Jumat, 06 November 2020

Azyumardi: Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (3)

Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (3)

Oleh: Azyumardi Azra

 

Telah diketahui luas dan sering ditulis media asing serta disebut pengamat dan ahli asing, Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia (the most populous Muslim country in the world).

 

Sementara itu, di dalam negeri karena mempertimbangkan sensitivitas penganut agama lain, Indonesia sering disebut negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia (country with the largest Muslim population in the world).

 

Meski Muslim mayoritas absolut penduduk, Indonesia beruntung memiliki umat Islam wasathiyah. Menganut paradigma dan praksis tawashut (tengahan), tawazun (seimbang), ta’adul (adil), tasamuh, (toleran), dan muwathanah (cinta tanah air).

 

Umat Islam Indonesia arus utama menempuh jalan tengah dalam kehidupan agama, sosial, budaya, dan politik. Berkat karakter wasathiyah, mereka menerima negara Indonesia tidak berdasarkan Islam, tetapi Pancasila.

 

Umat Islam setia pada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Setiap dan seluruh warga negara-bangsa Indonesia juga beruntung dengan umat Islam yang mandiri, tak bergantung pada negara dalam mengembangkan Islam dan lembaga umat.

 

Tanpa atau dengan bantuan minimal dari negara, umat Islam membangun lembaga dari masjid, mushala, surau, pesantren, pondok, TK (riyadhul athfal atau bustanul athfal), PAUD, madrasah, sekolah Islam, dan perguruan tinggi Islam.

 

Dengan kemandiriannya, Islam Indonesia memberikan legasi sangat besar bagi negara-bangsa Indonesia dalam berbagai bidang.

 

Ini terlihat pada lembaga umat untuk pembangunan, pengembangan dakwah, dan pembinaan masyarakat; pendidikan; sosial-budaya dan seni; ekonomi mikro, kecil, menengah, BPRS, dan BMT; teknologi tepat guna; kesehatan masyarakat; dan lingkungan hidup.

 

Kekayaan legasi lembaga itu terlihat, misalnya dari berbagai estimasi, di seluruh Tanah Air ada sekitar 800 ribu masjid dan mushala, sekitar 30 ribu pesantren, lebih 82 ribu madrasah, 47.221 sekolah Islam, dan 808 PTAIS.

 

Berbagai lembaga ini terus tumbuh sesuai dengan peningkatan kuantitas umat dan semangat kecintaan dan kedekatan baru pada Islam. Dengan perkembangan itu, sepatutnya umat Islam tak membuat dikotomi binari ‘minna’ (umat Islam) versus ‘minhum’ (pemerintah).

 

Penghadapan binari merugikan kedua belah pihak yang bisa mengganjal upaya memajukan negara-bangsa Indonesia. Bermula pada zaman kolonial Belanda, ada kalangan umat memegang psikologi politik penghadapan umat Islam dengan kekuasaan.

 

Penghadapan binari itu valid vis-à-vis kekuasaan kolonial Belanda, tetapi tidak valid setelah Indonesia merdeka dan dipimpin warga Muslim. Sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, presiden dan wakil presiden, serta mayoritas menteri kabinet adalah penganut Islam.

 

Penghadapan binari telah lama menjadi kajian ahli. Guru besar pakar asing, seperti William Roff, Karel Steenbrink, dan Sidney Jones menilai, penghadapan binari mengakibatkan pengecilan, reduksi, kontraksi pengertian, dan cakupan umat.

 

Kontraksi dengan menggunakan kerangka akademik pernah dilakukan C Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah kolonial Belanda. Snouck, misalnya, memisahkan Islam dengan adat lokal yang telah ‘diislamkan’.

 

Kontraksi juga muncul dari kalangan umat Islam melalui reduksi demografis di antara kategori atau varian sosial-keagamaan di dalam kaum Muslimin sendiri. Ini dilakukan lewat dikotomi ‘minna’ dan ‘minhum’.

 

Sementara itu, negara-bangsa Indonesia—mengikuti format historis pada masa kolonial—memberikan kebebasan beragama bagi umat. Sejak zaman Belanda, dakwah bebas asal tidak mengancam status quo kekuasaan kolonial.

 

Sejak masa kemerdekaan, Indonesia memberikan kebebasan dakwah. Melintasi sejarah 75 tahun, pemerintah tak melakukan usaha khusus mengontrol dan membatasi dakwah.

 

Jika dakwah pernah tidak terlalu semarak pada masa Orla dan awal Orba, ini lebih terkait kesulitan ekonomi, sosial, dan psikologi politik. Walhasil, Indonesia kini negara tempat dakwah Islam paling bebas dan semarak.

 

Dakwah berlangsung intensif melalui masjid, mushala, majelis taklim, perkantoran, perusahaan, dan media elektronik—TV, internet, Youtube, dan media sosial.

 

Dakwah konvensional dengan da’wah bil lisan, da’wah bil hal, da’wah bil ‘amal masih semarak, tetapi harus dikembangkan sesuai tantangan perkembangan agama, sosial-budaya umat Islam, dan teknologi komunikasi. []

 

REPUBLIKA, 08 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar