Sabuk
Pengaman
Oleh:
Yudi Latif
Di balik
gemuruh ketegangan kampanye pemilihan umum tersingkap dua masalah mendasar yang
merongrong ketahanan politik kita. Pertama, kelemahan visi ideologis yang
memberikan ketajaman penalaran untuk membidik rantai terlemah.
Kedua,
memudarnya persaudaraan kewargaan yang memberikan rasa saling percaya serta
hasrat bersatu dan berbagi. Tanpa nalar bernegara dan rasa berbangsa, jagat
politik hanya menjadi ajang konflik kepentingan kekuasaan jangka pendek dengan
mengorbankan hal-hal fundamental yang berjangka panjang.
Kampanye
pemilu tidak menawarkan kontestasi visi bagaimana masalah-masalah mendasar
bangsa hendak diatasi. Di sana terlontar soal unicorn dan biaya riset, tetapi
tak tergambar bagaimana strategi pembangunan sains dan teknologi yang dapat
mendorong inovasi sektor produktif.
Di sana
tersembur kegetiran yang mengeluhkan banjir impor, tetapi tidak terumuskan
bagaimana visi pengembangan kemandirian ekonomi dan produktivitas nasional
kita. Di sana terucap soal janji pemberantasan korupsi, tetapi tidak
terkonstruksikan bagaimana penataan institusi demokrasi (pemilihan) dan
pemerintahan yang menjadi katalis bagi korupsi. Di sana terdedahkan soal
ancaman disrupsi dan divergensi sosial, tetapi tak terkonseptualisasikan
bagaimana politik pendidikan masa depan.
Masalah
kian kompleks dan mendasar, tetapi daya baca dan jawabannya kian cetek. Dengan
perhatian politik lebih tertuju pada peningkatan popularitas dan penyenangan
hasrat rakyat sesaat, pembangunan nasional cenderung dijalankan dengan
tambal-sulam dan terpenggal-penggal sebagai pemadam kebakaran. Dengan begitu,
masalah-masalah laten yang mendasar dan berkesinambungan cenderung diabaikan.
Setiap
sistem politik harus punya sabuk (katup) pengaman. Kelemahan visi pada
kepemimpinan politik yang cenderung bersifat ad hoc, mengingatkan kembali akan
pentingnya semacam pedoman direktif yang memberi haluan pembangunan secara
terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Dengan
adanya pedoman direktif, rel kereta pembangunan telah dipasang sehingga siapa
pun dan bagaimanapun tendensi masinisnya akan tetap berjalan di atas rel visi
pembangunan yang ajek.
Dalam
alam pemikiran pendiri bangsa, usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan
nasionalnya, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, haruslah bersandar pada
tiga konsensus fundamental: Pancasila sebagai falsafah dasar, UUD sebagai
hukum/norma dasar, dan haluan negara sebagai kebijakan dasar.
Apabila
Pancasila mengandung prinsip-prinsip filosofis, konstitusi mengandung
prinsip-prinsip normatif, haluan negara mengandung prinsip-prinsip direktif.
Nilai- nilai filosofis Pancasila bersifat abstrak. Pasal-pasal konstitusi juga
kebanyakan mengandung norma-norma besar yang tidak memberikan arahan bagaimana
cara melembagakannya.
Untuk
itu, diperlukan suatu kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan
dasar (directive principles) tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai
Pancasila dan konstitusi itu ke dalam berbagai pranata publik yang dapat
memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan
pembangunan secara terpimpin, terencana, dan terpadu. Sebagai prinsip direktif,
haluan negara itu juga harus menjadi pedoman dalam pembuatan
perundang-undangan.
Memang
ada beberapa negara yang memuat prinsip-prinsip direktif itu dalam
konstitusinya. Konstitusi India dan Filipina saat ini, misalnya, dengan
mendapat inspirasi dari pasal-pasal tentang directive principles of social
policies yang terdapat pada Konstitusi Irlandia (1937).
Konstitusi
Irlandia tersebut sudah ada sebelum para pendiri bangsa menyusun Rancangan UUD
1945. Hampir pasti orang sekaliber Soepomo dan Muhammad Yamin dengan tingkat
erudisi yang luas dan perhatian yang mendalam atas subyek konstitusi sudah
mengetahuinya. Apabila UUD 1945 tidak memuat prinsip-prinsip direktif tersebut
dalam pasal-pasal tersendiri, sudah barang tentu ada alasannya.
Pertama,
persoalan ketidakcukupan waktu sehingga Soepomo baru belakangan menyertakan
naskah penjelasan UUD 1945, yang hingga taraf tertentu mengandung nuansa
prinsip-prinsip direktif. Kedua, cakupan GBHN jauh lebih luas dan lebih
elaboratif daripada prinsip-prinsip direktif yang bisa diakomodasi dalam
konstitusi.
Ketiga,
muatan GBHN harus lebih dinamis dalam merespons perkembangan zaman ketimbang
konstitusi. Dalam keterangannya pada Rapat Besar BPUPKI (15 Juli 1945), Soepomo
menyatakan, ”Mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam lima tahun Majelis
Permusyawaratan Rakyat memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran
pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk di
kemudian hari.”
Dengan
menyelami maksud asal dan praktik kenegaraan yang dijalankan para pendiri
bangsa, kita bisa menyimpulkan bahwa ”haluan negara” itu mengandung dua tuntunan:
haluan yang bersifat ideologis dan haluan yang bersifat strategis- teknokratis.
Haluan
ideologis berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah penuntun dalam
menjabarkan falsafah negara dan pasal-pasal konstitusi ke dalam berbagai
perundang-undangan dan kebijakan pembangunan di segala bidang serta lapisan.
Haluan
strategis berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu, dan
terpimpin dalam jangka panjang secara bertahap dan berkesinambungan dengan
memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).
Dengan
adanya pedoman direktif seperti itu, pemimpin politik bisa lebih fokus dalam
membangun kerangka dukungan dan pemilihan tim kerja yang kredibel dan
akseptabel serta menetapkan kerangka prioritas pembangunan.
Adapun
rel visi pembangunan jangka panjang akan disusun oleh tim ahli secara lintas
disiplin, lintas kelembagaan, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan
sebagai masukan untuk ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perdebatan
calon presiden dan wakil presiden tidak perlu lagi membincangkan visi dan misi,
tetapi cukuplah pada soal penyusunan prioritas pembangunan sebagai turunan dari
pedoman direktif. Dengan cara begitu, dimensi-dimensi sinkronik (kebaruan
inovatif) suatu rezim pemerintahan akan tetap berjalan di atas landasan
diakronik (rel jangka panjang) yang secara berkesinambungan mendekati stasiun
cita-cita pembangunan nasional. []
KOMPAS,
14 Maret 2019
Yudi Latif | Anggota Aliansi Kebangsaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar