Kamis, 26 November 2020

Nasaruddin Umar: Membaca Trend Globalisasi (6) Strategi Menembus Lapis Kultur Lokal

Membaca Trend Globalisasi (6)

Strategi Menembus Lapis Kultur Lokal

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Hal yang paling menakjubkan dari Islam ialah kemampuan untuk menembus dan beradaptasi dengan lapis-pais kultur lokal. Sulit dibayangkan Islam yang sarat dengan ajaran universal bisa begitu cepat eksis menjadi "tuan rumah" di tengah pluralitas kearifan lokal. Dalam waktu relative sangat singkat Islam sudah menembus batas-batas geografis di kawasan Timur-Tengah. Begitu kuatnya pengaruh Islam, dalam waktu singkat bisa menggantikan posisi Bahasa Ibu dari non-Arab menjadi Bahasa Arab. Contoh kongkrit Mesir dan negeri muslim lainnya di Kawasan Afrika.

 

Misteri kekuatan adaptasi Islam ini diungkap secara sangat indah oleh S.H. Nasser dalam Ideal and Realities of Islam. Ia melukiskan adaptasi dan sinkronisasi antara nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan budaya dan peradaban local dalam lintasan sejarah peradaban dunia Islam. Satu sama lain tidak saling mengorbankan tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk dunia kemanusiaan. Menurutnya, antara keduanya tidak perlu dihadap-hadapkan karena nilai-nilai universal Islam bersifat terbuka, dalam arti fleksibel dan dapat mengakomodir berbagai nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterima dari Timbektu, ujung barat Afrika sampai Merauke, ujung Timur Indonesia.

 

Islam adalah sebuah ajaran yang membawa peradaban kemanusiaan. Disebut apasaja peradaban itu asal sejalan dengan nilai-nilai universal, atau yang biasa juga disebut ajaran dasar islam, dapat diterima sebagai peradaban Islam. Mungkin memang pada awalnya ada suatu masa penyesuaian tetapi masa itu tidak perlu terlalu lama karena esensi nilai-nilai Islam sejalan dengan asas kemanusiaan. Tidak heran jika Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dapat menyaksikan sendiri ajaran agama yang dibawanya menyebar ke berbagai penjuru dunia.

 

Peran proaktif Nabi Muhammad Saw sebagai the best leader dan the best manager bukan sangat menentukan. Ia membangun dari nol dengan tetap melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu'itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mumulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlak ialah sebuah kroasi yang positif, apakah itu berupa benda atau non benda. Dengan demikian, nilai-nilai local tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam. Kearifan local sesungguhnya juga adalah kearifan Islam. Dalam Islam, tidak mempertentangkan antara kearifan lokal dan nilai-nilai universal, yang penting untuk mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan.

 

Ketegangan konseptual terjadi mana kala nilai-nilai universal difahami secara kaku di satu sisih, sementara di sisih lain berhadapan dengan fanatisme buta penganut nilai-nilai lokal. Pemandangan seperti ini sering terjadi tetapi biasanya dapat diselesaikan dengan kearifan tokoh penganjur kedua belah pihak. Titik temu atau jalan tengah biasanya diambil melalui persepakatan adat-istiadat setempat. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. Tuhan Yang Maha Kuasa pun memberi waktu 23 tahun untuk turunnya keseluruhan ayat Al-Quran. Penerapan nilai-nilai Islam dikenal perinsip tadarruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur, tahap demi tahap. Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh. Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicapai melalui sinergi antara nilai-nilai local dengan ajaran dasar Islam. Dengan demikian, Islam dirasakan sebagai kelanjutan sebuah tradisi yang sudah mapan di dalam masyarakat. Bukannya menghadirkan sesuatu yang serba baru melalui penyingkiran nilai-nilai lokal. Bisa dibayangkan, bagaimana nilai-nilai local Minangkabau yang matriarchal bisa menyatu dengan nilai-nilai Islam yang cenderung patriarchal. Penyatuan kedua system budaya ini ternyata melahirkan sintersa kebudayaan yang indah, yang sering dilukiskan sebagai: Adat bersendi Syara' Syara' bersendi Kitabullah. []

 

DETIK, 12 Agustus 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar