Kemenangan Biden dan Pergeseran Politik Timur-Tengah
Oleh: Zuhairi Misrawi
Amerika Serikat (AS) sedang berpesta dan bergelora di tengah kemenangan Joe Biden sebagai Presiden ke-46 terpilih setelah melalui persaingan yang ketat dengan petahana, Presiden Donald Trump. Drama masih berlangsung di tengah keengganan Trump menerima dan mengakui kekalahan. Namun, drama sebenarnya tidak hanya terjadi dalam politik dalam negeri AS, melainkan juga terjadi dalam konteks politik Timur-Tengah yang akan mengalami pergeseran, cepat atau lambat.
Maklum, pada detik-detik akhir Pilpres AS, Trump melakukan sejumlah manuver politik yang hendak membuktikan dirinya sebagai sosok determinan di Timur-Tengah. Israel sebagai primadona para elite politik AS, baik kubu Republik maupun kubu Demokrat, mendapatkan durian runtuh dengan tercapainya kesepakatan bersejarah, yaitu kerja sama diplomatik antara Israel dengan Uni Emerat Arab (UAE), Bahrain, dan Sudan.
Trump ingin membuktikan dirinya sebagai sosok penting dalam memenangkan Israel untuk menghadapi negara-negara Arab Teluk, yang selama ini cenderung bersikap keras terhadap mitra strategis AS di Timur-Tengah itu. Dalam empat tahun kepemimpinannya, Trump berhasil membujuk dan meyakinkan Arab Saudi, UAE, Bahrain, Sudan, dan Oman untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Dan untuk pertama kalinya, penerbangan dari dan ke Israel berhasil dilakukan oleh UAE, sehingga dalam sebulan terakhir banjir wisatawan dari Israel ke UAE, dan sebaliknya.
Untuk memikat dan menarik perhatian dunia internasional, Trump membubuhkan pesan teologis dalam hubungan diplomatis dengan menyebut hubungan politik sebagai kesepakatan berlatar ajaran Nabi Ibrahim (Abrahamic Accord). Dari langkah ini, Trump ingin mengambil hati umat agama-agama samawi, baik di AS maupun dunia, bahwa langkahnya tidak hanya membentangkan sejarah baru, melainkan juga menguntungkan secara elektoral di dalam Pilpres.
Beberapa langkah Trump tersebut rupanya tidak cukup memenangkan hati warga AS. Hasil Pilpres justru mengantarkan Biden sebagai Presiden AS ke-46. Biden tidak hanya memenangkan electoral collage, melainkan juga memenangkan popular vote dalam jumlah yang sangat besar. Sebab itu, hampir dipastikan peta politik di dalam negeri AS dan Timur-Tengah akan mengalami pergeseran yang drastis, dari unilateralisme menuju multilaterisme. Hampir bisa dipastikan, "Trumpisme" di Timur-Tengah akan berakhir dan akan lahir sebuah pemandangan politik yang lebih rasional, dialogis, dan mencari titi-temu di antara berbagai kepentingan.
Ketika kampanye, Biden pernah ditanya pendapatnya tentang langkah Trump mendeklarasikan peta perdamaian antara sejumlah negara Arab Teluk dengan Israel. Jawaban Biden sangat sederhana, "Kita mendukung setiap upaya perdamaian, tetapi hendaknya harus mempertimbangkan dimensi perdamaian antara Israel dan Palestina." Di satu sisi, Biden menyambut perdamaian dan hubungan diplomatis yang dibangun antara beberapa negara Teluk dengan Israel. Tetapi, Biden secara implisit mengkritik langkah Trump yang dalam sejumlah kebijakan luar negeri terkait Israel sangat berseberangan dengan upaya perdamaian, khususnya solusi dua negara (two states solution).
Presiden Palestina Mahmud Abbas dalam beberapa tahun terakhir menutup rapat-rapat dialog dengan Trump. Palestina merasa ditusuk dari belakang oleh Trump karena sejumlah kebijakannya tanpa proses dialog yang transparan. Trump kerapkali menggunakan langkah unilateral dengan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Avis ke Jerusalem, meski langkah tersebut ditentang oleh sebagian besar negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui proses voting yang sangat demokratis.
Tidak hanya itu saja, Trump mendesain kesepakatan damai abad ini yang memastikan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump benar-benar ingin menjadi "raja" di Timur-Tengah dengan langkah-langkah unilateralnya. Maka dari itu, kekalahan Trump akan mengakhiri kebijakan luar negeri AS di Timur-Tengah. Biden akan mengembalikan diplomasi pada perundingan dengan prinsip saling menghormati (mutual respect) dan saling menguntungkan (mutual interest).
Pertama, Biden akan memastikan kebijakan solusi dua negara dapat dilanjutkan. Artinya, Israel harus tunduk pada kesepakatan dan konvensi internasional terkait penghentian pemukiman ilegal di Tepi Barat dan agresi terhadap Jalur Gaza. Dalam konteks ini, narasi politik kubu fundamentalisme kanan Israel tidak bisa bernapas leluasa, karena kebijakan pemukiman ilegal di Tepi Barat akan ditentang oleh AS.
Sebaliknya, Mahmud Abbas menyambut baik kemenangan Biden dan tidak sabar menanti kembalinya perundingan secara terbuka dengan melibatkan negara-negara Eropa untuk memastikan solusi dua negara bisa diimplementasikan dalam kebijakan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Kedua, Biden akan menggarisbawahi pentingnya hak asasi manusia (HAM). Dalam konteks ini, negara-negara yang selama ini mencampakkan HAM, seperti Arab Saudi dan Mesir akan menghadapi tantangan dan tekanan yang sangat serius. Kasus kematian Jamal Khashoggi yang diduga kuat melibatkan Muhammad bin Salman (MBS) dan pelanggaran HAM di Mesir akan menjadi agenda serius di masa mendatang. Tidak menutup kemungkinan MBS akan dipaksa untuk bertanggungjawab atas kematian jurnalis yang mempunyai kewarganegaraan ganda itu.
Ketiga, Biden akan melanjutkan perundingan nuklir dengan Iran, sebagaimana telah digariskan jejaknya oleh Presiden Barack Obama. Biden tidak mau dikadali oleh Arab Saudi yang terus menghembuskan racun sektarianisme dan konflik di Timur-Tengah. Apalagi dalam pidato terbaru Raja Salman terus menyemburkan racun sektarianisme dengan menganggap Iran sebagai ancaman negara-negara di Timur-Tengah. Padahal sebenarnya yang menjadi ancaman adalah Arab Saudi karena mengekspor Wahabisme dan membunuh sesama Muslim di Yaman, Mesir, Bahrain, dan Irak.
Dengan demikian, peta politik Timur-Tengah pada era Biden akan kembali pada normalitas dan rasionalitas. Trump terbukti tidak hanya menghancurkan AS, tetapi juga menghancurkan Timur-Tengah dan dunia lainnya. Sebab itu, kemenangan Biden adalah kemenangan bagi demokrasi, HAM, rasionalitas, dan multikulturalisme. Meskipun kita juga harus tetap waspada, karena selalu ada tangan-tangan yang tidak terlihat, tetapi terus berupaya menggerus perdamaian di Timur-Tengah. []
DETIK, 12 November 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Muslim, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar