Semuanya
Boleh Atas Nama Agama (2)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Penganut
teologi kebenaran tunggal amat susah diajak berdialog. Batok kepalanya keras
sekali. Yang sangat ironis adalah penganut teologi ini secara lahiriah
menampakkan seorang yang taat beragama, bisa membaca Alquran, dan mungkin paham
maknanya, tidak mustahil melakukan puasa Daud, rajin salat berjamaah di masjid,
sebagaimana yang dikerjakan oleh kaum teroris di Indonesia.
Pengalaman
saya saat menjenguk Suliyono di RS Bhayangkara Yogyakarta pada 11 Februari 2018
menguatkan pernyataan di atas. Suliyono (23) adalah penyerang Gereja St
Lidwina, Sleman (Yogyakarta), pagi hari pada 11 Februari saat umat Katolik
sedang melakukan misa di sana.
Di tempat
pembaringannya di Rumah Sakit Polri, Suliyono yang kakinya telah ditembak
polisi mengatakan kepada saya bahwa perbuatannya melakukan tindakan kekerasan
dalam gereja itu berdasarkan ayat 14 surah at-Taubah yang artinya, “Perangi
mereka, niscaya Allah akan siksa mereka dengan perantaraan tanganmu, dan Dia
akan hinakan mereka, serta menolongmu melawan mereka dan Dia akan melegakan
hati-hati orang-orang yang beriman.”
Suliyono
tidak peduli bahwa ayat ini dahulunya berlaku dalam peperangan. Lalu, apakah
jamaah Gereja St Lidwina sedang berperang dengan umat Islam? Sama sekali tidak.
Kedua komunitas itu telah hidup berdampingan secara damai, tolong-menolong, dan
saling menghargai.
Belum
pernah terdengar kedua komunitas di sekitar gereja itu saling bermusuhan.
Tetapi, mengapa tiba-tiba seorang pemuda asal Banyuwangi itu mau merusak
hubungan harmonis itu?
Teks asli
ayat itu dibacakan dengan lancar kepada saya oleh pelaku. Tetapi, saat saya
katakan bahwa polisi yang melumpuhkannya adalah seorang Muslim, Suliyono
terdiam sejenak dan mau minta maaf.
Inilah
bahayanya sebuah ayat yang dipahami di luar konteks dan langsung ditabrakkan
kepada orang yang dianggap musuhnya. Pelaku teror rata-rata punya penafsiran
seperti ini. Sedangkan, polisi pada umumnya tidak paham ayat, sehingga mereka
kesulitan untuk menundukkan si pelaku secara teologis.
Agar kita
punya perbandingan bahwa tindak kekerasan itu tidak hanya dilakukan oleh mereka
yang mengaku Muslim. Non-Muslim pun tidak kurang brutalnya terhadap Muslim,
sekalipun berlaku di negara lain pada abad-abad pertengahan.
Inilah
kesaksian Russell, “Agama Kristen dibedakan dengan agama-agama lain dalam hal
kesiapannya yang lebih hebat untuk melakukan tindak penyiksaan (persecution). Buddhisme
tidak pernah menjadi agama yang melakukan penyiksaan [di abad-abad itu].
Imperium
para Khalifah bersikap lebih ramah kepada kaum Yahudi dan umat Kristen
dibandingkan negara-negara Kristen terhadap kaum Yahudi dan umat Islam. Ia
[Imperium Muslim] itu membiarkan kaum Yahudi dan umat Kristen itu tak terganggu
selama mereka membayar upeti.” (Ibid., hlm. 202).
Russell
berupaya objektif dalam merumuskan pandangannya, sekalipun semua agama
dinilainya sebagai ajaran yang merusak dan berbahaya. Pada abad tengah korban
inkuisisi (penghukuman) Katolik Roma terhadap kaum Yahudi dan umat Islam sudah
menjadi warisan hitam dan kelam dalam hubungan lintas agama yang sebenarnya
sama-sama berasal dari Episentrum Spiritual Nabi Ibrahim.
Oleh
sebab itu, pemahaman dan praktik keagamaan yang terlepas dari kawalan
nilai-nilai kenabian dan nilai kemanusiaan yang sejati bisa membawa malapetaka
dan kebinasaan bagi umat manusia. Sejarah gelap semacam ini dapat terus
terulang berikut korbannya yang sia-sia, jika para penganut agama yang waras
dan jujur bersikap diam, acuh tak acuh.
Tragedi
Suliyono sebagai pemain tunggal hanyalah sebuah contoh kecil dan pinggiran
dalam sejarah panjang praktik penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan rendah,
keji, dan biadab.
Akhirnya,
Indonesia, tanah air kita bersama, harus dibebaskan dari segala corak tindak kekerasan
yang memakai jargon-jargon agama, siapa pun yang melakukan dan dari agama dan
ideologi mana pun. Ideologi kekerasan dan sektarianisme yang telah
menghancurkan Suriah, Irak, dan negara-negara Arab lainnya harus dibendung dan
dinyatakan sebagai sesuatu yang haram dan sumber malapetaka bagi nusantara
tercinta ini. []
REPUBLIKA,
26 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar