Memelihara Kewibawaan Agama
Oleh: Nasaruddin Umar
KITA perlu hati-hati jika memberikan pernyataan atas nama agama.
Jika mengeksploitasi keinginan subjektif dengan menggunakan agama, sering kali
kita membelokkan makna agama ke dalam wilayah yang mengancam kewibawaan agama
itu. Kepentingan jangka pendek tokoh-tokoh dan pemimpin agama sering kali
membuat nilai-nilai agama termarginalkan. Akhirnya yang terjadi ialah saatnya
agama mengalami krisis kepercayaan di dalam masyarakat.
Apa jadinya sebuah masyarakat religius seperti di Indonesia jika
nilai dan norma ajaran agamanya mengalami marginalisasi? Masih mampukah mereka
terus menjadi dirinya sendiri atau malah justru mengalami alienasi,
disorientasi, hipokrit, atau bekerja di bawah standar? Jawaban ini semuanya
terpulang kepada setiap individu.
Marginalisasi nilai-nilai dan norma ajaran agama tidak mesti
diartikan lantaran pemerintah tidak mengakomodasi pertimbangan agama di dalam
membuat dan menerapkan kebijakan. Akan tetapi, bisa juga karena arus kuat
modernisme yang melanda umat manusia secara universal.
Modernisme kini sudah seperti stateless values, sebuah tata nilai
yang bebas negara. Modernisme memiliki kemampuan untuk menembus batas-batas
geografis bangsa dan negara, merasuk ke lapisan-lapisan budaya, dan menerobos
sekat-sekat agama dan kepercayaan.
Deprivasi politik
Memang lebih parah lagi jika ada kesengajaan negara untuk mereduksi atau melakukan disfungsionalisasi ajaran agama di dalam masyarakat, seperti yang pernah terjadi di sejumlah negara sekuler. Kemal Ataturk ketika menjadi penguasa Turki yang berpenduduk 97% muslim, pernah melarang warganya untuk menggunakan simbol-simbol Arab di negerinya, seperti atribut pakaian, termasuk penggunaan azan di masjid-mesjid dengan bahasa Arab.
Masyarakatnya dipaksa menjadi modern dan sekuler. Namun, apa
jadinya? Bukannya mengantar Turki menjadi lebih baik dan lebih bermartabat,
bahkan turki yang pernah menjadi pusat kerajaan Ottoman/Usmani malah terjun
bebas ke bawah ditinggalkan sejumlah bangsa dan negara yang pernah menjadi
protektoratnya.
Marginalisasi ajaran agama oleh negara yang diwakili pemerintah di
dalam masyarakat religius, selain akan melahirkan deprivasi politik juga
berpotensi melahirkan ketegangan horizontal sesama warga bangsa. Apalagi jika
marginalisasi itu dirasakan kaum mayoritas, itu akan dimaknai dengan berbagai
makna yang tendensius. Di antaranya mereka akan membaca pertumbuhan ekonomi
tidak berbanding lurus dengan deret ukur populasi agama mayoritas
tersebut.
Persis seperti ini yang pernah diingatkan Gus Dur, bahwa hati-hati
jika pertumbuhan ekonomi itu hanya dirasakan kelompok agama tertentu dan tidak
ikut dirasakan penganut agama mayoritas. Hal itu berpeluang menjadi potensi
konflik baru di masa depan.
Masyarakat Indonesia tidak perlu diragukan religiositasnya. Secara
konsepsional juga penempatan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dari
Pancasila menjadi bukti kuat akan hal ini. Perolehan kemerdekaan yang amat
heroik dan historis juga tak dapat dipisahkan kentalnya faktor agama di dalam
perjuangan kemerdekaan bangsa.
Jadi, sebaiknya kita konsisten semua pihak menggunakan bahasa dan
spirit agama di dalam mempertahankan dan membangun bangsa ini. Dengan
menggunakan bahasa agama, partisipasi aktif masyarakat pasti akan terwujud
karena mereka yakin membela Tanah Air ialah ibadah.
Rasulullah Saw pernah bersabda, "Setiap seratus tahun
perjalanan sejarah umatku selalu lahir seorang pembaharu (ulama besar)."
Hadis ini mengisyaratkan kepada kita bahwa ajaran Islam yang bersifat fleksibel
dan dirancang menjadi agama akhir zaman, selalu terbuka peluang untuk melakukan
reinterpretasi dan reartikulasi ajaran demi memenuhi tuntuan perkembangan zaman.
Beri pencerahan
Agama seharusnya selalu menjanjikan ketenangan, kedamaian, kearifan, keadilan, dan ketenteraman kepada pemeluknya. Namun, itu semua bisa terjadi jika agama diberi peran efektif untuk memberikan pencerahan terhadap umatnya. Persoalannya sekarang, siapa yang bertanggung jawab untuk mengaktualkan fungsi pencerahan agama di dalam masyarakat?
Efektif atau tidaknya sebuah agama mencerahkan dapat diukur
bagaimana pemeluknya. Jika agama semakin menyatu dengan pemeluknya berarti
pencerahan agama efektif. Akan tetapi, sebaliknya jika agama dan pemeluknya
semakin berjarak, pertanda pencerahan agama itu tidak efektif. Fenomena dalam
kehidupan masyarakat juga bisa diukur, yaitu apa kata agama dan apa yang
dilakukan pemeluknya?
Jika masih berseberangan, misalnya agama menyerukan ke kanan
tetapi pemeluknya kebanyakan ke kiri, pertanda bahwa agama itu tidak lagi
efektif melakukan pencerahan terhadap umatnya.
Kenyataannya sedang terjadi fenomena yang tidak menggembirakan,
paling tidak terdapat fenomena yang kontradiktif, di dalam masyarakat kita
hubungan antara agama dan pemeluknya. Memang sedang terjadi kesemarakan
beragama, tetapi tidak diikuti dengan penghayatan dan kedalaman makna.
Akibatnya, sering kita menyaksikan adanya fenomena kepribadian ganda (split
personality) bagi umat beragama, khususnya umat Islam.
Di kalangan umat Islam sedang berada di persimpangan jalan. Dalam
urusan agama seolah mereka mengesankan agama terlalu dogmatis, sedangkan
realitas sosialnya begitu rasional. Agama dirasakannya lebih membatasi
sementara realitas kehidupannya begitu liberal. Agama dikesankan terlalu
berorientasi masa lampau, sedangkan lingkungan profesinya sangat berorientasi
masa depan. Pranata sosial keagamaan dirasakannya begitu konservatif sementara
lingkungan kerjanya sedemikian canggih.
Norma-norma agama dirasakannya sedemikian statis dan terkesan
kaku, sedangkan dunia kerjanya sedemikian dinamis dan mobile. Suasana batin
keagamaan dikesankan amat tradisional, sedangkan dunia pergaulan sehari-hari di
tempat kerja dan lingkungannya sedemikian modern.
Kajian-kajian keagamaan dirasakan terlalu tekstual, sedangkan
kajian ilmu-ilmu umum sedemikian kontekstual. Pendekatan-pendekatan agama
terkesan begitu kualitatif-deduktif, sedangkan semetara pendekatan keilmuan
sosial sedemikian kuantitatif-induktif.
Split personality ini menurut Clifford Geertz, berpotensi
melahirkan berbagai kemungkinan, antara lain reformasi sporadis atau gradual,
reformasi radikal/liberal, revivalisme-puritanis, revivalisme-radikal, termasuk
teroris, atau tidak tahu menahu apa yang terjadi di luar sana. Yang penting dia
bisa hidup dan menghidupi keluarganya.
Mereka sudah kehilangan kepercayaan terhadap agama sebagai way of
life. Meskipun masih tetap mencantumkan Islam dalam kolom KTP-nya, sama sekali
tidak lagi menjadi referensi di dalam menentukan mana yang baik mana yang
benar, dan mana yang buruk mana yang indah. Mari bersama-sama memelihara
kewibawaan agama di dalam diri dan di dalam masyarakat kita. []
MEDIA INDONESIA, 06 Maret 2019
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar