Rabu, 20 Maret 2019

(Buku of the Day) Rasakan Kekuatan Alhamdulillah; Latihan Bersyukur Agar Hidup Lebih Berkah dan Makmur


Syukur Tanpa Tepi, Tanpa Tapi dan Tanpa Henti

           

Judul Buku        : Rasakan Kekuatan Alhamdulillah; Latihan Bersyukur Agar Hidup Lebih Berkah dan Makmur
Penulis             : Khaliel Anwar
Cetakan            : I, Oktober 2018
Penerbit            : PT. Qaf Media Kreativa
Tebal                : 291 Halaman
ISBN                 : 978-602-5547-31-7
Peresensi          : Muhammad Faiz As, Pengurus Perpustakaan Pondok Pesantren. Annuqayah Lubangsa Selatan Sumenep, sekaligus staf redaksi Majalah Infitah.

“Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik.” Penggalan lirik lagu yang sempat dipopulerkan oleh Band D’Masiv ini masih lekat di telinga kita. Kurang lebih semangat yang ingin disampaikan Khaliel Anwar melalui buah tangannya ini sama dengan lagu tersebut, yaitu spirit bersyukur dalam menjalani kehidupan. 

Menurut literatur-literatur agama, utamanya yang berbau tasawuf, syukur memiliki beberapa tingkatan, yaitu syukur dengan perkataan(bil lisan), syukur dengan perbuatan(bil arkan) dan syukur dengan hati (bil qalb). Khaliel Anwar mengajak kita menghayati syukur dari tataran yang paling bawah dan paling mudah, yaitu syukur perkataan, dengan sekadar melafadzkan alhamdulillah.

Melalui judul buku yang dicanangkan, Khaliel menegaskan bahwa alhamdulillah bukan kalimat singkat yang semata diucapkan sebagai formalitas kala dikaruniai nikmat oleh Tuhan. Alhamdulillah mengandung kekuatan ilahiah yang jika disadari berimbas pada totalitas penghambaan diri kepada Allah SWT. Sebab seperti kata D’Masiv tadi, hidup kita sejatinya adalah anugerah, terlepas dari banyak kekayaan yang kita miliki atau bahkan tidak memiliki apa-apa sama sekali. Helaan napas, kedipan mata, gerak tangan, langkah kaki adalah sekelumit nikmat agung yang kadang luput kita syukuri, kendati sekadar dengan alhamdulillah.

Di zaman yang kian mendekati ajalnya, syukur seakan menjadi perkara tabu yang tertelungkup di bawah hasrat menggebu untuk menumpuk harta, memanjat tahta, dan menguber dunia. Potret pilu ini dipicu minimnya penghayatan dan penerimaan atas segala nikmat yang telah Allah ruahkan. Padahal, tanpa syukur, orang kaya belum tentu bahagia. Sebaliknya, dengan bersyukur, orang miskin belum tentu menderita. Karena Allah tidak menyertakan kekayaan batin dalam tumpukan kekayaan material yang kita raup (hlm. 26).

Khaliel Anwar menyadari bahwa syukur tidak terbatas saat kita sedang mendapat nikmat, semisal kenaikan pangkat, gaji, lulus ujian dan semacamnya. Segala realitas kehidupan, sejatinya adalah manifestasi dari kehadiran-Nya. Ia pasti telah meramu segenap realitas tersebut dengan ilmu-Nya yang mahaluas. Dan tak ada tujuan dari semua realitas yang telah diramu dengan ilmu-Nya kecuali untuk kebaikan dan kebahagiaan hamba saja. Karena itu, bermacam warna realitas yang singgah, patut kita alhamdulillah-hi tanpa menyoal pahit dan manisnya. 

Syukur yang seakan 'buta' realitas tersebut menjadi alamat dari puncak laku spiritual. Di mana yang tampak berharga bukan apa yang diberikan, namun siapa yang memberi nikmat tersebut. Spirit syukur yang membuhul kuat ini tersimpul dari intensitas kecintaan yang amat kuat pula kepada Allah SWT. melalui dzikir yang senantiasa diucapkan. Sehingga hati tidak pernah menemukan celah keburukan dari setiap hilir mudik realitas yang menghampiri (hlm. 33). 

Pijakan primordial untuk membangun semangat bersyukur tersebut adalah melafadzkan alhamdulillah. Tentunya bukan sebatas pengucapan yang kosong makna atau bernada formal belaka. Alhamdulillah perlu dihayati secara mendalam dengan terus berusaha menguak, meraba bahkan menghitung segenap nikmat yang Allah berikan kepada kita.Tatkala alhamdulillah telah menyublim dalam jiwa, ia akan menjembatani hati dan polah tingkah kita untuk turut padu dan lebur dalam syukur pula.

Dari kacamata alhamdulilah, Khaliel membawa kesadaran kita bertamasya ke setiap lini kehidupan. Ujungnya, kesadaran kita akan serasa dicubit oleh elaborasi-elaborasi bernuansa psikologi spiritual yang amat kontemplatif dan instrospektif. Lebih-lebih bagi kita yang masih sering mengeluh dan enggan berterimakasih atas nikmat-nikmat yang telah Allah limpahkan. 

Gaya bertutur yang khas juga membuat pesan yang hendak disampaikan Khaliel menjadi ringan dicerna, tidak berbelit-belit, tidak pula fakir esensi. Sayangnya, buku ini tidak luput dari peribahasa “tiada gading yang tak retak”. Buku yang saya miliki mengalami cacat cetakan berupa kurangnya beberapa halaman. Sebagai pembaca yang baik—sebagaimana spirit yang ingin dibangun buku ini—saya akan mensyukuri buku ini, sekalipun terdapat ketidaksempurnaan, Alhamdulillah! Dan semoga ini hanya terjadi pada buku yang saya miliki saja. Salam Literasi! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar