Kamis, 26 November 2020

Azyumardi: Ketahanan Masyarakat Sipil

Ketahanan Masyarakat Sipil

Oleh: Azyumardi Azra

 

”Government responses to the new corona virus pandemic are disrupting civil society globally. More worryingly, illiberal leaders in a number of countries are taking advantage of the crisis when civil society groups are less able to fight back.”

 

(Carnegie Endowment for International Peace, 2020)

 

Bagaimana ketahanan masyarakat sipil (civil society) di tengah kemerosotan demokrasi dalam beberapa tahun terakhir? Resiliensi masyarakat sipil juga masih menghadapi ujian karena gempuran berlipat ganda dengan penyebaran wabah Covid-19 sejak awal 2020 yang tampaknya akan terus berlanjut ke 2021.

 

Banyak kalangan mempertanyakan ketahanan masyarakat sipil. Pertanyaan yang sering muncul: seberapa resilien, seberapa kuat, dan seberapa lama masyarakat sipil mampu tetap menjadi kekuatan penting untuk memperjuangkan demokrasi yang terus mengalami backsliding (kemunduran) di banyak negara, termasuk di Indonesia.

 

Tidak hanya itu, ada pertanyaan lebih eksistensial; bagaimana masyarakat sipil mempertahankan eksistensinya di tengah lingkungan politik, ekonomi, sosial-budaya, dan ekonomi yang tidak kondusif. Dengan ruang ekspresi semakin sempit dan sumber ekonomi kian terbatas, bagaimana masa depan masyarakat sipil?

 

Laporan Carnegie Endowment for International Peace (CEIP), seperti dikutip di awal, menyatakan, masyarakat sipil secara global mengalami disrupsi sejak sebelum masa pandemi. Berbagai regulasi, praksis, dan realitas politik di banyak negara semakin mencekik masyarakat sipil.

 

Kesulitan masyarakat sipil meningkat di tengah penyebaran pandemi Covid-19, khususnya pada bulan-bulan awal 2020. Kebijakan lockdown, penjarakan fisik dan sosial, serta protokol kesehatan lainnya mengakibatkan organisasi dan kelompok masyarakat sipil gamang membantu para warga yang terancam wabah dan kagok menghadapi pemerintah yang gagap mengambil kebijakan padu menangani Covid-19.

 

”Lebih mengkhawatirkan lagi, para pemimpin iliberal di sejumlah negara mengambil kesempatan dari krisis (wabah Covid-19) mengencangkan kekuasaan politik dengan melemahkan check and balances, memaksakan penyensoran, dan memperluas pengintaian negara terhadap warga—semua dilakukan ketika kelompok masyarakat sipil kurang dapat berjuang melawan,” tulis CEIP.

 

Namun, masyarakat sipil memiliki resiliensi dan kelenturan dalam menghadapi pelbagai disrupsi dan kesulitan akibat kebijakan rezim penguasa yang kian otoritarian. Ketahanannya juga terlihat dalam menghadapi berbagai dampak wabah Covid-19 ketika pemerintah tidak mampu dengan baik menangani pandemi.

 

Menghadapi bermacam kesulitan, masyarakat sipil tidak lumpuh. Sebaliknya, seperti dicatat CEIP dalam pengalaman sejumlah negara, masyarakat sipil menemukan dinamisme dan aktivisme baru. Pengalaman panjang masyarakat sipil membuat mereka menemukan berbagai pendekatan dan cara baru mengekspresikan resiliensi, menjaga eksistensi untuk tetap memainkan peran penting membela warga vis-à-vis pemerintah, dan melakukan mitigasi korban Covid-19.

 

Apa yang diungkapkan CEIP banyak benarnya dalam konteks Indonesia. Kebenaran itu pertama terkait posisi masyarakat sipil yang kian dipinggirkan dalam proses politik beberapa tahun terakhir. Puncak kekuasaan eksekutif dan legislatif bersekongkol menyingkirkan masyarakat sipil ke tepian politik.

 

Kedua, juga benar terkait bermacam kesulitan masyarakat sipil menghadapi wabah Covid-19 yang blessing in disguise memunculkan aktivisme baru. Dalam kekacauan koordinasi kepemimpinan dan birokrasi negara, masyarakat sipil memainkan peran penting menenteramkan dan menyantuni para warga.

 

Organisasi dan kelompok masyarakat sipil bergerak membantu lapisan warga yang kesulitan ekonomi dan sosial. Mereka menggalang berbagai bentuk filantropi yang segera disalurkan kepada mereka yang terdampak.

 

Indonesia termasuk di antara sedikit negara di dunia dengan penduduk mayoritas Muslim yang beruntung memiliki banyak organisasi serta kelompok masyarakat sipil yang dinamis dan aktif (vibrant). Mereka berperan penting dalam peningkatan kehidupan sosial-budaya, agama, politik dan demokrasi, hak asasi manusia, sampai jender.

 

Jika dulu masyarakat sipil terbatas pada organisasi non-pemerintah (NGO) atau LSM dan dunia sukarelawan. Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum dalam The Future of Civil Society (2013), memberikan cakupan masyarakat sipil yang lebih inklusif. Menurut Schwab, masyarakat sipil mencakup kelompok LSM advokasi; organisasi profesi, seperti buruh dan guru; serta ormas berbasis-agama.

 

Indonesia kaya dengan ketiga kategori masyarakat sipil. Namun, yang sangat distingtif, Indonesia adalah ormas masyarakat sipil berbasis agama. Mereka ini umumnya berdiri dan berkembang sejak masa kolonial—jauh sebelum tercapainya kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.

 

Salah satu organisasi masyarakat sipil berbasis agama terbesar di Indonesia adalah Muhammadiyah yang pada 18 November 2020 memperingati hari jadi ke-108 tahun. ”Jalan Pengabdian Muhammadiyah” dalam kehidupan negara-bangsa sangat luas dan banyak (Kompas, 18/11/2020).

 

Muhammadiyah bersama Nahdlatul Ulama (NU berdiri pada 31 Januari 1926) serta ormas-ormas Islam lain di seluruh Tanah Air menjadi tulang punggung moderasi Islam. Menganut wasatiyyat Islam, jalan tengah Islam atau Islam jalan tengah, peran mereka sangat penting menghadapi ancaman ekstremisme Islam transnasional dari Timur Tengah dan Asia Selatan.

 

Ormas-ormas Islam ini awalnya bergerak dalam dakwah, pendidikan, dan kepenyantunan sosial. Inilah gerakan paling aman di masa penjajahan karena tidak mengganggu status quo kolonial Belanda. Peran mereka dalam bidang-bidang ini amat vital ketika pemerintah kolonial tidak memedulikan inlanders (pribumi).

 

Dalam perjalanan sejarah, ormas masyarakat sipil juga berperan penting dalam penyemaian budaya kewargaan (civic culture) yang menumbuhkan keadaban (civility). Civic culture dan civility menjadi prasyarat penting bagi tumbuhnya demokrasi yang dinamis dan terkonsolidasi.

 

Indonesianis terkemuka, Robert Hefner, pernah mengkaji keterkaitan Islamic-based civil society dengan demokrasi. Hefner menyimpulkan, masyarakat sipil berbasis Islam berperan instrumental mengembangkan civil Islam yang kompatibel dengan demokrasi sehingga Indonesia sukses dalam transisi dari otoritarianisme ke demokrasi.

 

Civil Islam terus tumbuh dan menguat berkat ormas-ormas masyarakat sipil Islam yang inklusif, akomodatif, dan toleran. Islamic-based civil society bergandeng tangan dengan religious-based civil society dari agama-agama lain membangun Indonesia demokratis, berkemajuan, serta berperadaban tinggi dan mulia.

 

Inilah salah satu legacy agama-agama di Indonesia. Masyarakat sipil berbasis agama dengan resiliensinya dapat terus turut menjaga demokrasi. Selain itu, terus berusaha memajukan bangsa lewat berbagai praksisnya; juga senantiasa menyantuni warga dan komunitas dengan aktivisme dan dinamisme filantropinya. []

 

KOMPAS, 19 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar