Riwayat KH Muhammad Masthuro
dan Wasiatnya
Ajengan KH Muhammad
Masthuro adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Masthuriyyah, Babakan Tipar,
Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat. Ia lahir di Kampung Cikaroya, Tipar, Sukabumi
pada tahun 1901.
Masa kanak-kanak
Masthuro belajar kepada ayahnya bernama Kamsol, seorang amil atau lebe yang
bertugas mengurusi masalah keagamaan di desa. Kemudian ia berguru kepada
kiai-kiai di Sukabumi diantaranya: H. Asy’ari (dari tahun 1909 sampai 1911)
K.H. Katobi (dari 1911 sampai 1914) KH Hasan Basri (tahun 1914 sampai 1915)
K.H. Muhammad Kurdi (tahun 1914 sampai 1915), K.H. Ghazali (dari 1915-1916)
K.H. Muhammad Sidiq (tahun 1916-1916) KH Ahmad Sanusi (tahun 1918 sampai 1920).
Kemudian ia belajar
kepada Habib Syekh bin Salim Al Atthas, guru para ajengan Sukabumi. KH Masthuro
merupakan santrinya yang paling disayang, sehingga sebelum wafat, Habib Syekh
berpesan supaya dikebumikan di samping KH Masthuro. Kedua ulama tersebut
dimakamkan berdampingan di Pesantren Al-Masthuriyah.
KH Masthuro memiliki
13 putra dan putri. Salah seorang putranya, almarhum KH E. Fachrudin Masthuro,
pernah menjabat Wakil Rais ‘Aam PBNU, hingga wafatnya menjadi salah seorang
Mustasyar PBNU.
Sebagai seorang yang
hidup di masa penjajahan Belanda, KH Masthuro memperlihatkan keberaniannya. Ia
melindungi para pejuang dan rakyat Indonesia. Sering penjajah memeriksa
pesantrennya, tetapi KH Masthuro tidak menyerahkan mereka yang meminta
perlindungan itu, sekalipun penjajah menodongkan senjata kepadanya.
Sebelum wafat, KH
Masthuro mewasiatkan 6 hal kepada anak-anak dan mantu-mantunya, yaitu:
1. Kudu ngahiji dina
ngamajukeun pesantren, madrasah. Ulah pagirang-girang tampian. (harus bersatu
untuk kemajuan pesantren)
2. Ulah hasud (jangan
hasud)
3. Kudu nutupan
kaaeban batur (harus menutupi aib orang lain)
4. Kudu silih pika
nyaah, (saling mengasihi)
5. Kudu boga
karep sarerea hayang mere (suka memberi)
6. Kudu mapay
tarekat anu geus dijalankeun ku Abah (harus mengikuti tarekat KH Masthuro)
Wasiat tersebut,
hingga kini menjadi pegangan keturunan dan penerus KH Masthuro di pesantren
Al-Masthuriyah. Terutama yang poin pertama, dalam keberlangsungan lembaga
pendidikan memiliki makna penting untuk menanamkan dan memperkuat lembaga yang
dirintisnya. Wasiat ini diungkapkan dengan jelas agar para pewaris perjuangan
KH Masthuro tidak sulit menafsirkan maknanya.
Hampir seluruh
putra-putri KH Masthuro tinggal di kompleks pesantren tersebut untuk turut
serta mengembangkan Al-Masthuriyah. Hanya sekitar 20% cucunya yang tidak
tinggal di pesantren yang kini sudah lengkap mulai dari PAUD hingga perguruan
tinggi..
KH Masthuro mengarang
kitab berjudul Kaifiyatus Shalat, tebal 89 halaman, yang ditulis dengan bahasa
Arab yang mudah dipahami. Kitab ini merupakan tukilan dari berbagai kitab yang
membahas bab shalat, mulai dari Safinatun Naja, Sulam Munajat, Fathul Qorib,
Fathul Mu’in, tapi lebih banyak dari kitab Bajuri. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar