Bolehkah Ayah Tiri Menjadi
Wali Nikah?
Pembaca yang budiman, sebagaimana kta
ketahui, sebuah pernikahan tidak mungkin sah dilaksanakan tanpa keberadaan
wali. Syariat Islam telah menentukan siapa saja yang berhak menjadi wali
berikut urutannya. Secara garis besar, wali yang berhak menikahkan seorang
perempuan adalah yang memiliki garis hubungan darah dengan perempuan tersebut.
Urutan prioritas wali yang berhak menikahkan
seorang perempuan, dijelaskan oleh Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa
Taqrîb (Surabaya: Al-Hidayah, 2000), hal. 31, sebagai berikut:
وأولى
الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب
والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات
ف…الحاكم
Artinya: “Wali paling utama ialah ayah, kakek
(ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah,
anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki
seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah.
Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.”
Namun demikian, dalam realitas kehidupan
kerap kita temui kasus ketika seorang anak perempuan yang hidup bersama dengan
ayah tirinya semisal karena ibunya telah bercerai dengan ayah kandungnya. Ayah
tiri ini terkadang merasa lebih berhak menjadi wali dari anak perempuan
tersebut, terkadang dengan alasan bahwa dia lah yang merawatnya selama ini
sedari kecil hingga dewasa.
Sebenarnya, di dalam syariat, keberadaan ayah
tiri ini sama sekali tidak dipertimbangkan untuk menjadi wali nikah,
karena ia tidak disebutkan dalam daftar urutan prioritas wali menurut syariat
Islam.
Meskipun demikian, tetap ada peluang seorang
ayah tiri menjadi wali nikah, yakni dengan cara mewakilan (tawkil), artinya
wali asli dari perempuan tersebut mewakilkan perwalian pernikahan kepadanya.
Referensi dari hal tersebut bisa kita simak
pada penjelasan Abu Hasan Ali al-Mawardi dalam kitab al-Hawi al-Kabir (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), juz IX, hal. 113:
فَأَمَّا
تَوْكِيلُ الْوَلِيِّ فَلَا يَجُوزُ أَنْ يُوَكِّلَ فِيهِ إِلَّا مَنْ يَصِحُّ
أَنْ يَكُونَ وَلِيًّا فِيهِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ ذَكَرًا بالغاً حراً مسلماً
رشيداً فإذا اجتمعت هَذِهِ الْأَوْصَافُ … صَحَّ تَوْكِيلُهُ
Artinya: “Adapun mewakilkan perwalian, hal
tersebut tidak diperbolehkan kecuali seseorang yang memenuhi persyaratan yakni:
lelaki, baligh, merdeka, muslim, dan pintar. Jika syarat tersebut
terkumpul…maka sah mewakilannya.”
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa
jika ayah tiri tersebut memenuhi persyaratan, maka ia bisa menerima tawkil wali
nikah. Tentunya tawkil ini harus dilakukan dengan kalimat serah terima yang sah
menurut syariat.
Hal demikian juga berlaku bagi selain ayah
tiri, seperti misalkan ayah angkat ataupun lainnya. Namun, perlu benar-benar
diingat bahwa tawkil ini dilakukan atas dasar serah terima, sehingga keberadaan
pihak yang menyerahkan, dalam hal ini adalah wali asli, haruslah benar-benar
ada.
Sedangkan apabila tidak ditemukan wali asli,
entah karena sudah meninggal atau sebab lainnya, maka yang berhak menjadi wali
adalah hakim. Jika di suatu wilayah tidak ditemukan adanya hakim, maka yang
menempati posisi hakim ini ialah muhakkam, yakni seseorang yang diposisikan
sebagai hakim dengan persyaratan tertentu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Zainuddin Ahmad bin Abdulaziz al-Malibari dalam Fathul Mu’in (Surabaya:
Kharisma, 1998), hal. 472:
ثم
إن لم يوجد ولي ممن مر فيزوجها محكم عدل حر
Artinya: “Kemudian jika tidak ditemukan wali
dari orang-orang yang telah tersebut di atas, maka yang menikahkan perempuan
tersebut adalah muhakkam yang adil dan merdeka”.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam
bish shawab. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar