Selesaikan Krisis Kesehatan, Mencegah Krisis Ekonomi
Oleh: Bambang Soesatyo
KRISIS kesehatan dan krisis ekonomi dalam waktu
bersamaan tidak boleh terjadi. Karena itu, menyelesaikan krisis kesehatan
akibat Pandemi Covid-19 sekarang ini menjadi prasyarat, bahkan harga mati, agar
perekonomian nasional maupun global lolos dari krisis ekonomi.
Apalagi, ketika pandemi Covid-19 belum berakhir,
perekonomian dunia sudah masuk zona resesi. Dan, semua negara masih harus all
out mengerahkan semua daya dan upaya untuk meminimalisir dampak pandemi
terhadap semua aspek kehidupan manusia. Ragam subisidi dan stimulus ekonomi
direalisasikan. Mulai dari anggaran untuk merawat mereka yang terinfeksi
Covid-19, membiayai ragam program perlindungan sosial hingga tunjangan gaji,
subsidi untuk menjaga ketahanan sektor bisnis agar tidak bangkrut hingga alokasi
puluhan triliun untuk belanja bahan baku dan program pengadaan vaksin Corona.
Kocek banyak negara benar-benar terkuras. Untuk
membiayai semua program subsidi itu, sebagian negara harus menguras tabungan,
sebagian lainnya mencari utang atau hibah. Banyak negara mengalami tekanan pada
neraca pembayaran, maupun cadangan devisa yang terkuras. Tak kurang 100 dari
189 negara anggota IMF telah berkomunikasi dengan lembaga keuangan multilaral
ini untuk mendapatkan dana darurat. Dan, IMF pun mengalokasikan bantuan
pinjaman sebesar 1 triliun dolar AS untuk membantu negara anggota menangani
pandemi Covid-19.
Wabah Corona pun menjadi pukulan telak bagi perekonomian dunia. Permintaan barang dan jasa anjlok. Konsekuensinya, sektor bisnis atau perusahaan melakukan efisiensi dengan menurunkan volume produksi hingga mengurangi jumlah karyawan. Karena permintaan pasar dunia melemah, penerimaan banyak negara dari ekspor pun anjlok.
Penerimaan dari pajak pun pasti tidak signifikan
karena sektor bisnis hanya mampu bertahan dari potensi kebangkrutan. Untuk
alasan itu pula banyak negara justru memberi keringanan pajak bagi dunia usaha.
Mengharapkan investasi baru pun tidak realistis karena investor atau pemilik
modal masih menunggu kepastian baru pasca pandemi.
Pertanyaan mendasarnya adalah mau berapa lama lagi
situasi seperti sekarang ini akan berlangsung? Seberapa kuat keuangan negara
terus mensubsidi atau memberi perlindungan sosial? Pada akhirnya, kemampuan
setiap negara ada batasnya. Dan, karena keterbatasan itulah banyak negara
berutang. Ketika negara mulai mengurangi atau menurunkan volume subsidi saat
perekonomian masih terkontraksi, ancamannya jelas pada memburuknya kualitas
kehidupan.
Kualitas hidup yang memburuk adalah benih-benih
krisis. Sekarang, perekonomian banyak negara, termasuk negara kaya, sudah di
zona resesi. Indonesia pun sudah di zona yang sama. Jika stimulus ekonomi yang
sudah direalisasikan itu gagal membawa sebuah negara keluar dari zona resesi
yang terjadi kemudian adalah krisis ekonomi.
Ketika perekonomian global dilanda krisis, segala
sesuatunya menjadi sangat sulit. Apalagi masih ada krisis kesehatan sebagaimana
terjadi sekarang ini. Semua negara akan fokus dan berorientasi mengamankan
berbagai aspek kepentingan nasional, utamanya bahan pangan. Kalau sudah begitu,
negara kaya dengan cadangan devisa melimpah pun tidak akan bebas dari
kesulitan.
Indonesia pun akan mengalami kesulitan itu karena
sejumlah kebutuhan komoditi pangan masih diimpor, seperti biji gandum, gula,
kedelai, beras, jagung hingga tepung terigu dan bawang putih.Dengan cadangan
devisa per September 2020 sebesar 135,2 miliar dolar AS sebagaimana dilaporkan
Bank Indonesia (BI), nilai tambah dari jumlah itu mungkin menjadi minim ketika
perekonomian global dilanda krisis. Volume cadangan devisa itu setara
pembiayaan 9,5 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah. Namun,
impor bahan pangan menjadi tidak mudah dalam periode krisis global.
Karena itu, krisis kesehatan skala global maupun
nasional saat ini harus segera dan cepat diselesaikan. Hanya itu opsinya agar
perkonomian tidak terjerumus ke dalam lingkaran krisis. Untuk menghindari
malapetaka, krisis kesehatan yang melanda dunia sekarang ini jangan sampai
dibebani lagi dengan krisis ekonomi. Sangat mengerikan jika peradaban sekarang
harus menghadapi dua krisis sekaligus di periode waktu yang sama.
Untuk alasan strategis itulah kerja dan kesadaran
memutus rantai penularan Covid-19 menjadi faktor kunci. Semua elemen masyarakat
Indonesia harus aktif berperan dalam upaya memerangi Covid-19. Peran masyarakat
jelas sangat menentukan karena besar-kecilnya jumlah kasus Covid-19 di dalam
negeri benar-benar ditentukan oleh perilaku masyarakat, utamanya mematuhi
protokol kesehatan di masa pandemi.
Semua orang hanya perlu realistis dan mengakui bahwa
ancaman virus Corona SARS-CoV-2 itu nyata. Ancaman itu bisa dihindari jika
semua orang mau mematuhi dan menerapkan protokol kesehatan. Wacana tentang Covid-19
sebagai rekayasa atau konspirasi sama sekali tidak produktif dan juga tidak
menyelesaikan masalah.
Virus Corona mewabah dan merenggut banyak nyawa
manusia di negara-negara kaya hingga negara paling miskin sekalipun. Amerika
Serikat (AS) yang adi daya itu bahkan mencatatkan jumlah kasus terbanyak dan
korban jiwa terbanyak. Memasuki Oktober 2020, wajah Eropa pun kembali suram
karena banyaknya bermunculan klaster baru Covid-19 di berbagai negara di Benua
Biru itu.
Daripada berwacana tentang rekayasa atau konspirasi,
lebih produktif dan solutif jika semua orang yang peduli memaknai data tentang
jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri maupun jumlah kasus di seluruh dunia.
Lebih dari satu juta orang telah meninggal dunia karena penyakit Covid-19. Dengan
memaknai data kasus Covid-19, semua orang akan terdorong untuk mencari solusi.
Saling menyalahkan atau menuduh pemerintah lamban
mengantisipasi penularan Covid-19 juga tidak solutif. Tak satu orang pun atau
satu negara pun yang tahu cara paling efektif menghentikan penularan virus ini.
Pun tak ada teknologi canggih kekinian yang bisa diandalkan untuk mengeliminasi
virus ini. Virus Corona memiliki akses jelajah penularan karena ketidaktahuan
semua orang sejak awal pandemi.
Karena ketidaktahuan itu, dan juga karena alasan
begitu sulitnya mengatur perilaku miliaran orang untuk menaati protokol
kesehatan, semua orang akhirnya hanya berharap pada hadirnya vaksin Corona. Di
penghujung 2020 nanti, rangkaian proses uji klinik vaksin Corona diperkirakan
tuntas, sehingga vaksinasi untuk mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity)
dijadualkan realisasinya pada kuartal pertama 2021.
Vaksinasi corona pun belum menyelesaikan keseluruhan
masalah. Setelah vaksinasi itu, banyak negara, termasuk Indonesia, pun harus menata
lagi perekonomian yang pondasinya nyaris rusak berat karena pandemi Covid-19.
Vaksinasi yang sukses mewujudkan herd immunity akan membuka ruang bagi
prosespemulihan semua mesin perekonomian. Sebab, sukses vaksinasi akan
menghilangkan rasa takut sehingga semua orang lebih percaya diri untuk memulai
lagi kegiatan-kegiatan produktif. []
SINDONEWS, 30 Oktober 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar