Senin, 09 November 2020

Azyumardi: Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (5)

Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (5)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Dalam kemajuan teknologi komunikasi, terjadi ‘ledakan’ dakwah yang tidak ada presedennya pada masa silam.

 

Media dan saluran dakwah, tidak lagi terbatas pada mimbar (da’wah bil lisan) dan amal pelayanan sosial serta pengembangan masyarakat (da’wah bil hal atau da’wah bil ‘amal).

 

Kini, media dan saluran dakwah merambah dunia elektronik yang kian luas—tidak pernah dibayangkan.

 

Media dakwah tak lagi terbatas radio dan televisi. Kini, eksplosi dakwah terjadi melalui media sosial instan yang melampaui berbagai batas, seperti wilayah geografis, sistem politik, realitas sosial-budaya, dan lapisan ekonomi.

 

Berkat kemajuan dan keluasan medium dakwah, kini dalam masyarakat Muslim, siapa saja bisa menjadi penceramah agama.

 

Sekali lagi, dalam struktur fungsionaris keagamaan dan tradisi Ahlu Sunnah wal Jamaah tidak ada ‘seminari’ dan pengangkatan resmi individu dan kumpulan kolektif menjadi dai.

 

Seseorang yang punya semangat, orientasi, dan keberanian bisa menjadi penceramah agama atau dai. Dia bisa berceramah agama, jika tidak lewat medium dan bentuk dakwah konvensional, bisa berdakwah lewat media sosial.

 

Dalam medium terakhir ini, individu dai bisa tampil dengan identitas jelas, tapi sering juga tampil anonim atau tanpa nama. Hanya ada pesan dakwah yang disampaikan, tetapi tak diketahui sosok atau identitas pendakwahnya.

 

Semua perkembangan dakwah kontemporer yang semakin luas dan beragam, selain menguntungkan bisa menimbulkan disrupsi dalam kehidupan keislaman individu ataupun kolektif.

 

Penerima dakwah bisa terjerumus ke dalam pemahaman dan praksis Islam yang tak sesuai ortodoksi, yang sudah dinyatakan sahih oleh ulama otoritatif. Di sini, terlihat jelas urgensi menjaga keluhuran dakwah dan ketinggian Islam.

 

Kebebasan dakwah sejak zaman kolonial, mesti digunakan secara bertanggung jawab. Kebebasan dakwah tak bertanggung jawab dapat menimbulkan salah paham terhadap Islam, bahkan perpecahan dan kerusakan di kalangan umat dan warga bangsa.

 

Untuk memastikan penceramah agama berpegang pada prinsip dakwah, menjaga martabat dan harkat Islam, serta dan menjaga keutuhan umat-bangsa, perlu peningkatan kompetensi penceramah.

 

Para penceramah yang memiliki latar belakang pendidikan dan sosial-intelektual beragam, mesti ditingkatkan kemampuan dan kompetensinya. Ormas Islam, lembaga dakwah, fakultas dakwah di PTKIN, dan Ditjen Bimas Islam perlu merumuskan standar kompetensi penceramah, yang mencakup penguasaan keilmuan Islam, kecakapan metode dan pendekatan dakwah, serta akhlak dalam berdakwah dan berkehidupan sehari-hari.

 

Dalam hal kompetensi keilmuan dan kecakapan Islam, penceramah agama wajib memiliki pemahaman Islam komprehensif, tidak sepotong-sepotong, adhoc, serta bermuatan politik ideologis dan kekuasaan.

 

Penceramah agama mesti memiliki pengetahuan dan pemahaman Islam dari berbagai aspeknya. Sebab, Islam adalah agama totalitarian yang berusaha mengatur seluruh aspek kehidupan.

 

Selanjutnya, kompetensi pendekatan dan metodologi dakwah—cara komunikasi dan penyampaian pesan Islam secara efektif. Penceramah mesti mengetahui prinsip dasar dalam ilmu komunikasi. Tidak hanya komunikasi konvensional, tetapi juga mutakhir dengan menggunakan teknologi informasi canggih.

 

Kompetensi terakhir yang sangat penting adalah akhlakul karimah. Penceramah agama harus dapat menjadi teladan dalam integritas keislaman, kesesuaian perkataan dan perbuatan, serta kemuliaan pribadi.

 

Penceramah agama wajib berbuat sesuai kandungan dakwahnya. Tidak hanya pintar menceramahi jamaah, tetapi juga taat mengamalkan apa yang dia dakwahkan.

 

Peningkatan kompetensi penceramah sebaiknya tidak dilakukan negara c.q Kementerian Agama, baik di pusat maupun di daerah. Ini penting untuk menghindari munculnya kesan dan kemungkinan campur tangan pemerintah dalam dakwah.

 

Sepatutnya, dilakukan ormas Islam yang memiliki lembaga atau divisi dakwah. Mereka ini memiliki pengalaman panjang melatih dan mempersiapkan penceramah agama dengan orientasi Islam Wasathiyah.

 

Peningkatan kompetensi dapat bekerja sama dengan fakultas dakwah dan komunikasi di PTKIN atau PTKIS. Dengan begitu, penceramah dapat memiliki kerangka ilmiah dan akademik dalam berceramah atau berdakwah.

 

Terakhir, perlu ada pangkalan data penceramah agama untuk pengembangan kompetensi. Juga untuk memberikan pilihan penceramah bagi jamaah dan peningkatan kesejahteraan penceramah itu sendiri. []

 

REPUBLIKA, 22 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar