Jumat, 13 November 2020

Buya Syafii: Modal Utama Berbangsa-Bernegara dan Sisi-Sisi yang Rapuh (III)

Modal Utama Berbangsa-Bernegara dan Sisi-Sisi yang Rapuh (III)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Dengan modal rumusan Pancasila yang terbaik dan terpadat itu, jika dijalankan secara benar dan jujur, sesungguhnya Indonesia setelah lebih 75 tahun merdeka, pasti tidak seperti sekarang ini.

 

Untuk mengurai secara kritis mengapa keadaan Indonesia belum seperti yang dicita-citakan, maka pada bagian sisi-sisi yang masih rapuh seperti yang dituntut oleh judul akan ditemukan jawabannya.

 

Kemudian agar posisi saya dalam mengemukakan pandangan menjadi lebih jelas, sekalipun tidak perlu disetujui setiap orang, maka apa yang dikatakan Jeffrie Geovanie tentang saya perlu dipindahkan ke sini.

 

Yakni, "Buya (sebenarnya saya tidak begitu nyaman menyandang sebutan serba-buya ini) Syafii itu melihat apa pun dengan kacamata moral. Ini tak selalu tepat, terutama dalam melihat dunia politik dengan segala kompleksitasnya. Tapi, tanpa moralitas yang tak henti disuarakan Buya Syafii, politik menjadi hampa dan tak bermakna.” (Dikirim via WA oleh David Krisna Alka, 11 Oktober 2020, pukul 07.32).

 

Dalam posisi demikian itulah, saya turut memikirkan nasib bangsa terbesar keempat ini, agar kita semua bersedia memperbaiki perilaku yang menyimpang dari moralitas agama dan nilai-nilai luhur Pancasila.

 

Tanpa kesediaan mengkritik perilaku kita masing-masing, akan sulit berharap tegaknya keadilan dan tercapainya kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dituntut UUD. UUD tidak punya kaki dan tidak punya tangan.

 

Kaki dan tangannya adalah seluruh rakyat Indonesia yang sadar atas tanggung jawab kebangsaannya. Saya percaya, warga yang baik dan tulus pasti tersedia di semua lapisan masyarakat, di berbagai golongan dan organisasi. Namun, baru pada tingkat riak-riak kecil.

 

Maka itu, tugas utama kita mengubah riak-riak itu menjadi gelombang besar dalam mewujudkan tujuan kemerdekaan yang sudah teramat lama dinantikan.

 

Sekalipun secara sepintas yang dimaksud sisi-sisi yang rapuh sudah mulai terbaca dalam seri pertama dan kedua, pada seri ketiga ini lebih dipertajam.

 

Mengapa bangsa ini terlalu lamban mewujudkan cita-cita kemerdekaan, sedangkan modal utama sudah dimiliki? Ada beberapa pandangan yang dapat dikemukakan dan ditelusuri.

 

Pada seri pertama, saya sebut kegelisahan seorang sastrawan yang tidak punya harapan lagi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Semoga perasaan perih sastrawan ini tidak akan punya pengikut yang besar, sekalipun dapat dipahami.

 

Agar tidak meraba-raba, saya sebut saja nama sastrawan itu: Ajip Rosidi. Dalam berbagai pembicaraan langsung dengan saya di sela-sela rapat Akademi Jakarta, almarhum Ajip sungguh kecewa berat dengan perjalanan bangsa dan negara ini.

 

Terutama karena sikap sebagian elite yang tidak menampilkan perilaku keteladanan, korup yang terasa hampir di semua lini kehidupan. Karena defisit keteladanan dari atas, rakyat yang di akar rumput menjadi bingung dan nyaris patah harapan.

 

Pada 2007, Ajip yang semula berbicara tentang kebudayaan yang tidak dihiraukan termasuk oleh pemerintah, kemudian menumpahkan kekecewaan itu terhadap perjalanan bangsa dan negara secara keseluruhan.

 

Ini seperti terbaca dalam otobiografinya: Dalam situasi negara seperti ini, bagaimana masa depan kebudayaan? Dan lebih lagi, bagaimana masa depan kebudayaan daerah? Bagaimana masa depan bahasa ibu? Aku yang 20 tahun yang lalu dianggap punya pandangan optimistis, berlainan dengan Mh Rustandi Kertakusumah yang dianggap pesimistis tentang masa depan kebudayaan daerah, sekarang bahkan tidak mempunyai harapan untuk masa depan bangsa dan negara secara keseluruhan. Aku tidak melihat ada fajar yang akan merekah di sebelah depan yang dekat. (Lih Ajip Rosidi, Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan. Jakarta: Pustaka Jaya, 2008, hlm 1.183).

 

Sampai Ajip wafat pada 29 Juli 2020, penilaian di atas tidak berubah. Dia tetap skeptis tentang masa depan bangsa dan negara ini. Saat saya tanyakan, “Lalu bagaimana jika demikian?” Ajip hanya geleng-geleng kepala dalam nada kegelisahannya.

 

Ajip ini secara ekonomi sudah sangat mapan. Selama 22 tahun mengajar bahasa Indonesia di Jepang, telah memberikan kenyamanan kepada Ajip dan keluarganya dalam kehidupan duniawi.

 

Dengan fakta ini, kekecewaan Ajip benar-benar tulus. Bukan karena negara tidak memperhatikannya secara ekonomi. Dia sudah mandiri tanpa uluran tangan siapa pun. Sikap ini berbeda dengan sebagian orang yang memaki-maki negara, marah karena rezekinya dikurangi.

 

Atau karena dicopot dari jabatan negara atau dari posisi di BUMN, lalu perangainya berubah 180 derajat. Namun, sikap oposisi yang tulus terhadap sebuah rezim wajib dihormati, sebab tanpa kritik penguasa bisa meluncur ke jurang semau gue! []

 

REPUBLIKA, 03 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar