Resesi dan Urgensi Stimulasi Konsumsi serta Kinerja UMKM
Oleh: Bambang Soesatyo
STIMULASI konsumsi dan kinerja UMKM menjadi pilihan
kebijakan yang cukup efektif untuk bertahan di masa resesi dan pandemi sekarang
ini. Karena itu, kebijakan-kebijakan terbaru yang berdampak pada penurunan daya
beli harus dihindari, sementara stimulus untuk UMKM (usaha mikro kecil dan
menengah) perlu diupayakan tepat sasaran dan tepat guna.
Lazimnya pada periode resesi, satu-satunya mesin
pertumbuhan yang masih layak diandalkan hanya konsumsi masyarakat dan
pemerintah. Mengharapkan kontribusi dari pertumbuhan ekspor dan investasi
langsung jelas tidak realistis. Salah satu indikator dari resesi global adalah
melemahnya permintaan pasar atas semua produk ekspor. Akibatnya, pertumbuhan
ekspor turun atau maksimal stagnan. Lalu, karena pandemi global Covid-19 menyebabkan
ketidakpastian yang berlarut-larut, kegiatan penanaman modal langsung pun harus
menunggu hingga terwujudnya kepastian baru. Bagi investor, kepastian menjadi
faktor penting untuk membuat kalkulasi.
Resesi dengan segala akibatnya sudah dirasakan
sebagian besar masyarakat sepanjang periode kuartal III-2020. Ketika beberapa
hari lalu Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ini tak lebih dari
konfirmasi data. Sebab, bukankah kerja pemulihan ekonomi sudah dimulai oleh
Satuan Tugas Pemulihan Ekonomi Nasional (Satgas PEN) dengan beragam stimulus
bernilai ratusan triliun rupiah.
Sepanjang periode resesi, menstimulasi permintaan
atau konsumsi dalam negeri, baik rumah tangga maupun pemerintah, menjadi sangat
penting agar tidak semua mesin pertumbuhan lumpuh. Merawat atau menstimulasi
konsumsi akan mendorong permintaan. Dengan adanya permintaan, mesin-mesin
produksi akan bekerja. Mesin produksi yang bekerja tentu memerlukan
keterlibatan para pekerja pula, baik di pusat produksi maupun pada jaringan distribusi.
Setelah mengalami kontraksi cukup dalam pada kuartal
II-2020, konsumsi rumah tangga dilaporkan mulai membaik pada kuartal III-2020
walaupun masih di zona negatif. Menurut BPS, konsumsi rumah tangga masih tumbuh
negatif 4,04 persen dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun,
terlihat membaik jika dibandingkan dengan kuartal II-2020 yang kontraksinya
sampai 5,52 persen. Kuartal II-2020 adalah periode awal penerapan pembatasan
sosial berskala besar (PSBB) di banyak kota dan pemukiman, termasuk inisiatif
banyak keluarga melakukan isolasi mandiri.
BPS juga mencatat bahwa kontraksi konsumsi itu
tercermin dari penjualan eceran yang masih minus 9,64 persen. Memang, banyak
kelompok masyarakat terlihat lebih menahan diri dan tetap berhati-hati dalam
konsumsi. Faktor yang paling diperhitungkan oleh banyak orang adalah dampak
lanjutan dari pandemi Covid-19. Boleh jadi karena rumah tangga masih
memrioritaskan pangan dan obat-obatan, penjualan eceran untuk produk sandang,
bahan bakar, aksesoris, alat informasi dan komunikasi serta ragam produk
lainnya tidak signifikan pertumbuhannya.
Pemerintah, sejauh ini, memang tidak melahirkan
kebijakan yang dapat menurunkan daya beli. Sebaliknya, pemerintah coba
merangsang konsumsi rumah tangga dengan memperbesar volume bantuan jaring
pengaman sosial. Stimulasi dari pemerintah itu diarahkan pada sekitar 50 juta
hingga 60 juta rumah tangga. Pendekatan ini cukup efektif sehingga konsumsi
rumah tangga mulai membaik di kuartal III-2020.
Jika saja jumlah kasus harian Covid-19 bisa turun
dalam jumlah yang signifikan, semua kelompok masyarakat mungkin tidak ragu lagi
untuk belanja kebutuhan lain di luar pangan dan obat-obatan. Selain itu, ruang
publik yang kondusif juga mempengaruhi minat kelompok-kelompok masyarakat
berbelanja. Jangan lagi ada kerusuhan dari setiap unjuk rasa oleh siapa pun.
Membakar dan merusak fasilitas umum hanya menimbulkan kesan suasana yang tidak
kondusif. Bahkan, bagi sebagian orang, merusak dan membakar fasilitas umum itu
justru menakutkan.
Selain menstimulasi konsumsi rumah tangga, langkah
strategis lainnya yang juga tidak kalah pentingnya adalah memompa produktivitas
UMKM. Fakta tak terbantahkan bahwa UMKM menjadi faktor sangat strategis dalam
perekonomian nasional. kontribusi UMKM, baik bagi pertumbuhan dan penyerapan
lapangan kerja, sangat signfikan. Kontribusi UMKM mencapai 60,3 persen dari
total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Lebih dari itu, UMKM menyerap 97 persen dari total
tenaga kerja. Pun, dari lingkup UMKM yang begitu luas dan sangat beragam,
tersedia 99 persen dari total lapangan kerja. Konsumen UMKM juga mencakup
puluhan juta rumah tangga.
UMKM yang produktif dan kompetitif bisa menjadi
jawaban untuk masalah menurunnya konsumsi dan meningkatnya jumlah pengangguran akibat
pandemi Covid-19. Menurut BPS, jumlah pengangguran menjadi 9,77 juta orang pada
Agustus 2020 karena penambahan sebanyak 2,67 juta orang. Ada pekerja yang
menerima PHK (pemutusan hubungan kerja) atau dirumahkan. Sedangkan Kementerian
Ketenagakerjaan mencatat, total pengangguran sudah mencapai 10,3 juta hingga
September 2020.
Maka, dengan mendorong produktivitas UMKM, perannya
untuk mereduksi ekses resesi ekonomi sekarang ini jelas sangat nyata. Total
unit UMKM mencapai 64,2 juta. Kalau diasumsikan per unit bisa menyerap satu-dua
pekerja, ketahanan ekonomi nasional sepanjang periode resesi global sekarang
ini pastinya cukup mumpuni. Terlebih, tak hanya menyerap pekerja dalam jumlah
yang signifikan, tetapi UMKM juga sudah terbiasa menyajikan ragam produk dengan
harga terjangkau oleh konsumen kebanyakan.
Namun, UMKM di dalam negeri pun tak luput dari
pukulan pandemi Covid-19. Dilaporkan bahwa tidak sedikit UMKM yang gulung tikar
karena lemahnya permintaan atau anjloknya konsumsi masyarakat. Kadin Indonesia
mencatat, tak kurang dari 48,6 persen UMKM menutup usahanya sepanjang periode
pandemi covid-19. Data ini bisa melahirkan asumsi bahwa jumlah pengangguran
bisa lebih besar dari jumlah yang terdeteksi oleh lembaga-lembaga pemerintah.
Karena itu, wajar jika pemerintah memberi perhatian
khusus kepada UMKM. Per 5 Oktober 2020, realisasi anggaran stimulus untuk UMKM
sudah mencapai Rp 83,9 triliun, atau 67,99 persen dari total pagu anggaran
Rp123,47 triliun. Semua pihak tentu berharap stimulus untuk UMKM itu efektif.
Karena itu, penyalurannya harus tepat sasaran dan tepat guna. []
KORAN SINDO, 07 November 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum dan Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar