Jumat, 06 November 2020

Azyumardi: Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (4)

Negara, Dakwah, dan Penceramah Agama (4)

Oleh: Azyumardi Azra 

 

Negara Indonesia memberi kebebasan dan kemandirian dakwah sejak zaman penjajahan dan kemerdekaan.

 

Sejak Orde Lama melintasi Orde Baru sampai masa reformasi, negara tidak secara sistematis dan komprehensif melakukan pembahasan dan restriksi dakwah. Selain itu, negara tak punya kapasitas finansial dan sumber daya menerapkan pembatasan dakwah.

 

Kemandirian umat dan ormas Islam sejak masa kolonialisme, membuat umat yang mandiri ‘terlalu besar untuk bisa dikontrol atau dikooptasi negara’, termasuk khususnya dalam bidang dakwah.

 

Karena negara tidak memiliki agenda sistematis dan komprehensif atau tidak punya kapasitas membatasi dakwah, kegiatan dakwah dan ceramah tidak memerlukan izin aparat negara.

 

Praktis, semua kegiatan dakwah ormas Islam, yayasan Islam, lembaga dakwah, perseorangan, masjid, dan mushala serta majelis taklim berlangsung bebas.

 

Boleh jadi kegiatan dakwah yang melibatkan massa dalam jumlah besar di ruang publik terbuka, memerlukan pelaporan kepada aparat kepolisian. Kenyataan itu berbeda dengan apa yang berlaku di banyak negara Muslim lain.

 

Hampir di seluruh negara dunia Muslim, penceramah agama perlu memiliki izin dari lembaga pemerintah atau semi-pemerintah. Penceramah, khususnya khatib Jumat atau khatib shalat Idul Fitri dan Idul Adha, tidak bebas menyampaikan khotbahnya sendiri. Sebaliknya, mereka harus membacakan teks khotbah yang sudah disiapkan lembaga atau instansi pemerintah terkait.

 

Dalam perkembangan dan dinamika Islam terkait perubahan ekonomi, sosial-budaya, dan pendidikan, dakwah semakin dibutuhkan dan semarak. Ada kebutuhan yang terus meningkat untuk penguatan pengetahuan dan kecakapan keislaman di dalam batang tubuh umat Muslim.

 

Hasilnya, seperti berlaku dalam ekonomi, kebutuhan yang meningkat, mendorong suplai yang bertambah pula. Dengan kebutuhan dakwah yang terus meningkat, kian banyak muncul penceramah agama.

 

Penceramah yang kian banyak itu memiliki latar belakang pendidikan dan sosial-budaya beragam. Mereka tidak harus lulusan pesantren, madrasah, atau perguruan tinggi agama Islam, khususnya jurusan al-‘ulum al-diniyah, yang memiliki pengetahuan memadai tentang Islam.

 

Banyak pula di antara penceramah agama yang berasal dari pendidikan umum. Boleh jadi, pengetahuan dan kecakapan keislaman diperoleh secara autodidak lewat bacaan, dan kini juga lewat tontonan di media elektronik dan media sosial.

 

Dalam banyak kasus, pengetahuan keislaman mereka tidak memadai dan tidak komprehensif. Keadaan ini semakin sulit karena dalam Suni tiada struktur dan lembaga khusus untuk mengader dan menghasilkan penceramah atau ulama.

 

Dalam tradisi Suni tidak ada ‘hawzah ilmiye’ seperti dalam tradisi Syiah atau ‘seminary’ dalam tradisi Kristianitas. Karena itu, tidak ‘penahbisan’ atau pengangkatan resmi penceramah agama dalam tradisi Suni.

 

Karena itu, kapasitas pengetahuan dan kecakapan keislaman penceramah sangat beragam. Tidak ada standar minimal ilmu Islam, pengetahuan, kecakapan, metodologi, dan standar perilaku penceramah.

 

Akhirnya, setiap penceramah menampilkan substansi dan pendekatan dakwah sesuai diri masing-masing. Penampilan penceramah juga sangat dipengaruhi latar belakang sosio-intelektual dan sosio-religius masing-masing.

 

Selain itu, terjadi interplay dengan jamaah yang menjadi sasaran dakwah (mad’u); penceramah sering mengikuti kecenderungan dan kemauan mad’u sesuai latar belakang sosial-budaya dan keagamaan mereka.

 

Lingkungan lebih luas, seperti dinamika politik Indonesia atau kebijakan pemerintah dan perkembangan dunia Muslim lain dalam politik, sosial, dan agama juga sangat memengaruhi penampilan dan ekspresi penceramah agama.

 

Dalam keadaan seperti itu, tidak jarang penceramah tergelincir ke dalam praktik dakwah yang tidak sesuai prinsip dakwah yang diajarkan dalam Alquran (surah an-Nahal 16:125).

 

Dakwah atau menyeru orang ke jalan Tuhanmu dengan bijak (bil-hikmah), pengajaran yang baik (maw’izhati hasanah), dan pertukaran pendapat secara terbaik (wa jadil hum bil lati hiya ahsan).

 

Mengabaikan prinsip itu, penceramah memberikan ceramah dengan substansi sesuai kemauan sendiri yang tidak sesuai ajaran ulama otoritatif. Ini diikuti pendekatan ‘hitam-putih’, konfrontatif, agitatif, dan provokatif.

 

Walhasil, dakwah yang disampaikan jauh dari kesejukan dan kedamaian yang menjadi salah satu dari karakter utama Islam. []

 

REPUBLIKA, 15 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar