Kamis, 05 November 2020

Azyumardi: Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (1)

Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (1)

Oleh: Azyumardi Azra 

 

Hubungan negara dan agama telah sering diperbincangkan, tetapi seolah tidak pernah putus. Meski sudah ada format hubungan cukup serasi di antara negara Indonesia dengan agama—khususnya Islam yang dianut mayoritas mutlak warga—selalu saja ada ketegangan di antara kedua entitas ini. 

 

Penyebab ketegangan itu dari waktu ke waktu bisa jadi kebijakan atau rencana kebijakan pemerintah terkait agama atau pemeluk agama tertentu, seperti Islam dan Muslim. Bisa jadi juga karena pernyataan sembrono dari pejabat publik atau petinggi lembaga negara atau pimpinan partai politik. 

 

Dalam kaitan itu, sepanjang pekan lalu penulis terlibat sebagai narasumber dalam dua webinar. Kedua webinar itu membahas substansi tentang dinamika hubungan yang tidak selalu harmonis di antara agama dan negara. 

 

Acara pertama diselenggarakan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, membincang hubungan agama dan negara. Perbincangan menjadi bagian seminar bertajuk Sosial, Kordinasi dan Peluncuran Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat (16-18/9/2020).

 

Sedangkan acara kedua tentang ‘Penguatan Karakter Bangsa’, yang diselenggarakan Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Universitas Lampung (18/9/2020). Perbincangan juga mencakup tentang peran agama dan negara dalam pembentukan karakter bangsa sebagai fokus utama. 

 

Acara pertama terkait ‘penceramah [agama] bersertifikat’ segera menjadi kontroversi begitu diumumkan Menteri Agama Fachrul Razi beberapa waktu sebelumnya. Meski ada kontroversi dan kritisi dari kalangan ormas Islam, acara ternyata dihadiri banyak wakil ormas Islam dan lembaga dakwah. Keikutsertaan ini adalah kesempatan baik di antara Kementerian Agama dengan ormas Islam untuk ‘tabayyun’ dan saling bertukar pikiran mengenai ‘penceramah bersertifikat’. 

 

Kementerian Agama adalah representasi negara dan Menteri Agama adalah representasi pemerintah yang sah. Negara Indonesia sebagai nation-state terbentuk secara formal dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Nation-state Indonesia bertitik tolak dari kebangsaan (nationalism) yang bersumber dari bangsa (nation).

 

Secara teoretis dan praksis, semestinya tidak ada ketegangan antara nasionalisme dan negara bangsa dengan Islam yang dianut mayoritas absolut penduduk Indonesia. Hal ini tak lain karena Islam Indonesia dan kaum Muslimin telah menerima nasionalisme Indonesia sejak masa pergerakan mulai dasawarsa 1910-an dan seterusnya. 

 

Dalam kenyataannya, para penganut Islam (dan juga pemeluk agama-agama lain), menjadi salah satu tulang punggung utama paradigman dan gerakan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan. Penerimaan UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sejak 17 Agustus 1945 adalah bukti kesatuan dan komitmen kebangsaan para pemimpin lintas suku dan etnis, lintas daerah, lintas agama, lintas sosial-budaya, lintas golongan politik dan ekonomi. 

 

Peluang munculnya ketegangan atau disharmoni antara agama dan negara semakin diperkecil dengan paradigma atau konsep fiqh siyasah modern yang dikembangkan ormas Islam dan para pemimpin dan pemikir Islam. Misalnya, negara-bangsa Indonesia dalam fiqh siyasah NU-Muhammadiyah adalah dar al-mitsaq atau dar al-’ahd wa al-syahadah, presiden Indonesia adalah ‘amir al-Mu’minin atau waliyu l-amri dharuri bi al-syaukah.

 

Tetapi dalam perjalanannya, hubungan antara agama dan negara bisa mengalami disharmoni, ketegangan, dan bahkan konflik. Meski presiden dan wakil presiden sejak kemerdekaan sampai sekarang adalah Muslim dan juga mayoritas pemimpin dan elite politik yang berkuasa adalah Muslim, disharmoni terjadi ketika mereka menetapkan kebijakan atau mengeluarkan pernyataan yang dianggap merugikan Islam dan kaum Muslimin Indonesia.

 

Disharmoni atau ketidakserasian itu bisa berganda karena ada psikologi religio-politik tidak menguntungkan. Ada kalangan umat Islam yang membuat dikotomi antara negara atau pemerintah sebagai representasinya dengan Islam atau umat Muslim. Ada penghadapan binari ‘minna’ (dari pihak kita kaum Muslim) versus ‘minhum’ (dari pihak mereka pemerintah).

 

Selain itu, juga cukup laten psikologi religio-politik yang percaya Islam dan umat Islam berada dalam kepungan (under siege). Kepungan itu mereka percayai datang bukan hanya dari pihak luar negara lain atau non-Muslim, tetapi juga dari kalangan Muslim sendiri.

 

Dalam konteks itulah kecurigaan bisa dengan cepat muncul ketika wakil pemerintah (representasi negara) semacam Menteri Agama mengeluarkan gagasan tertentu misalnya ‘penceramah bersertfikat’. Gagasan ini dipandang bukan hanya bisa merugikan dakwah, tapi juga dicurigai sebagai upaya mengkoptasi Islam dan umat Muslim ke dalam dominasi negara. []

 

REPUBLIKA, 24 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar