Selasa, 17 November 2020

Azyumardi: Charlie Hebdo: Tugas Bersama

Charlie Hebdo: Tugas Bersama

Oleh: Azyumardi Azra

 

Kartun Charlie Hebdo kembali menelan korban jiwa. Guru Prancis, Samuel Paty (57 tahun), dipenggal oleh Abdoullakh Abouyedovich Anzorov (18) pada 16 Oktober 2020.

 

Anzorov kalap karena Paty memperlihatkan beberapa kartun ofensif dan blasphemous, yang pernah dimuat majalah satire Charlie Hebdo sejak 2006 dan menggambarkan Nabi Muhammad SAW.

 

Paty agaknya tipikal warga Prancis laicite tradisional yang hanya menjunjung tinggi liberte (kebebasan).

 

Ketika menunjukkan kartun-kartun itu di kelas, guru sekolah menengah ini tidak mempertimbangkan sensitivitas dan keberatan murid-murid Muslim. Sebaliknya, dia mempersilakan murid Muslim yang tersinggung keluar kelas.

 

Kejadian di kelas ini kemudian menyebar ke media sosial warga Muslim. Brahim Chinina, orang tua salah satu murid Muslimah menuduh guru Paty mengajarkan pornografi karena di antara kartun itu menggambarkan laki-laki telanjang.

 

Imam Masjid Raya Pantin, di pinggir utara Paris, Abdel Hakim Sefrioui mendampingi orang tua murid memprotes guru Paty yang mereka sebut ‘preman’ (Prancis, foyou). Semua kehebohan ini mendorong aksi Anzorov, pengungsi Chechnya yang lahir di Moskow.

 

Keluarganya pertama kali mengungsi ke Moskow, kemudian ke Paris ketika dia berumur enam tahun. Pada 2014, saudara tiri perempuannya bergabung dengan ISIS.

 

Namun, ini tak membatalkan keluarga Anzorov mendapat status pengungsi pada Maret 2020 dengan hak tinggal di Prancis selama 10 tahun. Berstatus pengungsi dengan pendidikan dan pekerjaan tak menentu, Anzorov banyak bergaul dengan lingkaran jihadis.

 

Sebelum kejadian pemenggalan, Anzorov diketahui dari jejak digital media sosial, mengonsultasi Hay’ah Tahrir al-Sham (Kelompok Kemerdekaan Syria).

 

Sekitar 10 hari setelah guru Paty memperlihatkan kartun di kelas, Anzorov (16/10) menunggunya keluar dari sekolah untuk memenggalnya. Tak lama berselang, polisi mengepung dan memintanya untuk menyerah. Dia menolak dan akhirnya ditembak tewas di tempat.

 

Korban kartun Charlie Hebdo terus berjatuhan. Sepekan kemudian, dua perempuan dan satu laki-laki jemaat Gereja Notre Dame, Nice, tewas ditikam. Penikamnya Brahim el-Aouissaoui, datang dari Tunisia ke Nice.

 

Sejak 2006, kartun Charlie Hebdo mematikan. Gelombang kekerasan silih berganti: 2011, 2015, dan 2020. Sekitar 12 orang tewas, termasuk pimpinan penerbit dan beberapa kartunisnya. Sejumlah orang juga tewas dalam aksi demonstrasi di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika.

 

Liberte menewaskan banyak warga. Kebanyakan pejabat, termasuk Presiden Emmanuel Macron dan warga Prancis, memperlakukan kebebasan di atas segalanya. Dua prinsip Prancis lainnya; egalite (kesetaraan) dan fraternite (persaudaraan) praktis terabaikan.

 

Prancis dan kaum Muslim, punya sejarah kontemporer panjang. Para penganut Islam yang datang ke Prancis dalam jumlah semakin besar pasca-Perang Dunia II, kini sudah sampai pada generasi ketiga atau keempat.

 

Jumlah mereka terus bertambah dengan pengungsi dari sejumlah negara Muslim yang bergolak dan kacau di Asia Barat dan Afrika Utara. Hasilnya, jumlah kaum Muslim terus meningkat.

 

Menurut Pew Research Center, kaum Muslim berjumlah 5,7 juta jiwa atau 8,8 persen dari total penduduk (2019). Muslimin adalah kelompok minoritas agama terbesar kedua setelah mayoritas Katolik.

 

Namun, kaum Muslimin umumnya tak terintegrasi ke dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik Prancis. Kebanyakan miskin dan tinggal di kawasan kumuh.

 

Mengatasi keterasingan dan keterbelakangan sosial-ekonomi adalah tugas bersama pemerintah dengan Muslimin sendiri. Tugas pemerintah dan warga Prancis membangun keseimbangan baru, di antara liberte, egalite, dan fraternite.

 

Dengan warga yang kian majemuk secara sosial, agama, dan budaya, mengutamakan hanya liberte tanpa egalite dan fraternite berujung pada konflik dan kekerasan. Pemerintah Prancis juga perlu mengembangkan laicite (sekularisme) yang lebih fleksibel.

 

Banyak negara Eropa dan Amerika Utara menerapkan sekularisme, tetapi yang ‘bersahabat dengan agama’. Pada pihak lain, pemimpin dan warga Muslim memiliki tugas penguatan integrasi ke dalam arus utama bangsa Prancis, tanpa harus mengorbankan identitas Islam.

 

Saat yang sama, melakukan pemberdayaan pendidikan, kebudayaan, dan sosial-ekonomi. Tugas mendesak pemimpin Muslim selanjutnya, yakni mengembangkan Islam Wasathiyah yang damai, toleran, dan sabar; tidak cepat terjerumus ke dalam aksi kekerasan.

 

Kekerasan tidak menolong Islam dan kaum Muslimin. Hanya meningkatkan Islamofobia dan kebencian terhadap penganut Islam. []

 

REPUBLIKA, 05 November 2020

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar