Senin, 09 November 2020

Khofifah: Menguatkan Persatuan dan Menghormati Perbedaan

Menguatkan Persatuan dan Menghormati Perbedaan

Oleh: Khofifah Indar Parawansa

 

DUA momentum penting yang saling berimpitan jatuh di akhir Oktober. Hari Sumpah Pemuda dan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keduanya memiliki makna yang luar biasa.

 

Hari Sumpah Pemuda merupakan cikal bakal tumbuhnya persatuan dan kesatuan di Indonesia. Kesamaan tekad para pemuda Indonesia. Jong Java, Jong Sumatera, Jong Betawi, dan beberapa organisasi pemuda lainnya menggelar kongres. Mereka menyatakan tiga ucapan. Bertumpah darah yang satu tanah Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

 

Sejak saat itu persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tumbuh. Pernyataan yang dicetuskan para pemuda. Momentum yang menjadi kebanggaan. Bukti betapa pemuda memiliki pengaruh yang luar biasa di tengah masa penjajahan.

 

Tentu perjuangan untuk menyatukan tekad itu tidak mudah. Bisa dibayangkan, perbedaan daerah dengan beragam karakter bisa menyatu. Masing-masing mengesampingkan ego dan fanatisme kedaerahan. Itu dilakukan untuk mewujudkan satu kekuatan bersama. Satu tekad bersama meraih kemerdekaan.

 

Tiga pernyataan tersebut menjadi amanah yang harus dijaga hingga sekarang. Persatuan yang membalut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hari Sumpah Pemuda ditetapkan pemerintah bukan sekadar peringatan kongres yang berlangsung pada 1928 itu. Tapi, ada makna yang patut dipahami.

 

Yakni sebagai reminder atau pengingat semua orang. Bahwa dulu ada pemuda-pemuda yang atas inisiatif sendiri berjuang mewujudkan persatuan itu. Sepatutnya, masyarakat Indonesia memahami jerih payah pemuda di masa itu. Cara memahami yang cukup sederhana, menjaga agar persatuan dan kesatuan ini tetap utuh.

 

Perbedaan memang sebuah kepatutan. Pada zaman Rasulullah, ada cerita yang mengulas penempatan Hajar Aswad. Kala itu Rasulullah masih berusia 30 tahun. Beliau berhadapan dengan konflik antarsuku memperebutkan siapa yang pantas meletakkan Hajar Aswad.

 

Untuk menghentikan konflik, peletakan batu dipasrahkan kepada Rasulullah. Dan Rasulullah yang mendapat kesempatan itu tidak egoistis. Beliau meminta kain, lalu mempersilakan perwakilan dari masing-masing golongan untuk memegang ujung kain tersebut.

 

Selanjutnya, Rasulullah meletakkan batu pada kain itu. Perwakilan golongan tersebut kemudian membawa batu yang diletakkan di tengah kain itu. Ide yang sangat mulia. Tidak ada yang merasa tersisih dan masing-masing merasa mendapat kesempatan. Teladan yang patut ditiru.

 

Rasulullah saat itu dalam usia yang masih muda, tapi tidak egoistis. Beliau lebih mementingkan persatuan umat. Pembelajaran luar biasa di masa itu. Tak ayal, Michael Hart, penulis tersohor asal Amerika Serikat, menempatkan Nabi Muhammad sebagai 100 orang berpengaruh sepanjang masa. Bahkan, lelaki yang pernah menjadi guru besar astronomi dan fisika di Universitas Maryland, AS, tersebut menempatkan Nabi Muhammad di urutan paling atas.

 

Kelahiran Nabi Muhammad juga kerap disebut sebagai akhir zaman jahiliah (zaman kebodohan). Kala itu orang tua malu ketika memiliki anak perempuan. Alasannya, anak perempuan tidak bisa berperang. Memiliki anak perempuan adalah aib.

 

Banyak kejadian orang tua kecewa ketika anak yang lahir dari rahim sang istri itu berjenis kelamin perempuan. Tak jarang mereka membunuhnya. Karena itu, banyak bayi perempuan yang tidak selamat. Kalaupun selamat, kelak anak perempuan tersebut menjadi pemuas nafsu kaum lelaki.

 

Kelahiran Rasulullah memberikan harapan baru. Peradaban yang dibawa putra Abdullah dan Aminah itu membuka pemikiran orang pada zaman jahiliah. Kesetaraan gender diperkuat. Penilaian orang terhadap perempuan pun kembali seperti semula. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan pun tak lagi diperdebatkan.

 

Tentu, pembentukan karakter seperti Nabi Muhammad tidaklah mudah. Beliau merupakan nabi terakhir. Rasul Allah. Setiap jejak langkahnya dimaksum atau dijaga oleh Allah. Tapi, setidaknya umat Islam patut meneladani perilaku Rasulullah.

 

Masih banyak cerita lain tentang keteladanan Rasulullah. Misalnya, di masa usia 12 tahun, Rasulullah ikut Abu Thalib (pamannya) berdagang ke negeri Syam. Pada kesempatan itu, Rasulullah belajar tentang kewirausahaan. Sisi lain yang patut ditiru kelompok milenial di masa kini. Memanfaatkan masa muda untuk berkarya, berinovasi, dan memupuk bekal masa depan. Pemuda yang mandiri bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Sesuai sabda Rasulullah: ”Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain.”

 

Bisa jadi, ada hikmah ketika Hari Sumpah Pemuda berimpitan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Allah mengingatkan umat Islam di Indonesia pada dua momentum yang bersejarah itu. Sumpah Pemuda mengingatkan untuk tetap menjaga serta menguatkan persatuan dan kesatuan. Maulid Nabi Muhammad mengingatkan umat Islam untuk senantiasa meneladani perilaku Rasulullah. Wallahu a’lam bish-shawab. []

 

JAWA POS, 29 Oktober 2020

Khofifah Indar Parawansa | Gubernur Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar