“Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..,” (QS Al-Maidah: 8).
Rasulullah adalah suri teladan bagi seluruh umat manusia. Beliau menjalankan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Termasuk menjalankan perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu berbuat adil.
Sebuah sikap yang tidak mudah dilaksanakan, terlebih jika seseorang diliputi rasa kebencian dan dilandasi faktor ‘perbedaan’ diantara mereka. Mereka akan susah –atau bahkan tidak bisa- berbuat adil. Rasulullah tidak demikian. Beliau adalah orang yang berlaku adil kepada semuanya; kepada dirinya, keluarganya, sahabatnya, dan umat Islam sendiri. Siapapun itu jika berbuat salah maka harus dihukum, termasuk anaknya sendiri. Hal ini ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadits; “Demi Allah, seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, aku pasti memotong tangannya.”
Bahkan, Rasulullah juga berbuat adil kepada kafir Quraisy Makkah, mereka yang selama ini memusuhi diri, dakwah, dan umatnya. Terkait hal ini, ada beberapa kisah. Diantaranya adalah sikap adil Rasulullah kepada para tawanan perang Badar.
Dikisahkan, suatu malam setelah perang Badar Nabi Muhammad saw. tidak bisa tidur. Beliau gelisah dan prihatin dengan keadaan pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, yang menjadi tawanan perang Badar. Rasulullah tahu, pamannya itu sebetulnya orang baik. Meski tidak mau masuk Islam, Abbas tidak pernah memusuhi Nabi Muhammad saw. dan umatnya. Keikutsertaannya dalam perang Badar dari pihak Quraisy hanya sebatas memberikan perlindungan kepada kaumnya, bukan karena kebenciannya kepada Islam.
Rasulullah yang tidak kunjung tidur itu menarik perhatian sahabatnya. Kemudian beliau ditanya apa sebetulnya yang membuat dirinya tidak bisa memejamkan mata. Kata Rasulullah, dirinya tidak bisa tidur karena sepanjang malam itu mendengar jeritan Abbas bin Abdul Muthalib. Memang, pada malam itu Abbas dan para tawanan perang Badar lainnya diikat dengan ikatan yang begitu kuat sehingga membuat mereka kesakitan.
Mengetahui hal itu, sahabat yang bertanya kepada Rasulullah tersebut langsung menghampiri Abbas dan melonggarkan ikatannya. Ketika kembali kepada Rasulullah, dia ditanya mengapa suara jeritan Abbas bin Abdul Muthalib sudah tidak terdengar lagi. Sahabat tersebut menjawab bahwa tali ikatan Abbas sudah dilonggarkan sehingga dia tidak kesakitan lagi.
Rasulullah merasa lega setelah pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, tidak menjerit kesakitan lagi. Namun demikian, Rasulullah kemudian memerintahkan sahabatnya itu untuk melakukan hal yang sama kepada semua tawanan perang, yaitu mengendurkan tali pengikatnya. Rasulullah ingin tawanan lainnya juga mendapatkan ‘keringanan’ itu, bukan hanya pamannya saja.
“Lakukan juga kepada semua tawanan lain!” perintah Rasulullah kepada sahabatnya itu, dikuti buku Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018).
Begitulah Rasulullah. Beliau tetap berlaku adil meskipun itu terhadap musuhnya sekalipun. Beliau tidak ingin sahabatnya memberikan ‘keringanan’ kepada pamannya saja, namun juga kepada seluruh tawanan perang Badar. Karena keadilan Rasulullah meliputi semuanya. Tidak hanya didasarkan kepada hubungan darah. Maka tidak jarang, sikap dan perlakuan baik Rasulullah terhadap para tawanan menyebabkan mereka akhirnya memeluk Islam.
Abbas adalah saudara bungsu ayah Rasulullah, Sayyidina Abdullah bin Abdul Muthalib. Dia adalah salah satu orang yang sangat disayangi dan akrab dengan Rasulullah. Maka Rasulullah sangat senang sekali ketika Abbas menyatakan diri masuk Islam. Ulama berbeda pendapat tentang kapan Abbas memeluk Islam. Ada yang berpendapat setelah perang Badar. Yang lain mengatakan kalau Abbas masuk Islam sesaat sebelum Fathu Makkah.
“Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku,” kata Rasulullah. []
(A Muchlishon Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar