Buya HAMKA.
Sebaliknya ketika Buya HAMKA menjadi imam Shalat Subuh, ia justru membaca
qunut.
Jauh sebelumnya, di
tahun 1940, saat menjadi pengarang Pedoman Islam di Medan, Buya HAMKA juga
mengapresiasi pandangan Ketua Umum Hoopdbestuur Nahdlatoel Oelama
KH Mahfudz Shiddiq tentang ijtihad dan taqlid. Apresiasi itu
disampaikannya dalam bentuk surat.
Berikut surat HAMKA
untuk kiai asal Jember tersebut yang dimuat Berita Nahdlatoel Oelama No 17
tahun 9 edisi 4 Juli 1940 dengan ejaan yang disesuaikan:
YTH K. Mahfudz
Shiddiq
Assalamau’alaikum wr.wb.
Karangan kiai yang
akhir, ijtihad dan taqlid sudah saya terima, dan saya baca isinya dengan
teliti. Setelah saya baca dan banding, dalam garis besarnya, boleh dikatakan
bersamaan paham kita dalam hal ini. Karena menyatakan paham sebagai paham kiai
inilah, maka saya mendapatkan pukulan dari kiri dan kanan sehingga dituduh
tidak “kaum muda” lagi.
Moga-moga karangan
kiai ini tersiarlah sebanyak-banyaknya dalam kalangan umat kita sehingga tidak
terdapat lagi ifrath demikian juga tafrith di dalam memahamkan agama.
Kalau tidak ada halangan insya Allah akan saya bicarakan (resensi) di dalam Pedoman Islam. Sambutlah salam saya.
Kalau tidak ada halangan insya Allah akan saya bicarakan (resensi) di dalam Pedoman Islam. Sambutlah salam saya.
Wassalam
H. Abdulmalik K.A.
Pengarang Pedoman
Islam di Medan
Sebagai catatan, pada
masa-masa itu, umat Islam diramaiakan dengan perdebatan furu'iyah berikut
ijtihad dan taqlid. Hal itu merupakan gelombang yang terjadi di Timur Tengah
kemudian dicopy paste di Hindia Belanda.
Mereka kemudian
mengarahkan sasarannya kepada tradisi umat Islam Nusantara yang telah
berkembang berabad-abad. Istilah bidah, kolot, tradisional, tua pun mulai
dilekatkan untuk membedakan dengan mereka yang mengklaim murni, baru, modern,
dan muda. Jargon mereka, kembali ke Al-Qur'an dan hadits.
Sasaran itu tiada
lain diarahkan kepada NU sebab dengan tegas di AD/ART NU menyebutkan sebagai
kalangan yang bermazhab bepegang kepada salah satu dari empat mazhab.
Tentu saja ulama-ulama
NU mempraktikkan bermazhab itu bukan tanpa dalil dari Al-Qur'an dan hadits
juga. Diserang oleh kalangan lain, para kiai NU mengemukakan
argumentasi-argumentasinya. Salah satunya dalam majalah Berita Nahdlatoel
Oelama.
KH Mahfudz Shiddiq,
yang pada musa mudanya pernah nyantri dari Makkah dan Tebuireng tampil sebagai
pembela bermazhab dengan mengupas ijtihad dan taqild di majalah itu. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar