Kiai Asnawi Caringin,
Ulama Pendekar dari Banten
Nama lengkapnya
adalah KH Tubagus Muhammad Asnawi. Ia adalah seorang ulama karismatik dan
pendekar yang lahir di kampung Caringin Banten pada tahun 1850 M. Ia dikenal
sebagai ulama yang gigih menentang penjajahan Belanda. Ia mengorganisir para
jawara Banten untuk menentang penjajahan.
Asnawi lahir dari
pasangan Abdurrahman dan Ratu Sabi’ah. Dari pihak ayah nasabnya bersambung ke
Sultan Banten, sedangkan dari pihak ke Sultan Agung Mataram. Sejak usia 9
tahun, Asnawi sudah dikirim ayahnya untuk menuntut ilmu di tanah suci
Mekkah.
Di sana ia berguru
kepada Syekh Nawawi Al-Bantani bersama santri-santri asal Indonesia semisal
Kiai Cholil Bangkalan, Hadratusysyekh Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.
Selain belajar ilmu-ilmu agama, ia juga belajar tarekat kepada Syekh Abdul
Karim Tanara, ulama Banten yang bermukim di Makkah.
Setelah mengaji
bertahun-tahun di tanah suci, Asnawi pulang ke kampung halamannya pada tahun
1870. Untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmunya, ia mendirikan pesantren di
kampung tersebut. Pesantren tersebut dikenal dengan ilmu fiqih, tasawuf, dan
ilmu beladiri.
Ketika gunung
krakatau meletus, ia beserta keluarganya selamat dengan mengungsi ke kampung
Muruy, Menes. Sayang seluruh pesantrennya di kampung Caringin hancur lebur.
Ketika kembali lagi ke kampung halaman dari pengungsian, ia membangun
ulang pesantrennya. Serta mendirikan masjid yang diberi nama masjid Agung
Assalafi, atau menurut sumber lain Salafiah.
Arsitektur Masjid
Salfiah merupakan campuran dari unsur lokal dan luar. Unsur lokal terlihat dari
atapnya. Sementara unsur luar terlihat dari bentuk jendela dan pintu dengan
ukuran relatif besar. Juga pilar-pilar yang mengelilingi masjid. Konon
kayu untuk masjid tersebut dibawa oleh Asnawi dari Kalimantan. Sebelumnya, kayu
tersebut tidak bisa ditebang. Kalaupun bisa ditebang, pohon tersebut muncul kembali.
Setelah berdoa, pohon itu bisa dtebang dan dibawanya ke Caringin. Masjid
tersebut masih berdiri sampai sekarang.
Pada tahun 1925, ia
mengerahkan santri-santrinya untuk turut membangun jalan antara Labuan dan
Carita. Karena memimpin pemberontakan pada tahun 1926, ia dan keluarganya
dipenjara pemerintah kolonial Belanda. Mula-mula dipenjara di Tanahabang
Jakarta, kemudian Cianjur. Selama di pengasingan, ia tetap berdakwah dan
mengajarkan tarekat ke masyarakat Cianjur. Sementara anaknya, KH Mohammad
Hadi dan menantunya, KH Akhmad Khatib yang juga ikut memberontak dibuang ke
Digul hulu, Papua sekarang.
Kecintaannya akan
perjuangannya terhadap ilmu agama melalui pesantren, penjara tidak membuatnnya
jera. Dari dalam penjara, Asnawi meminta dua orang cucunya yang kakak beradik,
yaitu KH Tubagus Muhammad Muslih dan KH Tubagus Ahmad Maemun untuk membangun
dan meneruskan kembali pesantren Caringin. Pada tahun 1930 berdirilah
madrasah Masyarkul Anwar yang terletak di di depan Masjid Salafiah.
Pada tahun 1931, KH
Tubagus Muhammad Asnawi bebas dari penjara. Kemudian pada tahun 1937, ia wafat.
Jenazahnya dikebumikan di Masjid Salafiah. Makamnya hingga sekarang tidak
pernah sepi dari para peziarah. []
Sumber: Ensiklopedi
Sunda dan Ensiklopedi NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar