Diplomasi ‘Cancut
Tali Wondo’ Kiai Wahab Chasbullah
Kolega, teman
seperjuangan, sekaligus murid KH Muhammad Hasyim Asy’ari bernama KH Abdul Wahab
Chasbullah (1888-1971) bukan hanya seorang ulama, pimpinan pesantren, dan tokoh
pergerakan nasional, tetapi juga seorang diplomat ulung.
Sederet perjuangannya
untuk kepentingan umat, bangsa, dan negara terlihat ketika ia memimpin delegasi
Komite Hijaz yang berupaya mengurungkan niat Raja Sa’ud untuk membongkar makam
Nabi Muhammad SAW serta memperjuangkan tradisi dan ajaran ulama empat madzhab
di Arab Saudi.
Ulama asal
Tambakberas, Jombang ini kosnsisten di ranah pergerakan dengan mendirikan
perkumpulan atau organisasi yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya jam’iyah
Nahdlatul Ulama, yakni Nahdlatut Tujjar, Tashwirul Afkar, dan Madrasah
Nahdlatul Wathan. Basis kepentingan umat menjadi modal penting bagi Kiai Wahab
Chasbullah dalam setiap diplomasi yang dilakukannya, terutama dengan pihak
penjajah.
Bagi kalangan
pesantren, diplomasi merupakan salah satu langkah penting selain gerakan
kultural yang terbukti mampu membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia.
Dari kematangan diplomasinya ini, Presiden Soekarno senantiasa meminta nasihat,
saran, dan masukan Kiai Wahab dalam membahas berbagai persoalan.
Setelah Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, peran kiai NU seperti Kiai Wahab
Chasbullah, Kiai Saifuddin Zuhri, dan Kiai Idham Chalid sangat mempengaruhi
keputusan Soekarno dari isi Dekrit yang dapat diterima semua kalangan. Selain
membubarkan Badan Konstituante hasil Pemilu 1955, dekrit juga berisi kembali
kepada UUD 1945, dan membentuk MPRS dan DPAS.
Para kiai NU tetap
menjadikan UUD 1945 mempunyai pondasi nilai-nilai Islam yang kokoh yang
bersumber dari Piagam Jakarta. Dengan kata lain, Piagam Jakarta tetap menjiwai
UUD 1945 sehingga ideologi komunis dan sosialisme PKI tidak mendominasi UUD
1945. Seluruh kelompok Islam dan nasionalis menyambut hangat usulan para kiai
NU tersebut sehingga Soekarno pun mantap membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
di Istana Merdeka Jakarta.
Atas perannya itu,
Kiai Wahab, Kiai Saifuddin Zuhri, dan Kiai Idham Chalid diangkat sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Lagi-lagi, peran kiai-kiai
NU di DPAS sangat penting karena saat itu PKI menghendaki sosialisme Indonesia
sebagai sosialisme Komunis ala Moskow maupun Peking. Selama berbulan-bulan
dewan pertimbangan ini bersidang membicarakan tentang Sosialisme Indonesia,
Landreform, dan Pancasila.
Para kiai NU tersebut
selalu mengimbangi konsep PKI dan secara tidak langsung menghalau
pikiran-pikiran PKI yang berupaya mengancam keselamatan Pancasila. Kalangan
pesantren dan para kiai NU senantiasa mendekat kepada Presiden Soekarno bukan
bermaksud ‘nggandul’ kepada penguasa, melainkan agar bisa memberikan
pertimbangan-pertimbangan strategis supaya keputusan-keputusan Soekarno tidak
terpengaruh oleh PKI.
Choirul Anam dalam
bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) menyebutkan, hubungan baik
antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya
saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya, ketika
DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang
Papua) dengan pihak Belanda.
Kiai Wahab segera
menyampaikan sarannya yang terkenal dengan istilah ‘Diplomasi Cancut Tali
Wondo’. Maksudnya untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia
diperlukan waktu untuk menggalang kekuatan lahir dan batin di segala bidang.
Ikhtiar lahir batin
tersebut ialah urusan dalam negeri harus diselesaikan terlebih dahulu,
kehidupan politik harus sehat, partai politik harus diberi jaminan untuk ikut
berpatisipasi secara jujur dan adil, rakyat harus diangkat dari kungkungan
kemiskinan, penghematan harus dilakukan di segala tingkatan, demokrasi harus
berjalan dengan baik agar rakyat merasa tidak dibatasi.
Semua pertimbangan
tersebut perlu dipikirkan dan dilaksanakan. Bagaimana bisa melakukan diplomasi
secara jantan dengan pihak Belanda jika keadaan dalam negeri masih rentan,
keropos, dan belum kondusif. Dari ikhtiar ini, Kiai Wahab menyatakan,
‘Diplomasi Cancut Tali Wondo’ memang memerlukan waktu karena pertimbangan
keadaan dalam negeri.
Ternyata, saran Kiai
Wahab tidak meleset. Pada mulanya, Belanada menganggap bahwa Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak mempunyai kemampuan ofensif. Tetapi
setelah persiapan sudah matang dan di antaranya dilakukan pembelian peralatan
ofensif di Moskow pada 4 Januari 1961, barulah Belanda sadar bahwa kemampuan
itu adalah soal waktu. Pada akhirnya, bebaslah Irian Barat dari tangan Belanda
dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Republik Indonesia. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar