Rabu, 20 Maret 2019

Buya Syafii: Politisi dan Topeng


Politisi dan Topeng
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Seorang politikus muda Golkar yang juga anggota DPR pusat menjumpai saya, belum terlalu lama, baik di Jakarta maupun di Yogyakarta, untuk menyampaikan keluh kesahnya seperti dalam rangkuman kalimat ini: Perubahan politik tidak dapat diharapkan dari parpol (partai politik) yang ada sekarang.

Dalam berbincang itu, saya perhatikan baik-baik mimik wajahnya sambil menafsirkan apakah keluh-kesahnya itu bertopeng atau serius. Kesimpulan saya: politikus muda ini serius, berasal dari sebuah keprihatinan yang dalam terhadap nasib demokrasi Indonesia yang banyak tecermin dalam perilaku politisi.

Karena mulai percaya kepada alasan keluh kesahnya itu, saya lalu bertanya: Apakah ada anggota DPR lain dalam berbagai parpol punya keprihatinan serupa dengan apa yang Anda risaukan? Dijawab: Ada, tetapi baru merupakan arus kecil, sedangkan arus besarnya belum dapat diharapkan.

Bagi saya, pengakuan ini menjadi penting sebagai pintu masuk untuk melanjutkan artikel ini. Tampaknya masih tersedia sejumlah anggota DPR yang benar-benar turut memikirkan bangsa dan negara ini dalam kaitannya dengan perkembangan dan pembangunan demokrasi Indonesia yang sehat dan kuat di masa depan.

Selain teman Golkar ini, saya juga ditemui oleh seorang politikus kawakan PDIP yang relatif punya gambaran serupa tentang wajah DPR kita sekarang. Teman PDIP ini sudah empat periode duduk di Senayan dari sebuah dapil yang mayoritas pemilihnya tidak seagama dengannya, tetapi dia dipercaya untuk mewakili mereka di DPR karena komitmennya yang nyata untuk kepentingan rakyat di daerahnya, terutama dalam pemberdayaan para petani. Dalam Pileg 2019 ini politikus PDIP ini mau maju lagi untuk periode kelima.

Baik politikus muda Golkar maupun politikus kawakan PDIP ini dalam kesan saya termasuk politisi yang tidak bertopeng. Dengan demikian, kegelisahannya adalah autentik, tidak ditutupi kedok berupa apa pun. Topeng dan kedok dalam bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia punya makna sama. Padanan lain adalah kepura- puraan. Dalam khazanah Melayu dikenal ungkapan ini: Telunjuk lurus kelingking berkait. Tidak jujur dan tidak terbuka. Lain di hati, lain dalam perbuatan.

Kita sudah kenal beberapa nama pimpinan parpol yang sudah jadi pasien KPK. Mereka ini adalah politisi dalam kategori bertopeng, pandai bertanam tebu di bibir dan elok di permukaan.

Penampilannya sering seperti manusia tanpa dosa. Jika tampangnya terpampang di baliho, sungguh menawan, tidak jarang dalam pakaian milenial, karena tertutup oleh topeng palsunya.

Di tangan manusia tipe ini, jangan bermimpi bahwa sistem demokrasi Indonesia akan sehat dan kuat, sebab filosofi dasarnya tidak lain selain 'menghalalkan segala cara', demi tujuan pragmatismenya tercapai dengan berbagai jalan: transaksional, mengakali APBN, APBD, BUMN, BUMD, jual-beli jabatan, umbar janji palsu, kongkalikong dengan pengusaha hitam, dan sejumlah cara kumuh serta busuk lainnya.

Di mana iman, di mana moral, di mana martabat, di mana rasa malu? Usahlah tuan dan puan menanyakan nilai-nilai luhur ini kepada mereka. Tidak ada gunanya. Topeng dan kedok telah jadi pakaian hariannya. Yang tertangkap KPK adalah yang sial saja.

Sedangkan yang antre untuk dijadikan pasien tentu masih berada dalam barisan yang panjang, panjang sekali. KPK sendiri belum punya kapasitas yang prima untuk melaksanakan tugasnya. Tanpa laporan anggota masyarakat yang berani, OTT (operasi tangkap tangan) KPK akan sulit terjadi. Tetapi, dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, KPK sebagai lembaga antirasuah tetaplah merupakan produk era reformasi yang dinilai positif dan penting oleh publik sampai hari ini.

Untuk pileg pada 17 April 2019, sungguh sulit menentukan siapa di antara calon legislatif itu, baik untuk pusat maupun untuk daerah, yang bertopeng atau yang autentik. Sebagian besar pemilih tampaknya belum mengetahui jejak-rekam para calon 'yang terhormat' itu. Maka menjadilah tugas penting media untuk membantu para pemilih membeberkan rekam jejak calon itu dengan cara yang objektif, terbuka, dan dengan maksud baik.

Tujuan jangka panjangnya adalah untuk menciptakan proses dan perawatan demokrasi yang bermartabat. Sistem politik ini sampai sekarang, belum menemukan bentuknya yang benar-benar mantap dan dipercaya untuk mencapai cita-cita mulia kemerdekaan bangsa: tegaknya keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. []

REPUBLIKA, 19 Maret 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar