Peran NU dalam
Pembebasan Irian Barat dari Belanda
Pulau Irian Barat
(kini bernama Papua) merupakan tanah jajahan yang lama dikoloni oleh Belanda.
Karena hingga tahun 1961, Irian Barat masih dikuasai oleh Belanda. Irian Barat
memang salah satu tanah jajahan kaya yang banyak menguntungkan Belanda dengan hasil
bumi dan lautnya.
Rais Aam Pengurus
Besar Nahdlatoel Oelama KH Abdul Wahab Chasbullah bersama KH Saifuddin Zuhri,
dan KH Idham Chalid berupaya menginisiasi perundingan dengan Belanda dalam
rangka pembebasan Irian Barat. Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung
Sementara (DPAS) hasil Dekrit 5 Juli 1959, usulan tiga kiai NU tersebut sangat
dipertimbangkan oleh Soekarno.
Singkatnya, dengan
ikhtiar dan gagasan Kiai Wahab Chasbullah yang disampaikan kepada Presiden
Soekarno, Indonesia berhasil mengusir Belanda dari Irian Barat. Pulau paling
timur Indonesia tersebut kembali ke pangkuan Indonesia.
Awalnya, para kiai NU
melihat bahwa masyarakat Irian Barat berada dalam kondisi senasib
sepenanggungan karena sama-sama dalam kondisi terjajah oleh Belanda. Sebab itu,
melepaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda sama seperti memerdekakan
saudara sendiri. Peran para kiai NU diakui oleh Soekarno saat ia menyampaikan
pidato di depan peserta Muktamar ke-23 NU di Surakarta (Sala), 24-29 Desember
1962:
"Baik ditinjau dari
sudut agama, nasionalismem, maupun sosialisme, NU memberi bantuan yang
sebesar-besarnya. Malahan, ya memang benar, ini lho Pak Wahab ini bilang sama
saya waktu itu di DPA dibicarakan: berunding apa tidak dengan Belanda mengenai
Irian Barat, beliau mengatakan, jangan politik keling. Ya bilang ya pak
Bandrio, katanya. Ketika itu saya katakan, nanti orang keling marah lho.
‘Jangan politik keling’. Atas advis anggota DPA bernama Kiai Wahab Chasbullah
itu, maka kita menjalankan Trikora, dan Trikora berhasil saudara-saudara. Pada
1 Oktober, bendera Belanda turun di Irian Barat diganti bendera UNTEA. Pada
tanggal 31 Desember, UNTEA akan didampingi bendera Merah Putih. Dan 1 Mei 1963
nanti, bendera satu-satunya di Irian Barat adalah Merah Putih."
Awal riwayat peran NU
dalam pembebasan Irian Barat seperti diungkapkan Choirul Anam dalam bukunya
Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985). Ia menyebutkan, hubungan baik antara
Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran
NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Ketika itu DPAS sedang
membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat dengan pihak Belanda.
Kiai Wahab segera
menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali
Wondo’. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia
diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.
Ikhtiar lahir batin
tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu,
kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut
berpatisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan
kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus
berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.
Semua pertimbangan
tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi
secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan,
keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan,
‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan
keadaan dalam negeri.
Tetapi bukan berarti
ikhtiar tersebut harus berhenti. Diplomasi dengan pihak Belanda terus dilakukan
dan ‘Cancut Tali Wondo’ juga tidak boleh berhenti. Ibarat orang yang mau ‘adu
jotos’ (berkelahi), siasat yang digunakan dengan cara memperlama waktu dan
menyingsingkan lengan baju sambil mulut terus mengeluarkan tantangan untuk
membuat musuh menjadi gentar.
Kalau musuh tiba-tiba
menyodorkan kepalanya untuk memukul, dan kita belum siap, maka hindari terlebih
dahulu. Dan kalau perlu ditambah waktu satu tahun lagi untuk menyingisingkan
lengan baju. Kalau Indonesia sudah ‘punya keris’, maka bisa bersikap keras
kepada Belanda.
Ternyata, saran Kiai
Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanada menganggap bahwa Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi
setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan
ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan
itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda
dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar