Jumat, 29 Maret 2019

Peran NU dalam Pembebasan Irian Barat dari Belanda


Peran NU dalam Pembebasan Irian Barat dari Belanda

Pulau Irian Barat (kini bernama Papua) merupakan tanah jajahan yang lama dikoloni oleh Belanda. Karena hingga tahun 1961, Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda. Irian Barat memang salah satu tanah jajahan kaya yang banyak menguntungkan Belanda dengan hasil bumi dan lautnya.

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatoel Oelama KH Abdul Wahab Chasbullah bersama KH Saifuddin Zuhri, dan KH Idham Chalid berupaya menginisiasi perundingan dengan Belanda dalam rangka pembebasan Irian Barat. Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) hasil Dekrit 5 Juli 1959, usulan tiga kiai NU tersebut sangat dipertimbangkan oleh Soekarno.

Singkatnya, dengan ikhtiar dan gagasan Kiai Wahab Chasbullah yang disampaikan kepada Presiden Soekarno, Indonesia berhasil mengusir Belanda dari Irian Barat. Pulau paling timur Indonesia tersebut kembali ke pangkuan Indonesia.

Awalnya, para kiai NU melihat bahwa masyarakat Irian Barat berada dalam kondisi senasib sepenanggungan karena sama-sama dalam kondisi terjajah oleh Belanda. Sebab itu, melepaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda sama seperti memerdekakan saudara sendiri. Peran para kiai NU diakui oleh Soekarno saat ia menyampaikan pidato di depan peserta Muktamar ke-23 NU di Surakarta (Sala), 24-29 Desember 1962:

"Baik ditinjau dari sudut agama, nasionalismem, maupun sosialisme, NU memberi bantuan yang sebesar-besarnya. Malahan, ya memang benar, ini lho Pak Wahab ini bilang sama saya waktu itu di DPA dibicarakan: berunding apa tidak dengan Belanda mengenai Irian Barat, beliau mengatakan, jangan politik keling. Ya bilang ya pak Bandrio, katanya. Ketika itu saya katakan, nanti orang keling marah lho. ‘Jangan politik keling’. Atas advis anggota DPA bernama Kiai Wahab Chasbullah itu, maka kita menjalankan Trikora, dan Trikora berhasil saudara-saudara. Pada 1 Oktober, bendera Belanda turun di Irian Barat diganti bendera UNTEA. Pada tanggal 31 Desember, UNTEA akan didampingi bendera Merah Putih. Dan 1 Mei 1963 nanti, bendera satu-satunya di Irian Barat adalah Merah Putih."

Awal riwayat peran NU dalam pembebasan Irian Barat seperti diungkapkan Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985). Ia menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Ketika itu DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat dengan pihak Belanda.

Kiai Wahab segera menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.

Ikhtiar lahir batin tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu, kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut berpatisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.

Semua pertimbangan tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan, keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan, ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan keadaan dalam negeri.

Tetapi bukan berarti ikhtiar tersebut harus berhenti. Diplomasi dengan pihak Belanda terus dilakukan dan ‘Cancut Tali Wondo’ juga tidak boleh berhenti. Ibarat orang yang mau ‘adu jotos’ (berkelahi), siasat yang digunakan dengan cara memperlama waktu dan menyingsingkan lengan baju sambil mulut terus mengeluarkan tantangan untuk membuat musuh menjadi gentar.

Kalau musuh tiba-tiba menyodorkan kepalanya untuk memukul, dan kita belum siap, maka hindari terlebih dahulu. Dan kalau perlu ditambah waktu satu tahun lagi untuk menyingisingkan lengan baju. Kalau Indonesia sudah ‘punya keris’, maka bisa bersikap keras kepada Belanda.

Ternyata, saran Kiai Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanada menganggap bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar