Masa Depan Timur Tengah Pasca-Pilpres AS
Oleh: Hasibullah Satrawi
MASA depan Timur Tengah acap kali menjadi salah satu tema panas pada saat menjelang bahkan sesudah pesta demokrasi di Amerika Serikat (AS), tak terkecuali Pilpres AS 2020 yang dimenangkan pasangan Joe Biden-Kamala Harris.
Hal ini terjadi mengingat di satu sisi AS memiliki banyak kepentingan dan juga peran di kawasan ini. Sementara di sisi lain, Timur Tengah menjadi lahan yang bisa memperlihatkan dengan jelas perbedaan kebijakan politik luar negeri AS di bawah presiden tertentu dibanding presiden yang lain.
Sesaat setelah Joe Biden unggul perolehan electoral college atas Trump (290 vs 214) otoritas Palestina langsung mengucapkan selamat kepada Joe Biden, sembari berharap AS di bawah kepemimpinannya bisa memperbaiki arah politik luar negerinya (taghyir masar siyasatul kharijiyah).
Hal ini, sekaligus memperlihatkan kedalaman trauma, sekaligus sakit hati politik dari kalangan elite Palestina atas pemerintahan Trump, yang senantiasa meminggirkan dan mengabaikan mereka. Sementara Israel di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu cenderung dingin dan terkesan tak menyukai kemenangan Biden.
Alih-alih, sebagian pihak di Israel yang anti terhadap Netanyahu justru menyambut gembira kemenangan Biden, sembari berharap Netanyahu segera meninggalkan kursi kekuasaannya sebagaimana dialami Trump.
Bukan superman
Sabri Samira, salah satu analis politik di Al-Jazeera Network menyampaikan analisis yang cukup netral, dan realistis, terkait dengan kemungkinan perubahan kebijakan politik luar negeri AS, di Timur Tengah dan dunia Islam, di bawah kepemimpinan Biden.
Menurutnya, Biden akan menciptakan perubahan-perubahan, terkait dengan kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah. Namun, hal ini tidak akan menjadikannya sebagai superman, yang akan menyelesaikan masalah-masalah di Timur Tengah sendirian.
Alih-alih, Biden diperkirakan akan mendorong negara-negara di Timur Tengah, agar berdiri tegak, untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Kalaupun AS akan terlibat dalam persoalan di Timur Tengah, hal itu diperkirakan tidak akan secara langsung, melainkan melalui "pihak ketiga" yang didukung AS (Aljazeera,net. 14/11).
Dalam persoalan konflik Palestina-Israel, Biden kemungkinan besar akan menghidupkan kembali kerangka penyelesaian, sesuai dengan semangat solusi dua negara. Kelompok-kelompok kanan di Israel, yang cenderung ekstrem dalam upaya menyelesaikan masalah dengan Palestina dan Arab, kemungkinan besar, tidak akan dimanjakan kembali seperti pada era Trump.
Tapi, kebijakan-kebijakan yang sudah terjadi, diperkirakan tidak akan dirombak total, seperti pemindahan kedutaan besar AS ke Jerusalem, hubungan diplomasi penuh antara Israel dan sebagian negara Arab Teluk plus Sudan dan kebijakan-kebijakan lainnya.
Perubahan lain dari politik luar negeri AS di Timur Tengah, yang akan cukup kuat terkait dengan isu demokrasi, kebebasan sipil, perlindungan HAM, kekuasaan otoriter, korupsi, dan penanganan kelompok-kelompok ekstrem.
Di hadapan nilai-nilai ini, akan ada cukup banyak negara di Timur tengah yang tidak terlalu bahagia dengan kebijakan Biden. Mengingat isu-isu di atas sejauh ini sangat tidak baik di negara-negara Timur Tengah.
Meminjam istilah rakyat yang terkenal di kalangan dunia Arab, semua dinding di negaranya memiliki telinga yang bisa merekam dan memberi tahu pembicaraan yang ada kepada penguasa. Dan penguasa bisa melakukan tindakan apa pun untuk mengamankan kekuasaannya.
Arab Spring, sempat memberikan harapan bagi berseminya nilai-nilai demokrasi yang menghormati kebebasan sipil, transisi kepemimpinan yang terjadwal, dan berjalan damai dan penegakan hukum yang adil untuk semua. Bahkan, sebagaimana dalam pengalaman Mesir, Arab Spring sempat berhasil mengantarkan kelompok oposisi yang kerap dianggap sebagai teroris seperti Ikhwanul Muslimin, ke puncak kekuasaan, sebelum akhirnya dijadikan kembali sebagai kelompok teroris seperti sekarang.
Peran Indonesia
Di sinilah peluang emas bagi Indonesia. Sebagaiamana negara lain, Indonesia membutuhkan kerja sama yang bersifat saling menghormati, sekaligus saling menguntungkan dengan pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Biden. Dalam konteks hubungan bilateral, posisi tawar dan peran yang bisa dimaiknkan oleh satu negara sangat menentukan bagi hubungannya dengan negara lain.
Dalam konteks seperti ini, pengalaman Indonesia terkait dengan nilai-nilai demokrasi, penghormatan terhadap hak-hak sipil, transisi pemerintahan secara damai, sekaligus terjadwal dan penegakan hukum secara adil dan setara, bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia di hadapan AS dan negara-negara Timur Tengah sekaligus. Yaitu dengan menjadi mediator, atau jembatan bagi AS untuk mendorong negara-negara di Timur Tengah, ke arah demokratisasi sekaligus menjadi contoh demokratisasi, bagi negara-negara tersebut.
Bahkan, posisi tawar Indonesia sebagaimana di atas juga bisa digunakan, dalam konteks proses penyelesaian konflik Palestina-Israel, sesuai dengan prinsip solusi dua negara. Mengingat, Indonesia sangat dihormati oleh kekuatan-kekuatan politik di Palestina, sebagaimana AS juga demikian dalam konteks Israel. Indonesia, bisa menjadi perantara Palestina dalam perundingan, sedangkan AS bisa menjadi perantara Israel dalam perundingan ini.
Peluang emas seperti di atas, harus secepatnya ditangkap oleh pemerintah Indonesia. Karena, Palestina (dan juga negara lain), sebagai negara yang belum merdeka, sejatinya merupakan "medan jihad konstitusional" bagi Indonesia.
Karena pembukaan UUD 1945 telah menetapkan, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Pun demikian, dengan ketentuan "ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Ini adalah norma politik luar negeri, yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, selama hayat masih di kandung badan, untuk bangsa mana pun dan sampai kapan pun. []
DETIK, 17 November 2020
Hasibullah Satrawi | Pengamat politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar