KHUTBAH JUMAT
Islam Melarang Keras Politik Uang
Khutbah I
اَلحَمْدُ
لِلّهِ الوَاحِدِ القَهَّارِ، الرَحِيْمِ الغَفَّارِ، أَحْمَدُهُ تَعَالَى عَلَى
فَضْلِهِ المِدْرَارِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمِهِ الغِزَارِ، وَأَشْهَدُ أَنْ
لَّا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ العَزِيْزُ الجَبَّارُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المُصْطَفَى
المُخْتَار، صَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد وَعَلَى آلِهِ الطَيِّبِيْنَ
الأَطْهَار، وَإِخْوَنِهِ الأَبْرَارِ، وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ، وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ مَا تُعَاقِبُ اللَيْلَ وَالنَّهَار، أما بعد
فَيَااَيُّهَا
الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ
اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ
الْكَرِيْمِ: الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ
وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dalam Islam, kepemimpinan mendapat perhatian
yang sangat tinggi. Bahkan di kalangan ulama salaf populer adigum, “Tujuh puluh
tahun berada di bawah pemimpin zalim lebih baik daripada satu malam tanpa
pemimpin.” Pernyataan ini bukan berarti menoleransi kezaliman pemimpin
melainkan petunjuk bahwa betapa pentingnya kehadiran pemimpin. Dalam kumpulan
individu yang majemuk, kepemimpinan berbanding lurus dengan keinginan tiap
manusia untuk berada dalam sistem yang tertib, aman, tidak kacau.
Islam memang tidak mengajarkan tentang cara
khusus bagaimana proses pengangkatan pemimpin (nasbul imâmah)
dilangsungkan. Khulafaur Rasyidun yang memimpin setelah Nabi wafat pun diangkat
sebagai khalifah dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar ash-Shiddiq diangkat
melalui musyawarah di hadapan massa, Umar bin Khattab melalui penunjukkan Abu
Bakar setelah konsultasi dengan para sahabat, Utsman bin Affan melalui tim
formatur yang dibentuk Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib juga melalui
kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, persoalan pengangkatan kepemimpinan pada
dasarnya adalah persoalan ijtihadî, yakni olah pikir sungguh-sungguh
tentang sistem politik yang paling sesuai dengan kemaslahatan di zamannya.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Di negeri kita tercinta ini, proses
pengangkatan pemimpin dilalui lewat proses pemilihan umum atau pemilu. Dalam
pemilu, semua orang berhak diangkat sebagai pemimpin dan berhak pula memilih
siapa pun untuk menjadi pemimpin. Tentu saja hak ini dibatasi oleh norma-norma
tertentu, semisal tidak menghalalkan segala cara dalam meraih suatu jabatan
politik.
Politik pada dasarnya sangat mulia. Ia adalah
perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang adil, aman, dan
sejahtera. Tujuan tersebut adalah tujuan bersama, bukan tujuan pribadi atau
segelintir kelompok. Karena hanya sebagai perantara (wasîlah), bukan
tujuan akhir (ghâyah), politik seyogianya tak perlu dikultuskan,
dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari politik itu
sendiri.
Mekanisme one man one vote (satu orang satu
suara) dalam pemilu, kini telah mendorong para kandidat pemimpin berlomba-lomba
meraup simpati dan dukungan suara. Tak jarang pula, jalan instan pun kadang
ditempuh: tak hanya mengobral janji manis tapi juga menebar uang suap (money
politics) agar pilihak warga jatuh pada dirinya.
Islam melarang keras praktik politik uang
semacam ini. Dalam Surat al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kalian memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.”
Lebih rinci lagi, dalam sebuah hadits
dijelaskan bahwa uang suap mendatangkan laknat.
عَنْ
ثَوْبَانَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
Dari Tsaubân, dia berkata, “Rasulullah ﷺ melaknat pemberi
suap, penerima suap, dan perantaranya, yaitu orang yang menghubungkan
keduanya.” (HR. Ahmad)
Dari keterangan ini tampak bahwa doa politik
uang (risywah) tak hanya diterima oleh para politisi, tapi juga tim
sukses dan konstituen yang suaranya diperjual-belikan.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diselenggarakan
Nahdlatul Ulama pada 2012 di Cirebon, Jawa Barat, pernah menyoroti kasus
politik uang yang kian menjamur di republik ini. Melalui sejumlah referensi
yang kokoh, forum Munas NU menetapkan sejumlah jawaban atas beberapa
pertanyaan.
Pertama, apakah pemberian
kepada calon pemilih atas nama transportasi, ongkos kerja, atau kompensasi
meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu,
termasuk kategori risywah?
Jawabannya adalah tidak sah dan termasuk
kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian si
politisi itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik
menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian,
melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.
Kedua, sudah lazim kita
dapati, politisi memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan
sedekah dari harta miliknya. Jika terbesit tujuan agar penerima memilih calon
tertentu, apakah termasuk kategori risywah?
Jawabannya: pemberian zakat atau sedekah yang
dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah
dan termasuk risywah (suap). Jika pemberian zakat atau sedekah itu
dimaksudkan untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus
dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat atau sedekah itu
sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara dua maksud
tersebut. Semakin dominan ambisi politiknya dalam pemberian ini, semakin besar
pula lenyapnya keutamaan tersebut.
Ketiga, bagaimanakah hukum
menerima pemberian yang dimaksudkan untuk risywah oleh pemberi, tetapi
tidak secara lisan?
Jawabanya adalah haram bila penerima
mengetahui maksud pemberian itu dimaksudkan untuk risywah. Adapun bila
penerima tidak mengetahuinya, maka hukumnya mubah. Tetapi bila pada suatu saat
mengetahui, bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka penerima wajib
mengembalikannya.
Di musim pemilu, kecil sekali kemungkinan
orang tidak memahami maksud terselubung bila seorang politisi memberinya uang
meski tanpa berbicara apa pun. Ketika status risywah benar-benar jatuh, maka ia
sama dengan memakan harta haram.
Keempat, apakah penerima
risywah haram memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah sebagaimana ia
diharamkan menerima risywah?
Apabila penerima risywah (suap) memilih calon
sesuai maksud diberikannya risywah karena pemberian risywah, maka hukumnya
haram sebagaimana ia haram menerima risywah. Tetapi jika ia memilihnya
semata-mata karena ia merupakan calon yang memenuhi syarat untuk dipilih, maka
hukum memilihnya mubah (boleh). Bahkan wajib memilihnya bila ia merupakan calon
satu-satunya yang terbaik dan terpenuhi syarat. Sedangkan menerima risywah
tetap haram.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Tiap umat Islam memikul kewajiban untuk
menyelamatkan dirinya dari mengonsumsi harta haram, baik karena substansinya
haram atau cara mendapatkannya yang haram. Banyak dalil yang menunjukkan
tentang ancaman bagi jasad yang kemasukan barang haram. Misalnya:
كُلُّ
لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Artinya: “Setiap daging yang tumbuh dari
sesuatu yang haram maka neraka lebih utama baginya.” (HR Ahmad)
Secara logis, barang haram akan berdampak
secara rohani pada kualitas perbuatan. Umumnya, tukang makan uang haram akan
cenderung melakukan tindakan-tindakan yang haram pula. Demikianlah, maksiat itu
terus bermunculan, bertumpuk-tumpuk, hingga mengantarkannya pada kerugian di
kehidupan akhirat kelak.
Lebih-lebih uang suap. Keharamannya dibarengi
dengan “cap laknat” dari Allah dan rasul-Nya. Artinya, uang suap bukan hanya
menimbulkan dosa, tapi juga menjauhkan diri kita dari rahmat, kasih sayang
Allah ﷻ.
بَارَكَ
الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ
مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ
وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ
اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ
اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ
الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ
وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ
عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى
اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا
وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ
ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ
وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar