Leasing
dan Hukumnya dalam Fiqih Transaksi (I)
Akad Sewa Guna Usaha
merupakan istilah lain dari leasing. Payung hukum praktik leasing ini adalah
Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 1169/KMK.01/1991. Dalam KMK ini leasing
identik dimaknai sebagai sebuah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
atau pengadaan “barang modal” (‘urudl) yang didasarkan pada
perjanjian/kesepakatan antara konsumen dengan pihak pemberi modal; baik dengan
jalan sewa guna usaha yang disertai dengan hak opsi (finance lease), atau akad
sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease). Yang dimaksud sebagai “hak
opsi” di sini adalah khiyar, yaitu hak pilih nasabah untuk memutuskan
melanjutkan akad sewa dengan jual beli atau tidak.
Dengan demikian,
komponen penyusun di dalam akad leasing ini adalah sebagai berikut:
1. Lessor, yaitu
pihak penyandang modal
2. Lesse, yaitu pihak
penerima modal
3. Supplier, pihak
penyedia barang
4. Perusahaan
Asuransi
Untuk memahami maksud
dari leasing ini, perhatikan ilustrasi berikut!
“Pak Ahmad ingin
membeli mobil seharga 200 Juta, namun ia tidak memiliki uang yang cukup untuk
membelinya. Uang yang dimiliki Pak Ahmad hanya sebesar 50 juta rupiah. Agar
kebutuhannya terhadap mobil tersebut bisa dipenuhi, maka Pak Ahmad mengajak
rekanan yaitu Pak Zaid. Pak Zaid juga tidak punya uang yang lebih untuk
dipinjamkan kepada Pak Ahmad. Jika uang yang ia miliki dipinjam oleh Pak Ahmad
dalam jangka waktu yang lama, sementara ia mengandalkan perputaran uang itu
untuk aktifitas dan kebutuhan kesehariannya, maka bukan hanya uangnya saja yang
mandeg, akan tetapi pekerjaannya yang bergantung pada modal itu juga bisa
terbengkalai. Untuk itu, akhirnya diambillah solusi, sebagai berikut:
1. Pak Zaid akan
membelikan mobil tersebut atas nama Pak Ahmad, dengan uang yang tersedia dari
Pak Ahmad sebagai uang muka.
2. Pak Zaid dan Pak
Ahmad bersama-sama berangkat ke dealer untuk memilih mobil yang dibutuhkan oleh
Pak Ahmad. Setelah ada kepastian barang yang mau dibeli, Pak Zaid meminta uang
Pak Ahmad untuk ditambahkan dengan uang Pak Zaid untuk keperluan pembayarannya
secara kontan. Dengan demikian, Pak Ahmad memiliki tanggungan hutang kepada Pak
Zaid atas persekutuan di dalam akad pembelian mobil tersebut.
3. Karena yang sejak
awal berniat membeli mobil adalah Pak Ahmad, dan sebagian dari harga mobil
tersebut memakai uangnya Pak Zaid, maka Pak Zaid selanjutnya menyewakan bagian
yang dimilikinya kepada Pak Ahmad. Dengan demikian, Pak Ahmad harus membayar
"sewa guna usaha" dari mobil tersebut kepada Pak Zaid setiap bulannya
ditambah dengan biaya cicilan modalnya sesuai dengan kesepakatan. Misalnya,
kesepakatannya adalah harga sewa mobil setiap bulannya adalah: 2 juta rupiah,
dengan nisbah pembagian sewa, ¾ harga sewa adalah milik Pak Zaid, dengan lama
angsuran modal 3 tahun.
4. Modal pembelian
yang diperoleh dari Pak Zaid dan diberikan kepada Pak Ahmad harus dikembalikan
dalam “jumlah tetap”, ditambah bea sewa bagian Pak Zaid oleh Pak Ahmad. (Jadi,
seolah-olah dalam akad ini, Pak Zaid menalangi terlebih dahulu pembelian
mobilnya Pak Ahmad, dan sekaligus menyewakan bagian haknya dari mobil yang akan
terbeli dengan besaran tertentu setiap bulannya kepada Pak Ahmad).
5. Pada akhir
angsuran, mobil sudah menjadi milik Pak Ahmad sepenuhnya.
Dengan demikian, di
dalam leasing terdapat perjalanan akad sebagai berikut, adalah :
1. Penyewa
(lesse)harus membayar sewa secara berkala kepada lessor dengan jumlah yang
tetap sampai dengan akhir masa angsuran modal, misalnya sekali dalam sebulan
dalam jumlah tetap.
2. Masa sewa akan
ditentukan dalam kurun waktu tertentu, misalnya: 1 tahun, 2 tahun, 3 tahun atau
di atas 7 tahun.
3. Seorang nasabah
yang bertindak sebagai pemakai barang modal, memiliki “pilihan (opsi)” untuk
“menyerahkan” ataupun “membeli barang” modal yang telah disewa di akhir rentang
waktu perjanjian leasing tersebut. Jika menyerahkan kembali, maka ia bertindak
selaku penyewa, dan bila ia memutuskan untuk membeli, maka ia berperan selaku
pembeli.
Berikut ini adalah
ilustrasi simulasi penghitungan pembiayaan berdasar kasus Pak Ahmad dan Pak
Zaid di atas. Ilustrasi diadopsi dari berbagai sumber.

Jika melihat tabel di
atas, beberapa hal yang perlu mendapat catatan adalah sebagai berikut:
1. Besaran nilai sewa
objek leasing (mobil) yang diterima oleh Pak Zaid adalah tetap (fixed),
meskipun jumlah modal sudah diangsur setiap masa angsuran. Dengan demikian,
akad ini bukan termasuk akad musyarakah mutanaqishah, karena di dalam
musyarakah mutanaqishah, ada “pengurangan nilai sewa” seiring pengurangan rasio
modal dari pemodal.
2. Untuk “leasing
dengan hak opsi,” keputusan membeli atau hanya sekedar menyewa oleh lesee,
adalah ditentukan di akhir masa angsuran. Akan tetapi, untuk “leasing tanpa hak
opsi”, keputusan ada di depan (bai’ bi al-wa’di).
Bagaimanakah
selanjutnya fiqih turats memandang hukumnya? Akan disampaikan pada tulisan
berikutnya. []
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P.
Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar