Kamis, 12 November 2020

Buya Syafii: Modal Utama Berbangsa-Bernegara dan Sisi-Sisi yang Rapuh (II)

Modal Utama Berbangsa-Bernegara dan Sisi-Sisi yang Rapuh (II)

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Kedua, sistem demokrasi. Pilihan atas sistem demokrasi, modal utama berikutnya dalam kebudayaan politik Indonesia, sudah digaungkan sebelum merdeka.

 

Sekalipun pengalaman berdemokrasi sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 belum pada tingkat praksisme, yang mantap dalam mencapai tujuan bagi terciptanya masyarakat adil dan makmur, sistem ini telah berakar tunggang dalam kultur Indonesia.

 

Dalam Pancasila, cita-cita demokrasi itu dikukuhkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal sebagai sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

 

Dalam sistem demokrasi, kedudukan rakyat itu penting, sama, dan setara.

 

Dalam praktik kenegaraan sejak 1950, sila kerakyatan ini muncul dalam berbagai corak: demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, dan pada era reformasi, sistem demokrasi tanpa atribut atau tanpa nama.

 

Jadi, kita belum juga menemukan sistem demokrasi yang tepat dan memuaskan sampai hari ini. Ketiga, perasaan dan semangat keindonesiaan yang semakin merata. Modal ini perlu dijaga dan dihidupkan terus-menerus.

 

Gangguan terhadap keutuhan Indonesia terkadang masih muncul, tetapi dapat diatasi, sekalipun sayangnya tak jarang memakan korban.

 

Keempat, Pancasila, modal utama keempat yang awalnya digagas Bung Karno pada 1 Juni 1945 untuk dasar negara dalam menyongsong proklamasi kemerdekaan.

 

Setelah terjadi perdebatan konstitusional, rumusan dan urutan silanya berubah, tetapi substansinya sama. Pancasila sebagai dasar filsafat-ideologi negara serta pandangan hidup bangsa, sudah diterima mayoritas mutlak rakyat Indonesia.

 

Modal Pancasila datang paling belakang, tetapi berhasil merangkum semua modal di atas. Sekalipun perkataan Pancasila tidak tercantum dalam batang tubuh UUD 1945, dalam Pembukaan UUD 1945 urutan lima sila itu tercantum, dan tak boleh diganggu gugat.

 

Pembukaan UUD 1945 itu, bagi saya sebuah harga mati karena di dalamnya, tercantum seluruh cita-cita mulia kemerdekaan bangsa Indonesia.

 

Bahwa kondisi bangsa Indonesia sampai hari ini belum mencerminkan perintah Pancasila memang benar, tetapi perintah itu sudah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Celakanya, perintah itu sering dikhianati.

 

Maka itu, apa yang pernah saya lukiskan dalam ungkapan yang intinya adalah: “Nilai luhur Pancasila dipuja dan dimuliakan dalam kata, dikhianati dalam laku,” masih berlanjut sampai hari ini. Di sinilah ironisnya terletak tragedi dan nasib malang Pancasila itu.

 

Namun, proses pembumian Pancasila tetap disuarakan dengan lantang berbagai kalangan yang prihatin terhadap nasib bangsa ini.

 

Dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagai sila kelima dan sila pengunci, sesungguhnya fondasi filosofis bangsa dan negara Indonesia sudah sangat kuat dan kokoh sekali.

 

Dalam tafsiran saya sebagai seorang Muslim, sila pertama itu adalah tauhid (monoteisme), sedangkan sila kelima adalah salah satu perwujudan tauhid di muka bumi untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.

 

Golongan lain tentu punya kemerdekaan pula untuk memberikan tafsirannya sendiri, tetapi titik temunya jauh lebih besar bila disandingkan dengan perbedaan-perbedaan kecil yang lumrah belaka.

 

Pancasila dalam rumusan terakhir dikukuhkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, dengan tidak melupakan rumusan yang sedikit berbeda dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 dan UUDS tahun 1950.

 

Pada dua konstitusi terakhir ini, rumusan Pancasila sama. Dalam bacaan saya, rumusan Pancasila yang terbaik dan terpadat adalah produk tanggal 18 Agustus itu yang konsep dasarnya berasal dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dengan modifikasi sila pertama yang semula berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dengan pengertian itu, dasar moralitas Pancasila di bawah sinaran wahyu cukup meyakinkan.

 

Perdebatan sengit tentang Pancasila sebagai dasar negara sudah menjadi masa lampau yang patut disyukuri. Ini memberi peluang bagi kita semua untuk sungguh-sungguh membawa segala nilai luhurnya turun ke bumi kenyataan.

 

Jangan lagi dibiarkan nilai-nilai itu bersemayam di ketinggian, sementara sebagian rakyat Indonesia terkapar dalam penderitaan. Fungsi Pancasila itu dalam sistem kenegaraan Indonesia adalah memberi dasar moral untuk tegaknya keadilan dan meratanya kemakmuran bagi rakyat banyak, tanpa pilih kasih. []

 

REPUBLIKA, 27 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar