Hukum Walk Out saat Khotbah
Jumat karena Berisi Ujaran Kebencian
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online,
pengaruh pilkada DKI Jakarta 2017 masuk jauh sampai forum khotbah Jumat. Tidak
sedikit khotib di Jakarta terseret arus politik dan menjadikan mimbar khotbah
sebagai orasi politik yang mengandung ujaran kebencian bahkan melemparkan
tuduhan munafik dan kafir terhadap sesama Muslim.
Apakah saya berdosa ketika seorang khotib
menyampaikan materi khotbah yang tidak etis dengan semangat kebencian dan
permusuhan, lalu saya keluar dari masjid (walk out) untuk meninggalkan ibadah
Jumat dan pulang ke rumah membawa kekecewaan? Saya tidak sendiri. Tetangga dan
sebagian karyawan dari kantor di sekitar saya ikut juga walk out. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Beni – Kebayoran Lama
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT
menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Walk out atau praktik meninggalkan
khotbah Jumat semacam ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Bahkan ketika
itu, Rasulullah SAW sendiri yang menjadi khatibnya sebagaimana hadits riwayat
Imam Muslim berikut ini.
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَجَاءَتْ عِيرٌ مِنْ الشَّامِ
فَانْفَتَلَ النَّاسُ إِلَيْهَا حَتَّى لَمْ يَبْقَ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا
Artinya, “ Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa
Nabi Muhammad SAW berkhutbah dalam posisi berdiri pada hari Jumat, lalu datang
rombongan saudagar berkendaraan unta dari Syam, lalu sebagian besar jamaah
Jumat berpaling menyongsongnya hingga tidak ada yang tersisa kecuali dua belas
jamaah laki-laki,” (HR Muslim).
Dari hadits ini, diskusi ulama tertuju pada
jumlah jamaah shalat Jumat dan praktik walk out oleh sebagian jamaah saat
khotbah Jumat berlangsung.
Kedua masalah ini kemudian menentukan
keabsahan shalat Jumat sebagaimana keterangan Mazhab Syafi‘i yang memandang
kehadiran jamaah dengan bilangan tertentu sebagai syarat berlakunya sebuah
rangkaian ibadah Jumat.
وَلَوْ
انْفَضَّ الْأَرْبَعُونَ أَوْ بَعْضُهُمْ فِي الْخُطْبَةِ لَمْ يُحْسَبْ
الْمَفْعُولُ فِي غَيْبَتِهِمْ
Artinya, “Kalau 40 orang atau sebagiannya
memisahkan diri saat khotbah, maka rukun yang sedang dilakukan tidak masuk
hitungan saat mereka absen,” (Lihat Imam An-Nawawi, Minhajut Thalibin
pada Hamisy Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazil Minhaj, [Beirut,
Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 423).
Syekh M Khotib As-Syarbini dari Mazhab
Syafi’i merinci jumlah jamaah Jumat dan jumlah orang yang walk out dalam ibadah
Jumat. Selagi jumlah minimal jamaah Jumat terpenuhi, yaitu 40 orang
(syarat dan ketentuan berlaku), maka berapa pun jumlah jamaah yang walk out
tidak mempengaruhi keabsahan khotbah.
وقد
قال تعالى إذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا [الأعراف]. قال أكثر المفسرين
المراد به الخطبة، فلا بد أن يسمع أربعون جميع أركان الخطبتين …والمقصود من الخطبة إسماع الناس، فإذا انفض الأربعون بطل
حكم الخطبة، وإذا انفض بعضهم بطل حكم العدد، والمراد بالأربعين العدد المعتبر، وهو
تسعة وثلاثون على الأصح، فلو كان مع الإمام الكامل أربعون فانفض واحد منهم لم يضر
Artinya, “ Allah berfirman, ‘Jika dibacakan
Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah,’ (Surat Al-A‘raf ayat 204). Mayoritas
ulama tafsir mengatakan, kata ‘Al-Qur’an’ yang dimaksud pada ayat ini adalah
khotbah. Jadi tiada jalan lain, 40 jamaah ini harus mendengarkan semua rukun
dua khotbah… Tujuan khotbah sendiri adalah memperdengarkannya kepada jamaah.
Jika 40 jamaah ini memisahkan diri, maka batal hukum khotbah. Jika hanya
sebagian dari 40 jamaah itu memisahkan diri, maka batal hukum jumlah minimal.
Yang dimaksud dengan ‘40’ ini adalah bilangan muktabar, yaitu 39 orang menurut
qaul yang paling shahih. Tetapi jika ada 40 jamaah dengan seorang imam, lalu
seorang dari mereka memisahkan diri, maka tidak masalah,” (Lihat Syekh
As-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj,
[Beirut, Darul Makrifah: 1997 M/1418 H], cetakan pertama, juz I, halaman 423).
Syekh Wahbah Az-Zuhayli menyebut jumlah 40
jamaah menjadi syarat sah Jumat dalam Mazhab Syafi’I sehingga kehadiran mereka
untuk mendengarkan khotbah menjadi keharusan.
فلو
انفض الأربعون أو بعضهم في الخطبة، لم تصح الجمعة؛ لأن سماع الأربعين جميع أركان
الخطبة مطلوب، والمقصود من الخطبة إسماع الناس، فإن نقصوا عن الأربعين قبل إتمام
الجمعة استأنفوا ظهراً ولم يتموها جمعة؛ لأن العدد شرط
Artinya, “Kalau 40 orang atau sebagiannya
memisahkan diri saat khotbah, maka shalat Jumat tidak sah karena 40 jamaah ini
wajib mendengarkan seluruh rukun khotbah. Tujuan khotbah sendiri adalah
memperdengarkannya kepada jamaah. Jika jumlah jamaah kurang dari 40 orang
sebelum ibadah Jumat kelar, maka mereka harus memulai shalat Zuhur dan tidak
melanjutkan ibadah Jumatnya karena jumlah minimal itu menjadi syarat,” (Lihat
Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul
Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 276-277).
Hanya saja semangat walk out di zaman nabi
berbeda dengan semangat walk out yang dideskripsikan dalam pertanyaan di atas.
Semangat walk out di zaman nabi lebih dilatarbelakangi oleh semangat duniawi.
Sebaliknya, praktik walk out yang dideskripsikan dalam pertanyaan di atas
justru didorong oleh semangat moral keagamaan yang menghendaki sakralitas
mimbar Jumat.
Lalu bagaimana menyelesaikan persoalan ini?
Menurut hemat kami, masing-masing pihak baik khotib maupun jamaah yang walk out
bersikap ekstrem atau melewati batas. Padahal, khotib dan jamaah Jumat adalah
entitas penting yang menentukan keabsahan ibadah Jumat. Tidak akan ada Jumat
tanpa jamaah. Sebaliknya, tidak ada Jumat tanpa khotib.
Seharusnya, jamaah yang walk out menahan diri
untuk bertahan meskipun khotib memperkosa sakralitas mimbar khotbah Jumat
karena ibadah Jumat merupakan kewajiban yang sangat istimewa. Sementara para
khotib seharusnya menahan diri untuk membatasi diri pada tujuan mimbar khotbah
untuk menyampaikan ketakwaan belaka atau riwayat yang menginspirasi dan tidak
menyalahgunakannya untuk menyampaikan aspirasi politik pribadi atau kelompok
tertentu.
Selain membatasi durasi khotbah, pihak
pengurus atau takmir masjid perlu membuat sejumlah tata tertib untuk para
khotib Jumat, tidak segan menegur khotib setelah shalat Jumat, dan memberikan
sanksi "pemberhentian" bila perlu. Pilkada DKI Jakarta 2017 merupakan
pengalaman penting bagi umat Islam untuk mengambil pelajaran, berbenah, dan
mengevaluasi diri.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para
pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar