Selasa, 17 November 2020

Khofifah: Semua Orang Bisa Menjadi Pahlawan

Semua Orang Bisa Menjadi Pahlawan

Oleh: Khofifah Indar Parawansa

 

HARI Pahlawan sering diidentikkan dengan Jawa Timur. Khususnya Surabaya. Sebab, tonggak sejarah Hari Pahlawan terjadi di Surabaya. Tepatnya saat arek-arek Suroboyo melawan pasukan sekutu pada 1945.

 

Mari sejenak merunut rentetan sejarah yang terjadi pada Oktober hingga November 1945. Kala itu pasukan sekutu mendarat di Surabaya. Intervensi pasukan sekutu terhadap bangsa Indonesia terus dilakukan. Perlawanan muncul.

 

Semua bergerak secara bersama.

 

Masing-masing memainkan peran sesuai kapasitasnya. Warga Nahdlatul Ulama (NU) bergerak dengan ditandai seruan Resolusi Jihad. Keinginan pasukan sekutu untuk menguasai kembali Indonesia makin menjadi. Namun, perlawanan dari rakyat Indonesia juga terus bergelora.

 

Kondisi kala itu makin panas setelah Komandan Pasukan Britania Brigadir A.W.S. Mallaby tewas. Pasukan sekutu mengeluarkan ultimatum. Rakyat Indonesia diminta menyerahkan seluruh senjata dan menghentikan perlawanan. Batas ultimatum adalah 10 November 1945 pukul 6 pagi.

 

Rakyat Indonesia menganggap ultimatum itu sebagai penghinaan. Utamanya karena di masyarakat Indonesia sudah terbentuk milisi yang bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Serangan diluncurkan pasukan sekutu. Rakyat Indonesia terus melawan. Ribuan orang meninggal pada pertempuran tersebut.

 

Untuk mengenang jasa mereka, pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Tradisi memperingati perjuangan para pahlawan itu pun terus diabadikan. Misalnya, drama teatrikal perobekan bendera merah putih biru selalu menjadi tontonan dari tahun ke tahun. Lokasinya di depan Hotel Yamato yang kini bernama Hotel Majapahit.

 

Tradisi yang memberi manfaat luar biasa. Masyarakat mengenang perjuangan pahlawan di masa itu melalui drama. Langkah tersebut juga bagian dari edukasi serta peningkatan nasionalisme masyarakat.

 

Hari ini Hari Pahlawan. Definisi pahlawan saat ini bukanlah pejuang yang bergerak di medan perang dengan senjata. Secara bahasa pahlawan diartikan sebagai sosok yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya. Subjeknya tidak selalu sosok yang sedang ikut peperangan. Bisa jadi pahlawan dilekatkan pada pribadi seseorang. Karena itu, semua orang bisa menjadi pahlawan.

 

Orang tua adalah pahlawan bagi anak-anaknya. Mereka bekerja, membesarkan, serta mendidik anak dari kecil hingga dewasa. Tanpa pamrih dan tidak pernah mengharap imbalan. Mereka melakukannya atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan selalu diselimuti kasih sayang. Itu sosok orang tua sebagai pahlawan bagi anak-anaknya.

 

Di masa pandemi Covid-19 semua orang juga bisa menjadi pahlawan. Sebagian besar orang beranggapan bahwa tenaga medis dan dokter adalah pahlawan di masa pandemi ini. Fakta di lapangan memang tampak seperti itu.

 

Mereka rela meninggalkan keluarga. Menahan kantuk. Bekerja dari pagi hingga sore menggunakan alat pelindung diri, hanya untuk menyelamatkan dan merawat pasien Covid-19. Pantas jika atas dedikasinya masyarakat menilai mereka sebagai pahlawan.

 

Tapi, apakah hanya tenaga medis dan dokter yang bisa menjadi pahlawan di masa pandemi ini? Tentu tidak. Masyarakat biasa pun bisa menjadi pahlawan. Yakni dengan menjaga diri untuk melindungi diri dan orang lain dari persebaran virus Covid-19. Langkah tersebut merupakan bentuk pengorbanan yang bisa dirasakan orang lain. Itulah pahlawan.

 

Sesuai sabda Rasulullah: ”Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain.” Penerapan disiplin protokol pencegahan Covid-19 adalah bentuk perilaku yang memberikan manfaat bagi orang lain. Mereka peduli. Mereka tidak ingin menjadi perantara penularan virus tersebut. Sangat pantas disebut sebagai pahlawan.

 

Di momen ini masyarakat perlu merenung. Pahlawan tidak hanya identik dengan peperangan. Siapa pun bisa menjadi pahlawan. Hanya, konteks yang diperjuangkan berbeda.

 

Renungan diri akan menemukan apa yang menjadi harapan dan cita-cita. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kerja keras dan pengorbanan. Tak jarang, seseorang harus mengernyitkan dahi untuk meraih harapan dan cita-cita tersebut. Pengorbanan itu yang menjadikan dia sebagai pahlawan. Yakni pahlawan untuk keluarga, sahabat, serta orang lain.

 

Generasi muda harus mampu mengambil peluang. Julukan pahlawan tidak hanya untuk kaum tua. Kelompok milenial pun bisa meraih gelar tersebut. Caranya, generasi milenial harus bisa menjadi sumber daya manusia yang unggul. Kiprah mereka akan memberikan kontribusi besar bagi negara.

 

Pemuda yang seperti itu bisa menginspirasi orang lain. Menjadi panutan serta contoh yang baik. Secara tidak langsung perilaku tersebut turut membantu pemerintah membentuk karakter pribadi masyarakat yang kuat.

 

Masih ada waktu untuk menjadi pahlawan. Tak perlu bertanya dari mana untuk memulai menjadi seorang pahlawan. Sebab, jawabannya ada di lubuk hati. Semua dimulai dari diri sendiri, lingkungan, dan orang lain.

 

Mari bersama-sama melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negara. Menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa. Serta menguatkan keakraban dan solidaritas dengan rekan dan sahabat. Pahlawan bisa berawal dari situ. Selamat Hari Pahlawan. []

 

JAWA POS, 10 November 2020

Khofifah Indar Parawansa | Gubernur Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar