Mengkaji
dan Mengaji Semesta Raya
Judul
: Semesta pun Berthawaf
Penulis
: T. Djamaluddin
Penerbit
: Mizan
Cetakan
: I, Maret 2018
ISBN
: 978-602-441-051-3
Peresensi
: Muhammad Faiz As, santri
pegiat literasi yang bermukim di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan
Guluk-guluk, Sumenep, Jawa Timur.
Seiring
menuanya zaman, diam-diam ada yang hilang dari kehidupan manusia, utamanya
masyarakat kota, yaitu eksotisme langit. Kelap-kelip gemintang termanipulasi
oleh gemerlap lampu perkotaan. Indahnya matahari terbit dan terbenam tertabiri
deretan gedung tinggi menjulang.
Pergantian
siang dan malam hanya dipahami sederhana sebagai isyarat untuk bekerja dan
beristirahat. Padahal jika disimak dan direnungi lebih jauh, peristiwa-peristiwa
tersebut bukan hanya formalitas dan kesia-siaan semata, tapi mengandung pesan
dan pelajaran yang sangat berharga.
Dalam
khazanah keilmuan, sains dapat berperan sebagai media untuk mengkaji sekaligus
menafakuri gejala alam yang terjadi. Namun di ranah agama, beberapa kelompok
seringkali memetak-pisahkan kesinambungan antara sains dan al-Quran,
lantaran fakta-fakta alam yang berhasil diungkap sains dinilai tidak searah
dengan ayat-ayat kauniyah yang tertulis dalam kitab suci. Salah satu misal,
perihal kepercayaan bumi datar yang kata penulis buku ini sebatas dongeng
belaka.
Melalui
“Semesta pun Berthawaf”nya, T. Djamaluddin menampilkan sudut yang berbeda untuk
memandang posisi sains dalam agama. Menurutnya, asumsi yang menggaungkan bahwa
sains menyalahi al-Quran, sebenarnya disandarkan pada penafsiran yang dicomot
sembarangan terhadap ayat-ayat kauniyah sehingga tercerabut dari konteksnya.
Seperti
kata Firasyan(hamparan) dalam QS. Al-Baqarah ayat 22 yang sejatinya bermakna
“hamparan tempat istirahat”, bukan dalam makna keseluruhan bumi datar. Demikian
pula term-term lain yang kerapkali diartikan terlalu sederhana dan jauh dari
objektivitas tafsirnya, semacam kata Madadnaha(QS [15]: 19), Barizatan(QS [18]:
47), Mihadan(QS [78]: 6), dan Suthihat (QS [88]: 20).
Di
samping meluruskan ketimpangan antara sains dan agama, Profesor Riset
Astronomi Astrofisika LAPAN dan Tim Tafsir Ilmi Kemenag RI ini juga mengurai
proses tata kerja benda-benda langit yang kaya hikmah dan permenungan. Allah
adalah kreator terbaik yang menciptakan jagad raya, dengan keindahan,
keharmonisan dan keteraturan dalam setiap mekanismenya. Namun, kreasi ini bukan
sekedar konsumsi indrawi, Allah juga menyiratkan hikmah di balik penciptaan
sebagai konsumsi batin manusia.
Untuk
kita yang masih enggan berdamai dengan kemajemukan bangsa ini, barangkali perlu
belajar dari harmoni pelangi yang amat indah sekalipun terdiri atas aneka
spektrum warna. Pelangi menggambarkan hakikat persatuan. Karakteristik
masing-masing komponen tidak perlu ditonjolkan, dihilangkan atau diseragamkan,
karena keanekaragaman adalah kekayaan. Masing-masing elemen memiliki perannya
sendiri dan tidak saling mendominasi(hlm. 29).
Bintang
juga menyimpan hikmah agung yang berkelindan langsung dengan kehidupan manusia.
Bintang tidak selamanya di atas. Ada saatnya muncul, mencapai puncak, kemudian
pada saatnya juga akan tenggelam. Bintang juga tidak selamanya cemerlang. Awan
gelap, polusi cahaya dan polusi udara kadangkala usil menghalangi cahayanya.
Siklus
bintang ini merupakan analogi dari seorang pemimpin, yang lahir, menggapai masa
emasnya, kemudian wafat atau mundur teratur mengalami keruntuhan. Adakalanya
kecemerlangan sang pemimpin meredup dan dilupakan orang karena tertutup “awan
gelap” kondisi politik masanya. Terkadang pula, “polusi” berupa godaan duniawi
mengganggu kecemerlangannya, dan akhirnya sinar sang pemimpin lenyap begitu
saja (hlm. 23).
Sebenarnya
tidak satu pun karya manusia yang mampu menuntaskan hikmah di balik penciptaan
yang serupa mayapada tak berujung ini. Namun, setidaknya buku ini bisa menjadi
salah satu media tafakur bagi kehidupan manusia kekinian, yang semakin enggan
mengkaji dan mengaji semesta raya.
Dengan
ilustrasi dan foto-foto serta gaya bahasa yang menarik dan menyenangkan. Sang
penulis buku T. Djamaluddin menggiring kita untuk tidak sekedar melihat dan
menikmati alam semesta dalam wujud an sichnya. Lebih jauh, pikiran kita
diarahkan pada sejumlah pertanyaan: Apa, siapa, mengapa, kapan dan bagaimana
wujud itu berada secara eksistensial dan menautkannya dengan fungsi-fungsi
universal kehidupan manusia.
Sebuah
upaya untuk mendekatkan diri pada Allah dan mencapai predikat “Ulul Albab”,
yaitu para cendekia yang pandai menggunakan akalnya untuk membaca dan menyimak
realitas alam semesta. Wallahu a’lam. Selamat membaca dan Salam Literasi! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar