Politisi dan Topeng
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Seorang politikus muda Golkar yang juga anggota DPR pusat
menjumpai saya, belum terlalu lama, baik di Jakarta maupun di Yogyakarta, untuk
menyampaikan keluh kesahnya seperti dalam rangkuman kalimat ini: Perubahan
politik tidak dapat diharapkan dari parpol (partai politik) yang ada sekarang.
Dalam berbincang itu, saya perhatikan baik-baik mimik wajahnya
sambil menafsirkan apakah keluh-kesahnya itu bertopeng atau serius. Kesimpulan
saya: politikus muda ini serius, berasal dari sebuah keprihatinan yang dalam
terhadap nasib demokrasi Indonesia yang banyak tecermin dalam perilaku
politisi.
Karena mulai percaya kepada alasan keluh kesahnya itu, saya lalu
bertanya: Apakah ada anggota DPR lain dalam berbagai parpol punya keprihatinan
serupa dengan apa yang Anda risaukan? Dijawab: Ada, tetapi baru merupakan arus
kecil, sedangkan arus besarnya belum dapat diharapkan.
Bagi saya, pengakuan ini menjadi penting sebagai pintu masuk untuk
melanjutkan artikel ini. Tampaknya masih tersedia sejumlah anggota DPR yang
benar-benar turut memikirkan bangsa dan negara ini dalam kaitannya dengan
perkembangan dan pembangunan demokrasi Indonesia yang sehat dan kuat di masa
depan.
Selain teman Golkar ini, saya juga ditemui oleh seorang politikus
kawakan PDIP yang relatif punya gambaran serupa tentang wajah DPR kita
sekarang. Teman PDIP ini sudah empat periode duduk di Senayan dari sebuah dapil
yang mayoritas pemilihnya tidak seagama dengannya, tetapi dia dipercaya untuk
mewakili mereka di DPR karena komitmennya yang nyata untuk kepentingan rakyat
di daerahnya, terutama dalam pemberdayaan para petani. Dalam Pileg 2019 ini
politikus PDIP ini mau maju lagi untuk periode kelima.
Baik politikus muda Golkar maupun politikus kawakan PDIP ini dalam
kesan saya termasuk politisi yang tidak bertopeng. Dengan demikian,
kegelisahannya adalah autentik, tidak ditutupi kedok berupa apa pun. Topeng dan
kedok dalam bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia punya makna sama. Padanan lain
adalah kepura- puraan. Dalam khazanah Melayu dikenal ungkapan ini: Telunjuk
lurus kelingking berkait. Tidak jujur dan tidak terbuka. Lain di hati, lain
dalam perbuatan.
Kita sudah kenal beberapa nama pimpinan parpol yang sudah jadi
pasien KPK. Mereka ini adalah politisi dalam kategori bertopeng, pandai
bertanam tebu di bibir dan elok di permukaan.
Penampilannya sering seperti manusia tanpa dosa. Jika tampangnya
terpampang di baliho, sungguh menawan, tidak jarang dalam pakaian milenial,
karena tertutup oleh topeng palsunya.
Di tangan manusia tipe ini, jangan bermimpi bahwa sistem demokrasi
Indonesia akan sehat dan kuat, sebab filosofi dasarnya tidak lain selain
'menghalalkan segala cara', demi tujuan pragmatismenya tercapai dengan berbagai
jalan: transaksional, mengakali APBN, APBD, BUMN, BUMD, jual-beli jabatan,
umbar janji palsu, kongkalikong dengan pengusaha hitam, dan sejumlah cara kumuh
serta busuk lainnya.
Di mana iman, di mana moral, di mana martabat, di mana rasa malu?
Usahlah tuan dan puan menanyakan nilai-nilai luhur ini kepada mereka. Tidak ada
gunanya. Topeng dan kedok telah jadi pakaian hariannya. Yang tertangkap KPK
adalah yang sial saja.
Sedangkan yang antre untuk dijadikan pasien tentu masih berada
dalam barisan yang panjang, panjang sekali. KPK sendiri belum punya kapasitas
yang prima untuk melaksanakan tugasnya. Tanpa laporan anggota masyarakat yang
berani, OTT (operasi tangkap tangan) KPK akan sulit terjadi. Tetapi, dengan
segala keterbatasan dan kelemahannya, KPK sebagai lembaga antirasuah tetaplah
merupakan produk era reformasi yang dinilai positif dan penting oleh publik
sampai hari ini.
Untuk pileg pada 17 April 2019, sungguh sulit menentukan siapa di
antara calon legislatif itu, baik untuk pusat maupun untuk daerah, yang
bertopeng atau yang autentik. Sebagian besar pemilih tampaknya belum mengetahui
jejak-rekam para calon 'yang terhormat' itu. Maka menjadilah tugas penting
media untuk membantu para pemilih membeberkan rekam jejak calon itu dengan cara
yang objektif, terbuka, dan dengan maksud baik.
Tujuan jangka panjangnya adalah untuk menciptakan proses dan
perawatan demokrasi yang bermartabat. Sistem politik ini sampai sekarang, belum
menemukan bentuknya yang benar-benar mantap dan dipercaya untuk mencapai
cita-cita mulia kemerdekaan bangsa: tegaknya keadilan dan kesejahteraan yang
merata bagi seluruh rakyat Indonesia. []
REPUBLIKA, 19 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar