Senin, 11 Maret 2019

Diplomasi ‘Cancut Tali Wondo’ Kiai Wahab Chasbullah


Diplomasi ‘Cancut Tali Wondo’ Kiai Wahab Chasbullah

Kolega, teman seperjuangan, sekaligus murid KH Muhammad Hasyim Asy’ari bernama KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) bukan hanya seorang ulama, pimpinan pesantren, dan tokoh pergerakan nasional, tetapi juga seorang diplomat ulung.

Sederet perjuangannya untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara terlihat ketika ia memimpin delegasi Komite Hijaz yang berupaya mengurungkan niat Raja Sa’ud untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW serta memperjuangkan tradisi dan ajaran ulama empat madzhab di Arab Saudi.

Ulama asal Tambakberas, Jombang ini kosnsisten di ranah pergerakan dengan mendirikan perkumpulan atau organisasi yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama, yakni Nahdlatut Tujjar, Tashwirul Afkar, dan Madrasah Nahdlatul Wathan. Basis kepentingan umat menjadi modal penting bagi Kiai Wahab Chasbullah dalam setiap diplomasi yang dilakukannya, terutama dengan pihak penjajah.

Bagi kalangan pesantren, diplomasi merupakan salah satu langkah penting selain gerakan kultural yang terbukti mampu membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia. Dari kematangan diplomasinya ini, Presiden Soekarno senantiasa meminta nasihat, saran, dan masukan Kiai Wahab dalam membahas berbagai persoalan.

Setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, peran kiai NU seperti Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Saifuddin Zuhri, dan Kiai Idham Chalid sangat mempengaruhi keputusan Soekarno dari isi Dekrit yang dapat diterima semua kalangan. Selain membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955, dekrit juga berisi kembali kepada UUD 1945, dan membentuk MPRS dan DPAS.

Para kiai NU tetap menjadikan UUD 1945 mempunyai pondasi nilai-nilai Islam yang kokoh yang bersumber dari Piagam Jakarta. Dengan kata lain, Piagam Jakarta tetap menjiwai UUD 1945 sehingga ideologi komunis dan sosialisme PKI tidak mendominasi UUD 1945. Seluruh kelompok Islam dan nasionalis menyambut hangat usulan para kiai NU tersebut sehingga Soekarno pun mantap membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di Istana Merdeka Jakarta.

Atas perannya itu, Kiai Wahab, Kiai Saifuddin Zuhri, dan Kiai Idham Chalid diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Lagi-lagi, peran kiai-kiai NU di DPAS sangat penting karena saat itu PKI menghendaki sosialisme Indonesia sebagai sosialisme Komunis ala Moskow maupun Peking. Selama berbulan-bulan dewan pertimbangan ini bersidang membicarakan tentang Sosialisme Indonesia, Landreform, dan Pancasila.

Para kiai NU tersebut selalu mengimbangi konsep PKI dan secara tidak langsung menghalau pikiran-pikiran PKI yang berupaya mengancam keselamatan Pancasila. Kalangan pesantren dan para kiai NU senantiasa mendekat kepada Presiden Soekarno bukan bermaksud ‘nggandul’ kepada penguasa, melainkan agar bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan strategis supaya keputusan-keputusan Soekarno tidak terpengaruh oleh PKI.

Choirul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya, ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda.

Kiai Wahab segera menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.

Ikhtiar lahir batin tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu, kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut berpatisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.

Semua pertimbangan tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan, keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan, ‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan keadaan dalam negeri.

Ternyata, saran Kiai Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanada menganggap bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia. []

(Fathoni Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar