Rabu, 13 Maret 2019

Ada Makam Mbah Ganjur di Arena Konferwil NU Jateng


Ada Makam Mbah Ganjur di Arena Konferwil NU Jateng

Pondok Pesantren Miftahul Huda Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, hari ini menjadi pusat perhatian warga NU khususnya yang ada di Jawa Tengah. Pasalnya, hari ini Sabtu (7/7) pesantren yang mengamalkan thariqah Qodiriyah wan Naqsabandiyah Al-Utsmaniyah menjadi shahibul bait (tuan rumah-red) perhelatan Konferensi Wilayah (Konferwil) XV Nahdlatul Ulama Jawa Tengah.

Di komplek pesantren ini terdapat sebuah makam kuno yang merupakan leluhur Gus Dur di Desa Ngroto Grobogan.

Terdapatnya bangunan masjid kuno dan makam Abdurrahman Ganjur Godho Mustoko atau lebih dikenal dengan nama Simbah Ganjur di Desa Ngroto, Gubug, Grobogan menjadi salah satu bukti nilai sejarah siar agama Islam di kabupaten tersebut. 

Selain sebagai tempat dimakamkannya salah satu tokoh agama Islam di masa Walisongo tersebut, Desa Ngroto juga merupakan tempat dimakamkannya Simbah Gareng yang menurut tokoh masyarakat setempat merupakan kakek dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy'ari.  

Selain nama besar tokoh Islam di Jawa tersebut, wilayah Desa Ngroto juga menjadi tempat dimakamkannya beberapa tokoh yang ikut menyebarkan Islam di wilayah sekitar. Sebut saja Simbah Khamidin, Simbah Sirodjudin, Simbah Nur Khatam, Simbah Abdul Ghofar Abdul Ghofur yang lebih dikenal sebagai Simbah Mabur Mawur, Kiai Damanhuri, Simbah Abdullah, Simbah KH Masduri Damanhuri, dan Habib Husain Al-Hindwan.

”Desa Ngroto juga merupakan tempat awal Majelis Al-Khidmah oleh KH Oetsman dan KH Asrori Al-Ishaqi yang berkembang di Jateng dan DIY. Di sini terkenal pula sebagai tempat pengobatan alternatif seperti sangkal putung, patah tulang, pijat bayi dan lain lain,” kata Ketua Ponpes Miftahul Huda Desa Ngroto, ustad Muttaqien.

Karena memiliki nilai sejarah yang tinggi, Ponpes Miftahul Huda yang diasuh KH Munir Abdullah pada setiap kegiatan haul akbar dan Haflah Dzikir Maulidurrasul selalu dibanjiri jamaah. Bahkan setiap selapan (36 hari) sekali pada malam 17-an dalam penanggalan Jawa rutin digelar acara istighotsah dan manaqiban yang diikuti tokoh agama, kiai dari berbagai wilayah serta para habib.

Almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah pula singgah di desa yang sebagian wilayahnya merupakan kawasan genangan dari Sungai Tuntang ini. Sebagaimana penuturan salah satu tokoh masyarakat, Kiai Chumaidi, Desa Ngroto dikenal karena memiliki kontribusi sejarah penyerbuan para Wali Sembilan (Walisongo) atas ibukota Majapahit.

Para Wali Sembilan yang berhasil mendirikan Kesultanan Demak akhirnya membentuk pasukan yang dipimpin Sayyid Abdurrahman dari Desa Ngroto. Sayyid Abdurrahman dipilih oleh Wali Sembilan karena memiliki keterampilan membuat alat musik pukul, sehingga dia diberi gelar Ki Ageng Ganjur (alat musik pukulan di bawah gong dalam perangkat gamelan wayang). Alat musik Ganjur tersebut dipakai sebagai alat komunikasi dengan pasukan-pasukannya.

Sekitar satu abad setelah Kiai Sayyid Abdurrahman Ganjur wafat, datang seseorang bernama Khamidin ke Pedukuhan Ngroto untuk memperdalam ajaran agama Islam. Khamidin kemudian menikah dengan wanita setempat dan diangkat menjadi demang (kepala dukuh). Ki Demang Khamidin meminta kepada Kiai Soleh dari Jatisari, Salatiga  Makam Mbah Ganjur untuk mendirikan masjid pada sebidang tanah miliknya, ini untuk lebih mensiarkan agama Islam.

”Pada suatu ketika Kiai Siradjudin berjalan-jalan di pinggir Sungai Tuntang. Karena kepandaian yang dimiliki, dia mampu melihat dua makam lama, yaitu makam Kiai Abdurrahman Ganjur berdampingan dengan ibunya Nyai Syamsiyah yang tertimbun lumpur sungai,” kata Chumaidi.

Oleh Kiai Siradjudin makam tersebut kemudian dibersihkan, dan diberi nisan. Semua penduduk diajak merawat makam itu, karena almarhum Kiai Abdurrahman Ganjur adalah orang yang berjasa mengislamkan penduduk Ngroto.

Bangunan Masjid Jami' Sirodjuddin Ngroto yang terbuat dari kayu Jati glondongan (utuh-red), sampai sekarang ini masih berdiri kokoh.

Bangunan masjid ini memiliki keunikan, yaitu tidak pernah terdapat rumah serangga yang menempel, meskipun sejak pertama berdiri belum pernah dibersihkan. Kentongan yang dibuat bersamaan waktu masjid dibangun hingga sekarang disimpan dekat mimbar.

Berkat jasa-jasanya ketika wafat jenazah Kiai Siradjudin dimakamkan di sebelah timur makam Kiai Abdurrahman Ganjur.

 Di atas makam tersebut dibuatkan cungkup dengan bentuk yang sangat cantik. Untuk menghormati jasanya, setiap tanggal satu Syura digelar haul bersamaan dengan haul Kiai Abdurrahman Ganjur.

Saat ini di Desa Ngroto terdapat Ponpes Miftahul Huda dan lembaga pendidikan Yaspia (Yayasan Pejuang Islam Abdurrahman Ganjur), sebagai salah satu bukti bahwa desa tersebut memiliki sejarah perkembangan Islam yang cukup besar. Bangunan Masjid Jamik Sirodjuddin Ngroto di lokasi Ponpes Miftahul Huda juga mampu menampung jamaah Al-Khidmah yang melakukan kegiatan ritual keislaman.

Pada suatu ketika Syeh Maulana Maghribi pergi ke tanah Jawa, untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam. Bertahun-tahun beliau di tanah Jawa, tanpa memberi kabar istrinya. Karena rindu kepada ayahnya, setiap malam Abdurrahman selalu menangis. 

Nyai Samsiyah kebingungan melihat putranya itu, maka beliau bertekad menyusul suaminya ke tanah Jawa. Dengan menumpang kapal layar, berangkatlah Nyi Samsiyah bersama putranya menuju tanah Jawa. Turunlah Nyi Samsiyah bersama putranya di pelabuhan Cirebon, kemudian dicari rumah penduduk untuk tempat menginap. 

Ditempat yang baru itu Nyi Samsiyah kebingungan mencari keberadaan suaminya. Karena takut meneruskan perjalanan, beliau memutuskan sementara tinggal di Cirebon. Kemudian Nyi Samsiyah melanjutkan perjalanannya menuju Demak.

Selama berada di Demak, mereka diberi tugas menanak nasi untuk makan para santri yang bekerja membuat masjid. Sedangkan Abdurrahman diberi tugas mengumpulkan kayu tatal, yang digunakan untuk menanak nasi. 
Sunan Kalijaga tertarik melihat ketekunan ibu dan anak itu, dalam bekerja, menyediakan makanan bagi para pekerja. 

Juga melihat sorot mata Abdurrahman, Sunan Kalijaga tahu bahwa anak itu memiliki suatu kelebihan. Karena itu beliau ingin mencoba, sampai di mana ketekunan Abdurrahman melaksanakan tugas yang diberikan. Beliau kemudian memberi tugas Abdurrahman untuk memukul bende (bedug), tanda para santri harus melaksanakan sholat atau istirahat.

Ternyata dalam memukul bende dia tidak menggunakan kayu, tetapi hanya menggunakan kepalan tangan (bahasa Jawa : diganjur). Walau menggunakan kepalan tangan, tetapi suaranya dapat terdengar sampai jauh. Dengan kelebihan itu, Abdurrahman diberi nama julukan Ganjur.

Syaikh Abdurrahman Ganjur dalam beberapa cerita riwayat disebutkan pernah diamanahi sebagai Marbot Masjid Agung Demak dan yang merawat Mas Karebet/Joko Tingkir/Sultan Hadiwijoyo ketika awal berkhidmat di Kesultanan Demak. 

menurut cerita tutur para sesepuh Ngroto, Julukan Ganjur selain yg diceritan diatas, diberikan oleh para wali songo ketika Abdurrahman muda ikut membantu membangun Masjid Demak. 

Dalam pembangunan Masjid Demak ketika akan memasang mustoko masjid, tidak ada yang bisa memasang. Oleh para wali yang di wakili oleh Sunan Kalijogo memerintahkan Abdurrahman muda untuk memasang. Dengan keistimewaan yang dimiliki, Syaikh Abdurrahman akhirnya berhasil memasang mustoko dengan menggunakan tangan kosong. Beliau memasukkan purus yg ada di mustoko dengan cara memukul dengan tangan, sampai akhirnya Beliau mendapat julukan Abdurrahman Ganjur Godomustoko. 

Mantan Ketua Umum PBNU Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak kecil memang  sudah menyukai ziarah kubur, katanya, orang yang sudah meninggal memang tidak ada kepentingan. Begitu juga makam yang belum diketahui orang kemudian oleh Gusdur diziarahi setelah itu baru ramai, beberapa menyikap makam-makam wali.  

Pernah juga setelah selesai pengajian di Demak Gus Dur ziarah ke mbah Ganjur, dari setengah 2 sampai subuh tidak ketemu, kemudian pulang karena belum diizini. Yang kedua Gus Dur datang lagi makamnya pas banjir, sampai di sana jembatannya hanyut. 

Yang ketiga pas ada acara di semarang baru bisa ziarah. Mbah Ganjur adalah pemimpin pasukan Demak, yang dipasrahi Raden Fatah untuk memimpin pasukan Demak untuk menyerang mojopahit sebetulnya, tapi begitu konsultasi ke mbah Ampel dilarang, karena kesannya jelek, anak nyerang orang tua. Menurut mbah Ampel, majapahit itu akan runtuh dari dalam.

Terdapatnya bangunan masjid kuno dan makam Abdurrahman Ganjur Godho Mustoko atau lebih dikenal dengan nama Simbah Ganjur di Desa Ngroto, Gubug, Grobogan menjadi salah satu bukti nilai sejarah syiar agama Islam di kabupaten tersebut. 

Selain sebagai tempat dimakamkannya salah satu tokoh agama Islam di masa Walisongo tersebut, Desa Ngroto juga merupakan tempat dimakamkannya Simbah Gareng yang menurut tokoh masyarakat setempat merupakan kakek dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari. 

Menurut Heru Wardono yang akrab disapa Mbah Bejo, seorang pemerhati sejarah dan budaya Kabupaten Grobogan, Gus Dur adalah keturunan dari Mbah Khoiron. Konon dulu, ada salah satu santri di Pondok Pesatren Ngroto yang dipimpin Kiai Siradjudin, yang bernama Khoiron. Setelah tamat mengaji, dia menjadi kiai di Ngroto juga. Karena badannya kecil dan pendek, dia mendapat julukan Mbah Gareng. 

Kiai Khoiron mempunyai 2 anak laki-laki, yang bernama Asy’ari dan Asngari. Asy’ari menambah ilmu agama di Jombang, Jawa Timur, menjadi Kyai dan berkeluarga di sana. Kiai Asy’ari menurunkan KH Hasyim Asy’ari pendiri Nadlathul Ulama. Hasyim Asy’ari menurunkan KH Wahid Hasyim, Menteri Agama Pertama Republik Indonesia, yang merupakan ayah dari Presiden ke 4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid yang juga disapa Gus Dur. 

Sedangkan Asngari, yang tetap tinggal di Ngroto, menurunkan Baedlowi (Kades Ngroto pertama). Baedlowi menurunkan Sukemi, dan Sukemi menurunkan Zuhri (Mbah Zuhri Kuwaron).  “Di saat Gus Dur menjabat Presiden, beliau bersama wakilnya Megawati, pada tahun 2002 pernah datang ke Desa Ngroto“, kata Mbah Bejo yang didampingi juru kunci makam. 

Sedangkan Asyngari menurunkan Baedlowi, Baedlowi menu-runkan Sukemi, dan Sukemi menurunkan Zuhri (Kuwaron). Dengan demikian jelas kalau Kiai Khoiron (dimakamkan di Ngroto), adalah buyut dari Gus Dur.

Hari ini, di Komplek Pemakaman Mbah Ganjur sdang berlangsung perhelatan Konferwil XV NU Jawa Tengah untuk memilih Rais dan Ketua untuk masa lima tahun yang akan datang. Semoga pemilihan tempat di samping untuk mengingatkan kembali sejarah perjuangan Mbah Ganjur, sekaligus sebagai tonggak sejarah keberlangsungan Nahdlatul Ulama khususnya di Jawa Tengah. Dan semoga pula hasil-hasil yang diputuskan dalam konferwil hari ini membawa kemaslahatan dan kesejahteraan NU sebagai jam'iyyah dan nahdliyyin sebagai jama'ah. []

Abdul Muiz, dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar