Kamis, 14 Maret 2019

(Ngaji of the Day) Macam-Macam Hadits Dhaif (3)


Macam-Macam Hadits Dhaif (3)

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada dua penyebab utama kedhaifan hadits: rantaian sanadnya tidak bersambung dan perawi haditsnya tidak kredibel. Penyebab perawi hadits tidak kredibel ini ada dua pula: moralitasnya rusak (tidak adil) dan hafalannya tidak kuat.

Pembagian hadits dhaif karena rusaknya moralitas perawi sudah dibahas pada tulisan sebelumnya, seperti hadits maudhu’, munkar, dan matruk.

Tulisan kali ini akan membahas pembagian hadits dhaif berikutnya, yaitu lantaran lemahnya hafalan perawi. Di antara macam hadits dhaif yang disebabkan oleh lemahnya hafalan perawi adalah maqlub, mudraj, dan muththarib. Penjelasannya berikut ini:

Maqlub

Mahmud Thahan dalam Taisiru Musthalahil Hadits mendefenisikan hadits maqlub dengan kalimat berikut ini:

إبدال لفظ بآخر في سند الحديث أو متنه بتقديم أو تأخير ونحوه

Artinya, “Hadits yang sanad atau matannya berubah karena ada lafal yang mestinya diakhirkan tapi didahulukan, atau yang mestinya di awal tapi diakhirkan.”

Terjadi perubahan dalam sanad ataupun matan hadits disebabkan oleh kurang kuatnya hafalan perawi. Akibatnya, susunan sanad ataupun matan hadits terbolak-balik. Misalnya, dalam sanad hadits nama perawi mestinya Ka’ab bin Murrah, tapi karena hafalan perawi tidak kuat, akhirnya berubah menjadi Murrah bin Ka’ab.

Perubahan itu tidak hanya terjadi pada sanad, dalam beberapa kasus juga terjadi pada matan hadits. Misalnya, dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah disebutkan bahwa ada tujuh kelompok yang mendapatkan naungan di hari akhirat kelak, di antaranya:

رجل تصدق بصدقة فأخفاها حتى لا تعلم يمينه ما تنفق شماله

Artinya, “Orang yang tidak ria ketika bersedekah, sehingga tangan kanannya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kirinya.”

Sementara dalam riwayat lain, sebagian rawi meriwayatkan hadits di atas dengan redaksi yang terbalik, meskipun substansi hadits pada hakikatnya tidak berubah. Redaksi lain berbunyi:

حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه

Artinya, “Tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”

Mengubah atau membolak-balik susunan hadits, baik matan ataupun sanadnya, jelas tidak boleh. Namun dalam beberapa kondisi dibolehkan, seperti yang dijelaskan Mahmud Thahan, khususnya pada saat menguji hafalan perawi atau karena perawi itu lupa dengan catatan kesalahannya tidak fatal. Kalau kesalahannya fatal, maka termasuk ke dalam hadits dhaif yang tidak bisa diamalkan.

Mudraj

Hadits kategori Mudraj ialah:

ما غير سياق اسناده أو أدخل في متنه ما ليس منه بلا فصل

Artinya, “Hadits yang susunan sanadnya berubah atau di dalam matannya ditemukan tambahan yang sebetulnya bukan bagian dari matan hadits, tanpa ada pemisah.”

Mudraj berati hadits yang di dalamnya terdapat tambahan atau sisipan dari perawi yang sebenarnya bukan bagian dari hadits. Misalnya, Abu Hurairah meriwayatkan:

أسبغوا الوضوء، ويل للاعقاب من النار

Artinya, “Sempurnakan wudhu, celakalah mata kaki dari api neraka.”

Redaksi “أسبغوا الوضوء” pada hadits di atas bukanlah bagian dari perkataan Nabi, tetapi perkataan Abu Hurairah. Menurut Mahmud Thahan, menambahkan kata atau kalimat dalam hadits hukumnya diharamkan, kecuali kalau tujuannya untuk menjelaskan kalimat yang asing atau tidak jelas maknanya.

Mudhtharib

Mahmud Thahan dalam Taisiru Musthalahil Hadits menjelaskan, hadits Mudhtharib adalah sebagai berikut:

ما روي على أوجه مختلفة متساوية في القوة

Artinya, “Hadits yang memiliki varian riwayat dan kualitasnya sama.”

Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan dari berbagai macam jalur periwayatan, maknanya saling kontradiksi, dan tidak bisa dikuatkan salah satunya karena kualitasnya sama.

Kontradiksi periwayatan itu bisa terjadi pada satu orang ataupun kelompok. Bisa jadi satu orang meriwayatkan beberapa hadits dengan tema yang sama, tetapi saling kontradiksi, atau sebagian perawi bertentangan riwayatnya dengan perawi yang lain.

Dikarenakan tidak bisa ditarjih ataupun dikompromikan, keseluruhan riwayat tersebut tidak diamalkan, kecuali kalau ditemukan solusinya. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar