Ada Makam Mbah Ganjur
di Arena Konferwil NU Jateng
Pondok Pesantren
Miftahul Huda Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah,
hari ini menjadi pusat perhatian warga NU khususnya yang ada di Jawa Tengah.
Pasalnya, hari ini Sabtu (7/7) pesantren yang mengamalkan thariqah Qodiriyah
wan Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah menjadi shahibul bait (tuan rumah-red)
perhelatan Konferensi Wilayah (Konferwil) XV Nahdlatul Ulama Jawa Tengah.
Di komplek pesantren
ini terdapat sebuah makam kuno yang merupakan leluhur Gus Dur di Desa Ngroto
Grobogan.
Terdapatnya bangunan
masjid kuno dan makam Abdurrahman Ganjur Godho Mustoko atau lebih dikenal
dengan nama Simbah Ganjur di Desa Ngroto, Gubug, Grobogan menjadi salah satu
bukti nilai sejarah siar agama Islam di kabupaten tersebut.
Selain sebagai tempat
dimakamkannya salah satu tokoh agama Islam di masa Walisongo tersebut, Desa
Ngroto juga merupakan tempat dimakamkannya Simbah Gareng yang menurut tokoh
masyarakat setempat merupakan kakek dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim
Asy'ari.
Selain nama besar
tokoh Islam di Jawa tersebut, wilayah Desa Ngroto juga menjadi tempat
dimakamkannya beberapa tokoh yang ikut menyebarkan Islam di wilayah sekitar.
Sebut saja Simbah Khamidin, Simbah Sirodjudin, Simbah Nur Khatam, Simbah Abdul
Ghofar Abdul Ghofur yang lebih dikenal sebagai Simbah Mabur Mawur, Kiai
Damanhuri, Simbah Abdullah, Simbah KH Masduri Damanhuri, dan Habib Husain
Al-Hindwan.
”Desa Ngroto juga
merupakan tempat awal Majelis Al-Khidmah oleh KH Oetsman dan KH Asrori
Al-Ishaqi yang berkembang di Jateng dan DIY. Di sini terkenal pula sebagai
tempat pengobatan alternatif seperti sangkal putung, patah tulang, pijat bayi
dan lain lain,” kata Ketua Ponpes Miftahul Huda Desa Ngroto, ustad Muttaqien.
Karena memiliki nilai
sejarah yang tinggi, Ponpes Miftahul Huda yang diasuh KH Munir Abdullah pada
setiap kegiatan haul akbar dan Haflah Dzikir Maulidurrasul selalu dibanjiri
jamaah. Bahkan setiap selapan (36 hari) sekali pada malam 17-an dalam
penanggalan Jawa rutin digelar acara istighotsah dan manaqiban yang diikuti
tokoh agama, kiai dari berbagai wilayah serta para habib.
Almarhum Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur pernah pula singgah di desa yang sebagian wilayahnya
merupakan kawasan genangan dari Sungai Tuntang ini. Sebagaimana penuturan salah
satu tokoh masyarakat, Kiai Chumaidi, Desa Ngroto dikenal karena memiliki
kontribusi sejarah penyerbuan para Wali Sembilan (Walisongo) atas ibukota Majapahit.
Para Wali Sembilan
yang berhasil mendirikan Kesultanan Demak akhirnya membentuk pasukan yang
dipimpin Sayyid Abdurrahman dari Desa Ngroto. Sayyid Abdurrahman dipilih oleh
Wali Sembilan karena memiliki keterampilan membuat alat musik pukul, sehingga
dia diberi gelar Ki Ageng Ganjur (alat musik pukulan di bawah gong dalam
perangkat gamelan wayang). Alat musik Ganjur tersebut dipakai sebagai alat
komunikasi dengan pasukan-pasukannya.
Sekitar satu abad
setelah Kiai Sayyid Abdurrahman Ganjur wafat, datang seseorang bernama Khamidin
ke Pedukuhan Ngroto untuk memperdalam ajaran agama Islam. Khamidin kemudian
menikah dengan wanita setempat dan diangkat menjadi demang (kepala dukuh). Ki
Demang Khamidin meminta kepada Kiai Soleh dari Jatisari, Salatiga Makam
Mbah Ganjur untuk mendirikan masjid pada sebidang tanah miliknya, ini untuk
lebih mensiarkan agama Islam.
”Pada suatu ketika
Kiai Siradjudin berjalan-jalan di pinggir Sungai Tuntang. Karena kepandaian
yang dimiliki, dia mampu melihat dua makam lama, yaitu makam Kiai Abdurrahman
Ganjur berdampingan dengan ibunya Nyai Syamsiyah yang tertimbun lumpur sungai,”
kata Chumaidi.
Oleh Kiai Siradjudin
makam tersebut kemudian dibersihkan, dan diberi nisan. Semua penduduk diajak
merawat makam itu, karena almarhum Kiai Abdurrahman Ganjur adalah orang yang
berjasa mengislamkan penduduk Ngroto.
Bangunan Masjid Jami'
Sirodjuddin Ngroto yang terbuat dari kayu Jati glondongan (utuh-red), sampai
sekarang ini masih berdiri kokoh.
Bangunan masjid ini
memiliki keunikan, yaitu tidak pernah terdapat rumah serangga yang menempel,
meskipun sejak pertama berdiri belum pernah dibersihkan. Kentongan yang dibuat
bersamaan waktu masjid dibangun hingga sekarang disimpan dekat mimbar.
Berkat jasa-jasanya
ketika wafat jenazah Kiai Siradjudin dimakamkan di sebelah timur makam Kiai
Abdurrahman Ganjur.
Di atas makam
tersebut dibuatkan cungkup dengan bentuk yang sangat cantik. Untuk menghormati
jasanya, setiap tanggal satu Syura digelar haul bersamaan dengan haul Kiai
Abdurrahman Ganjur.
Saat ini di Desa
Ngroto terdapat Ponpes Miftahul Huda dan lembaga pendidikan Yaspia (Yayasan
Pejuang Islam Abdurrahman Ganjur), sebagai salah satu bukti bahwa desa tersebut
memiliki sejarah perkembangan Islam yang cukup besar. Bangunan Masjid Jamik
Sirodjuddin Ngroto di lokasi Ponpes Miftahul Huda juga mampu menampung jamaah
Al-Khidmah yang melakukan kegiatan ritual keislaman.
Pada suatu ketika
Syeh Maulana Maghribi pergi ke tanah Jawa, untuk berdagang dan menyebarkan
agama Islam. Bertahun-tahun beliau di tanah Jawa, tanpa memberi kabar istrinya.
Karena rindu kepada ayahnya, setiap malam Abdurrahman selalu menangis.
Nyai Samsiyah
kebingungan melihat putranya itu, maka beliau bertekad menyusul suaminya ke
tanah Jawa. Dengan menumpang kapal layar, berangkatlah Nyi Samsiyah bersama
putranya menuju tanah Jawa. Turunlah Nyi Samsiyah bersama putranya di pelabuhan
Cirebon, kemudian dicari rumah penduduk untuk tempat menginap.
Ditempat yang baru
itu Nyi Samsiyah kebingungan mencari keberadaan suaminya. Karena takut
meneruskan perjalanan, beliau memutuskan sementara tinggal di Cirebon. Kemudian
Nyi Samsiyah melanjutkan perjalanannya menuju Demak.
Selama berada di
Demak, mereka diberi tugas menanak nasi untuk makan para santri yang bekerja
membuat masjid. Sedangkan Abdurrahman diberi tugas mengumpulkan kayu tatal,
yang digunakan untuk menanak nasi.
Sunan Kalijaga
tertarik melihat ketekunan ibu dan anak itu, dalam bekerja, menyediakan makanan
bagi para pekerja.
Juga melihat sorot
mata Abdurrahman, Sunan Kalijaga tahu bahwa anak itu memiliki suatu kelebihan.
Karena itu beliau ingin mencoba, sampai di mana ketekunan Abdurrahman
melaksanakan tugas yang diberikan. Beliau kemudian memberi tugas Abdurrahman
untuk memukul bende (bedug), tanda para santri harus melaksanakan sholat atau
istirahat.
Ternyata dalam
memukul bende dia tidak menggunakan kayu, tetapi hanya menggunakan kepalan
tangan (bahasa Jawa : diganjur). Walau menggunakan kepalan tangan, tetapi
suaranya dapat terdengar sampai jauh. Dengan kelebihan itu, Abdurrahman diberi
nama julukan Ganjur.
Syaikh Abdurrahman
Ganjur dalam beberapa cerita riwayat disebutkan pernah diamanahi sebagai Marbot
Masjid Agung Demak dan yang merawat Mas Karebet/Joko Tingkir/Sultan Hadiwijoyo
ketika awal berkhidmat di Kesultanan Demak.
menurut cerita tutur
para sesepuh Ngroto, Julukan Ganjur selain yg diceritan diatas, diberikan oleh
para wali songo ketika Abdurrahman muda ikut membantu membangun Masjid
Demak.
Dalam pembangunan
Masjid Demak ketika akan memasang mustoko masjid, tidak ada yang bisa memasang.
Oleh para wali yang di wakili oleh Sunan Kalijogo memerintahkan Abdurrahman
muda untuk memasang. Dengan keistimewaan yang dimiliki, Syaikh Abdurrahman
akhirnya berhasil memasang mustoko dengan menggunakan tangan kosong. Beliau
memasukkan purus yg ada di mustoko dengan cara memukul dengan tangan, sampai
akhirnya Beliau mendapat julukan Abdurrahman Ganjur Godomustoko.
Mantan Ketua Umum
PBNU Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak kecil memang sudah
menyukai ziarah kubur, katanya, orang yang sudah meninggal memang tidak ada
kepentingan. Begitu juga makam yang belum diketahui orang kemudian oleh Gusdur
diziarahi setelah itu baru ramai, beberapa menyikap makam-makam
wali.
Pernah juga setelah
selesai pengajian di Demak Gus Dur ziarah ke mbah Ganjur, dari setengah 2
sampai subuh tidak ketemu, kemudian pulang karena belum diizini. Yang kedua Gus
Dur datang lagi makamnya pas banjir, sampai di sana jembatannya hanyut.
Yang ketiga pas ada
acara di semarang baru bisa ziarah. Mbah Ganjur adalah pemimpin pasukan Demak,
yang dipasrahi Raden Fatah untuk memimpin pasukan Demak untuk menyerang
mojopahit sebetulnya, tapi begitu konsultasi ke mbah Ampel dilarang, karena
kesannya jelek, anak nyerang orang tua. Menurut mbah Ampel, majapahit itu akan
runtuh dari dalam.
Terdapatnya bangunan
masjid kuno dan makam Abdurrahman Ganjur Godho Mustoko atau lebih dikenal
dengan nama Simbah Ganjur di Desa Ngroto, Gubug, Grobogan menjadi salah satu
bukti nilai sejarah syiar agama Islam di kabupaten tersebut.
Selain sebagai tempat
dimakamkannya salah satu tokoh agama Islam di masa Walisongo tersebut, Desa
Ngroto juga merupakan tempat dimakamkannya Simbah Gareng yang menurut tokoh
masyarakat setempat merupakan kakek dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim
Asy’ari.
Menurut Heru Wardono
yang akrab disapa Mbah Bejo, seorang pemerhati sejarah dan budaya Kabupaten
Grobogan, Gus Dur adalah keturunan dari Mbah Khoiron. Konon dulu, ada salah
satu santri di Pondok Pesatren Ngroto yang dipimpin Kiai Siradjudin, yang
bernama Khoiron. Setelah tamat mengaji, dia menjadi kiai di Ngroto juga. Karena
badannya kecil dan pendek, dia mendapat julukan Mbah Gareng.
Kiai Khoiron mempunyai
2 anak laki-laki, yang bernama Asy’ari dan Asngari. Asy’ari menambah ilmu agama
di Jombang, Jawa Timur, menjadi Kyai dan berkeluarga di sana. Kiai Asy’ari
menurunkan KH Hasyim Asy’ari pendiri Nadlathul Ulama. Hasyim Asy’ari menurunkan
KH Wahid Hasyim, Menteri Agama Pertama Republik Indonesia, yang merupakan ayah
dari Presiden ke 4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid yang juga disapa Gus
Dur.
Sedangkan Asngari,
yang tetap tinggal di Ngroto, menurunkan Baedlowi (Kades Ngroto pertama).
Baedlowi menurunkan Sukemi, dan Sukemi menurunkan Zuhri (Mbah Zuhri
Kuwaron). “Di saat Gus Dur menjabat Presiden, beliau bersama wakilnya
Megawati, pada tahun 2002 pernah datang ke Desa Ngroto“, kata Mbah Bejo yang
didampingi juru kunci makam.
Sedangkan Asyngari
menurunkan Baedlowi, Baedlowi menu-runkan Sukemi, dan Sukemi menurunkan Zuhri
(Kuwaron). Dengan demikian jelas kalau Kiai Khoiron (dimakamkan di Ngroto),
adalah buyut dari Gus Dur.
Hari ini, di Komplek
Pemakaman Mbah Ganjur sdang berlangsung perhelatan Konferwil XV NU Jawa Tengah
untuk memilih Rais dan Ketua untuk masa lima tahun yang akan datang. Semoga
pemilihan tempat di samping untuk mengingatkan kembali sejarah perjuangan Mbah
Ganjur, sekaligus sebagai tonggak sejarah keberlangsungan Nahdlatul Ulama
khususnya di Jawa Tengah. Dan semoga pula hasil-hasil yang diputuskan dalam
konferwil hari ini membawa kemaslahatan dan kesejahteraan NU sebagai jam'iyyah
dan nahdliyyin sebagai jama'ah. []
Abdul Muiz, dari
berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar