Selasa, 24 November 2020

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (4) Mengapa Islam Cepat Mengglobal?

Membaca Trend Globalisasi (4)

Mengapa Islam Cepat Mengglobal?

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Pertanyaan sering muncul dari kalangan sejarawan ialah mengapa Islam begitu cepat mengglobal? Mengapa begitu gampang menembus batas geografis dan merasuk di dalam lapis-lapis budaya masyarakat lokal? Ajaran Islam bagaikan mempunyai kekuatan batin sehingga membuat sasaran-sasarannya tidak kuasa menolaknya. Bukan hanya gagasannya masuk akal tetapi juga mudah menembus lapis-lapis batin masyarakat. Apabila 'stelsel' Islam bersentuhan suatu negeri maka serta merta negeri itu respek dan merelakan diri tunduk di bawah spirit peradaban baru Islam.

 

Kemudahan penerimaan Islam berpenetrasi ke dalam lingkup peradaban lokal disebabkan karena substansi ajaran Islam bersifat universal dan seolah tidak menimbulkan ancaman bagi kekuatan-kekuatan lokal. Dengan kata lain, Islam tidak menimbulkan ancaman terhadap pusat-pusat kerajaan dan pemerintahan setempat. Kalaupun ada maka itu memang sejalan dengan nilai- nilai luhur lokal mereka. Di antara asas-asas peradaban dan kebudayaan Islam itu ialah sebagai berikut:

 

1) al-ikha, yaitu menjunjung tinggi rasa persaudaraan kemanusiaan antara para pendatang dan penduduk local. Program al-ikha' ini dicontohkan Nabi ketika hijrah ke Madinah. Laki-laki pendatang (muhajirin) dikawinkan dengan perempuan pribumi (anshar). Demikian pula sebaliknya, laki-laki anshar dikawinkan dengan perempuan muhajirin. Akibatnya pembauran genetic yang dampaknya sangat strategis secara psikologis sangat penting. Generasi penerus kedua kelompok tidak direpotkan lagi dengan isu pribumi dan pendatang, karena terjadi pembauran utuh antara keduanya.

 

2) Al-Musawa, yaitu prinsip persamaan. Islam memperkenalkan asas peradabannya dengan prinsip persamaan (al-musawa). Baik sebagai sesama makhluk biologis, sesama pewaris sejarah peradaban masa lalu, dan bentuk-bentuk persamaan lainnya. Islam selalu atau lebih sering mengedepankan prinsip persamaan (pricile of identity) ketimbang prinsip perbedaan (pricile of negation). Prinsip persamaan ini didasari oleh banyak ayat antara lain Q.S. S. aal- Hujurat/49:13).

 

3) Al-Tasamuh, yaitu prinsip toleransi. Islam bukan hanya mewacanakan toleransi sebagaimana banyak disinggung di dalam Al-Qur'an, antara lain Q.S. al-Kafirun/109:1-6), tetapi juga dipraktekkan dalam lintasan sejarah umat Islam di berbagai Negara, dari dulu sampai sekarang. Tidak kurang dari 15 kali kata Nashara (Kristen) dan 10 kali kata Yahudi disebutkan di dalam Al Quran. Bahkan agama-agama minoritas non Abrahamic Religion seperti Al-Shabi'in. Ini semua menggambarkan adanya spirit toleransi di dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam.

 

4) Al-Musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia (musyawarah) yang tidak lain maknanya adalah demokrasi, yaitu memberi kesempatan secara terbuka kepada semua pihak mengedepankan pendapatnya secara merdeka, tanpa harus khawatir sedikit pun kepada siapapun, karena prinsip demokrasi ini sesuai dengan anjuran Allah swt di dalam Q.S. Ali Imran/3:159).

 

Allah Swt juga memberi contoh dengan berdialog dengan para malaikat tentang rencana penciptaan amnesia (Q.S. al-Baqarah/2:30 dst), berdialog dengan Iblis (Q.S. al-Hijr/15:32), dan manusia (Q.S. al-A'raf/7:172).

 

Keempat nilai-nilai dasar tersebut di atas membuat amat mudah diterima oleh siapapun yang menggunakan keluhuran hati nuraninya. Keempat nilai dasar itu sangat compatible dengan universalitas kehidupan masyarakat. Keempat nilai dasar itu dirasakan bagian yang inheren dengan kehidupan umat manusia, sehingga sulit untuk diproteksi. []

 

DETIK, 10 Agustus 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar