Pada abad ke-6 Hijriyah, Nabi Muhammad saw. mengajak semua sahabatnya untuk melaksanakan umrah di Makkah. Setelah semua persiapan beres, Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya –satu riwayat menyebut ada 1.400 orang- berangkat menuju ke Makkah pada hari Senin awal bulan Dzulqa’dah. Mereka tidak membawa senjata –kalaupun bawa tidak diperlihatkan, karena sesuai ajakan Nabi Muhammad saw., mereka ke Makkah untuk ibadah, bukan untuk berperang.
Namun, Nabi Muhammad saw. dan rombongan ‘dicegat’ kelompok musyrik Quraisy Makkah ketika sampai di Hudaibiyah, sebuah wilayah yang terletak 20 kilometer dari Makkah. Mereka bertanya perihal maksud dan tujuan Nabi Muhammad saw. dan umatnya datang ke Makkah. Nabi Muhammad saw. menjawab dan meyakinkan bahwa tujuan mereka adalah untuk beribadah, bukan berperang.
Tokoh Makkah tidak langsung percaya dengan hal itu. Kemudian dikirimkanlah utusan untuk mengecek kebenarannya. Begitupun Nabi Muhammad saw. yang mengutus sahabatnya untuk meyakinkan para pemuka Makkah. Kedua belah pihak beberapa kali melakukan diplomasi, namun gagal. Hingga akhirnya pemuka Makkah mengirim Suhail bin Amr dan Mukriz dengan mandat penuh. Keduanya boleh membuat kesepakatan apapun dengan umat Islam, namun ada satu hal yang tidak boleh diabaikan, yaitu Nabi Muhammad saw. dan rombongan umat Islam tidak boleh masuk Makkah.
Setelah terjadi diskusi dan perundingan yang alot, kedua belah pihak akhirnya setuju untuk membuat kesepakatan bersama. Sebuah perjanjian yang disebut Shulhul Hudaibiyah (Perjanjian Hudaibiyah). Mengutip buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-hadis Shahih (M Quraish Shihab, 2018), ada lima butir Perjanjian Hudaibiyah. Berikut poin-poinnya:
Pertama, gencatan senjata selama 10 tahun. Tiada permusuhan dan tindakan buruk terhadap masing-masing dari kedua belah pihak selama masa tersebut.
Kedua, siapa yang datang dari kaum musyrik kepada Nabi, tanpa izin keluarganya, harus dikembalikan ke Makkah, tetapi bila ada di antara kaum Muslim yang berbalik dan mendatangi kaum Musyrik, maka ia tidak akan dikembalikan.
Ketiga, diperkenankan siapa saja di antara suku-suku Arab untuk mengikat perjanjian damai dan menggabungkan diri kepada salah satu dari kedua pihak. Ketika itu, suku Khuza’ah menjalin kerja sama dan mengikat perjanjian pertahanan bersama dengan Nabi Muhammad saw. dan Bani Bakar memihak kaum musyrik.
Keempat, tahun ini Nabi Muhamamad saw. dan rombongan belum diperkenankan memasuki Makkah, tetapi tahun depan dan dengan syarat hanya bermukim tiga hari tanpa membawa senjata kecuali pedang yang tidak dihunus.
Kelima, perjanjian ini diikat atas dasar ketulusan dan kesediaan penuh untuk melaksanakannya, tanpa penipuan atau penyelewengan.
Perjanjian itu disaksikan kedua belah pihak. Di pihak Muslim, ada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash, Muhammad bin Salamah, dan Abdurrahman bin Suhail. Sayyidina Ali bin Abi Thalib bertugas sebagai sekretaris. Sementara di pihak kaum musyrik ada Suhail bin Amr dan Mikraz bin Hafzh.
Beberapa sahabat –termasuk Sayyidina Umar bin Khattab dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib- keberatan dengan isi perjanjian tersebut, terutama butir kedua dan keempat. Namun setelah menerima penjelasan dari Nabi Muhammad saw., akhirnya mereka menerimanya meski dengan hati yang berat.
Nabi Muhammad saw. dan rombongan umat Islam kemudian kembali ke Madinah setelah 19 atau 20 hari berada di Hudaibiyah. Sebelum balik ke Madinah, Nabi Muhammad saw. memerintahkan semua umat Islam yang ada dalam rombongan berihram dan bertakhallul (mencukur rambut). Kemudian dilanjutkan dengan menyembelih unta. Diriwayatkan, ada 70 ekor unta yang disembelih pada saat itu. []
(A Muchlishon Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar