Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tetangga saya punya rumah baru tapi jendelannya masih belum ada, maka saya tawarkan untuk dibikinin jendela dengan kesepakatan harga Rp20 juta. Tapi, saya tidak punya toko mebel. Lalu, karena sudah sepakat saya carikan mebel. Kebetulan saya kenal dengan pemilik toko mebel. Maka, saya pesan kepada pemilik toko mebel tersebut dengan harga 18 juta. Setelah jadi jendelanya, dari mebel, barang itu saya serahkan kepada tetangga (yang memesan) sesuai dengan harga kesepakatan di awal, yaitu 20 juta. Jadi, dari proses itu, saya mendapat hasil sebesar 2 juta rupiah. Apakah transaksi itu dibenarkan secara syariat? Dan apakah hasil sebesar 2 juta tersebut termasuk halal bagi saya? Sebagai catatan: Uang itu baru boleh dibayarkan setelah barangnya ada. Kalau misal barang ada cela (cacat), meskipun awalnya sepakat 20 juta, namun harganya bisa dikurangi dari harga awal dengan kesepakatan kedua pihak, antara saya dengan tetangga saya.
Rofiuddin / Robert Accounting
Jawaban:
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.
Kami sampaikan terima kasih banyak. Saudara penanya yang budiman! Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memang telah melarang mengenai jual beli barang yang belum ada di sisi. Rasulullah bersabda:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada di sisimu” (HR Ahmad, Al-Tirmidzy, Al-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah).
Syekh Ibnu Hajar Al-Asyqalany dalam kitab Fathu al-Bari menjelaskan mengenai pengertian sesuatu yang belum ada di sisi tersebut sebagai berikut:
فَإِذَا اشْتَرَى طَعَامًا بِمِائَةِ دِينَار مَثَلًا وَدَفَعَهَا لِلْبَائِعِ وَلَمْ يَقْبِضْ مِنْهُ الطَّعَامَ ، ثُمَّ بَاعَ الطَّعَامَ لِآخَرَ بِمِائَةٍ وَعِشْرِينَ دِينَارًا وَقَبَضَهَا وَالطَّعَامُ فِي يَدِ الْبَائِعِ ، فَكَأَنَّهُ بَاعَ مِائَةَ دِينَارٍ بِمِائَةٍ وَعِشْرِينَ دِينَارًا
“Seumpama seseorang membeli makanan seharga 100 dinar kepada seorang penjual secara kontan, dan makanan itu belum diserahterimakan kepadanya, lalu ia menjual lagi makanan itu kepada orang lain seharga 120 dinar secara kontan dan langsung diterima uangnya, sementara makanan masih ada di penjual yang pertama. Maka, akad semacam ini adalah berlaku seolah menjual uang 100 dinar dengan harga 120 dinar” (Fathu al-Bari, Juz 4, halaman 349)
Penanya yang budiman!
Syarat dari jual beli yang benar secara syariat adalah: (1) bilamana harganya ma’lum (diketahui secara jelas), (2) barangnya juga ma’lum, (3) barangnya harus imkanu al-qabdli (bisa diserahterimakan), dan (4) adanya khiyar (opsi melanjutkan akad atau membatalkan), dan (5) barang merupakan milik penjual atau ada dalam jaminan penjual (fi al-dzimmah).
Adapun yang dilanggar dalam ketentuan sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Hajar al-Asyqalani di atas, adalah karena barangnya belum diserahterimakan dari penjual pertama ke penjual yang kedua, akan tetapi penjual kedua sudah menjualnya lagi ke orang lain. Ini yang dimaksud sebagai jual beli sesuatu yang belum ada di sisi, yang pengertiannya sama dengan jual beli sesuatu yang belum dimiliki.
Namun, para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai objek barang yang dibeli (mabi’). Jika pada kasus sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Hajar di atas adalah berlaku pada makanan, yang notabene sifat dan karakteristiknya mudah berubah dan rusak, maka jual beli sesuatu yang mudah rusak seperti ini adalah sama dengan jual beli sesuatu yang tidak bisa dijamin. Tentu hal ini kondisinya berbeda dengan mebel yang secara pasti tidak mudah berubah dan rusak.
Mencermati dua kondisi barang yang berbeda dari sisi karakteristiknya ini, para ulama menyatakan, bahwa jual beli barang dengan objek yang tidak mudah berubah dan belum ada di sisi, namun bisa dijamin pengadaannya oleh penjual (fi al-dzimmah), dan bisa diketahui karakteristiknya (maushufah), maka jual beli barang seperti ini termasuk rumpun jual beli barang ghaib, namun dengan karakteristik yang diketahui (bai’ maushuf fi al-dzimmah).
Menurut ulama jumhur, hukum jual beli barang yang bisa dijamin adalah diperbolehkan karena illat hajat al-nas (kebutuhan masyarakat banyak). Namun, menurut ulama aktsarin, hukumnya tidak diperbolehkan sebab illat ghaib-nya.
Yang membedakan dari kedua ulama ini, adalah status dzimmah-nya penjual, yaitu berani tidaknya penjual menjamin pengadaannya. Jika penjual menyatakan sanggup menjamin pengadaan sesuai dengan pesanan, dan pesanan itu berupa objek yang tidak mudah berubah karakteristiknya, maka hal tersebut dibolehkan, sebab sudah lepas dari ketentuan nash yang menyatakan:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ربح ما لم يضمن
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang dari mengambil keuntungan sesuatu yang tidak terjamin” (HR Ahmad).
Dengan demikian, akad antara Pak Rofiuddin dan tetangganya dalam kasus di atas adalah masuk kelompok ini, karena objek barangnya adalah berupa mebel. Mebel merupakan barang yang karakteristiknya tidak mudah berubah. Maksudnya, bagaimana barang itu diterima dari penjual pertama, maka demikian pula barang itu dapat diserahkan oleh penjual kedua kepada pembelinya. Karena mebel sifatnya tidak mudah berubah, maka mebel juga termasuk barang yang bisa dijamin. Sehingga menjual-belikan mebel yang belum ada di sisi, adalah masuk kategori jual beli barang yang bisa dijamin (bai’ maushuf fi al-dzimmah), sehingga boleh.
Namun ada catatan bahwa sahnya bai’ maushuf fi al-dzimmah semacam (dalam konteks mazhab Syafii), adalah :
Bilamana uang (ra’sul mal) dari tetangga saudara itu diserahkan di muka.
Bila uang itu tidak diserahkan di muka, maka status hukum uang yang anda gunakan untuk membeli mebel pesanan tetangga anda adalah menjadi utang (qardlu hukman). Di dalam qardlu dilarang adanya utang menarik kemanfaatan, sebab hal itu termasuk riba qardli.
Laba yang anda ambil dari uang yang belum diserahkan oleh tetanggaa anda, (menurut konsepsi mazhab Syafii), statusnya berubah menjadi bukan laba, melainkan merupakan “manfaat” dari utang, sehingga melanggar ketentuan qardlu jara naf’an li al-muqridli fahuwa riba (utang menarik kemanfaatan sehingga terjerumus dalam riba). Riba yang anda lakukan dalam mazhab ini, termasuk riba qardli (riba utang). Alhasil, jual belinya termasuk kategori jual beli yang batal
Lantas, bagaimana dengan akad-akad sebelumnya yang sudah pernah dilakukan dengan model uangnya diserahkan belakangan tersebut? Para ulama menyampaikan bahwa tidak ada hukum bersama ketidaktahuan (la hukma ma’a al-jahalah). Untuk itu yang diperlukan adalah banyak-banyak memohon ampun kepada Allah SWT atas ketidaktahuan tersebut.
Dengan demikian, praktik selanjutnya yang perlu anda lakukan agar tidak terjerumus dalam riba tersebut adalah meminta tetangga anda untuk menyerahkan uangnya di muka. Untuk itu, anda perlu juga menyiapkan informasi mengenai harga mebel yang ma’lum. Dengan cara ini, maka laba anda menjadi sah sebagai keuntungan yang halal.
Adapun menurut konteks mazhab Hanafi, jual beli anda ini bisa masuk rumpun akad bai al-amiri bi al-syira’ (jual beli dengan perintah ketika barang datang [atau barang sudah jadi], maka pihak pemesan harus membelinya). Akad ini sering dipergunakan dalam akad inden barang dan termasuk umurun nawazil (perkara kontemporer/baru) yang oleh beberapa ulama kontemporer dibolehkan karena alasan hajati al-nas dan istihsan. Ketentuan yang harus dipenuhi dalam akad ini, dalam pandangan Syekh Bakar bin Abdullah dalam kitabnya Fiqh al-Nawazil, juz 2, halaman 97, adalah:
Tidak ada ketentuan lain dalam jual beli yang bersifat mengikat dan harus dilakukan oleh pihak pemesan sebelum barang itu diterima olehnya kemudian ia menyerahkan harga. Misalnya, ketentuan harus membayar penuh terlebih dulu.
Bila terjadi kehilangan atau kerusakan sebelum barang diterima pemesan, maka tanggung jawab kehilangan dan kerusakan itu tidak boleh dibebankan kepada pihak pemesan, melainkan harus ditanggung sendiri oleh pihak yang dipesani
Tidak ada transaksi jual beli, sebelum barang datang ke pihak yang dipesani, lalu terjadi akad antara pihak pemesan dan yang dipesani.
Menetapkan kesepakatan harga di muka hukumnya adalah boleh, asalkan tidak menghilangkan hak khiyar dari pemesan ketika barang itu sudah sampai pada pihak yang dipesani, yaitu saudara penanya.
Adapun mengenai ganti rugi bilamana ditemui adanya cacat, dengan jalan memberi potongan harga tersebut hukumnya sudah benar, baik menurut konsepsi mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Selain hal itu memenuhi hak khiyar dari pemesan, juga termasuk akad shuluh (akad damai). Di dalam konsepsi fiqih, ganti rugi semacam ini disebut dengan istilah arsyu al-‘uyub dan hukumnya boleh untuk menerbitkan rasa saling ridha.
Demikian, jawaban singkat dari al-faqir. Semoga bermanfaat buat saudara penanya, dan masyarakat lain yang mungkin melakukan praktik serupa. Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar