Muhammad shalallhu ‘alaihi wa sallam tidak begitu saja hadir dan lahir menjadi nabi terakhir (khatamun nabiyyin) yang diutus oleh Allah SWT. Cahaya dan ruh Muhammad diciptakan oleh Allah sebelum Dia menciptakan alam semesta, dunia, akhirat, dan seisinya.
Ulama Tafsir Indonesia, Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000) memaparkan bahwa telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, para nabi telah pernah diangkat janjinya untuk percaya dan membela Nabi Muhammad SAW.
"Dan ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dan para Nabi, 'Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) yang membenarkan kamu, niscaya kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya dan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku yang demikian itu?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.'" (QS Ali 'Imran [3]: 81)
Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Demi (Allah) yang jiwaku berada pada genggaman-Nya, seandainya Musa as hidup, dia tidak dapat mengelak dan mengikutiku." (HR Imam Ahmad) Tidak jelas kapan dan bagaimana perjanjian yang disinggung ayat tersebut. Setidaknya, ia mengisyaratkan bahwa Allah SWT telah merencanakan sesuatu untuk Nabi Muhammad SAW, jauh sebelum kelahiran beliau.
Karena itu pula, sementara pakar menyatakan bahwa kematian ayah beliau sebelum kelahiran, kepergiannya ke pedesaan menjauhi ibunya, serta ketidakmampuannya membaca dan menulis merupakan strategi yang dipersiapkan Tuhan kepada beliau untuk dijadikan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia kelak.
Bahkan ulama lain meyakini bahwa pemilihan hal-hal tertentu berkaitan dengan beliau bukanlah kebetulan. Misalnya bulan lahir, hijrah, dan wafatnya pada bulan Rabi'ul Awal (musim bunga). Nama beliau Muhammad (yang terpuji), ayahnya Abdullah (hamba Allah), ibunya Aminah (yang memberi rasa aman), kakeknya yang bergelar Abdul Muththalib bernama Syaibah (orang tua yang bijaksana), sedangkan yang membantu ibunya melahirkan bernama Asy-Syifa' (yang sempurna dan sehat), serta yang menyusukannya adalah Halimah As-Sa'diyah (yang lapang dada dan mujur).
Semuanya mengisyaratkan keistimewaan berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Makna nama-nama tersebut memiliki kaitan yang erat dengan kepribadian Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an surat Al-A'raf [7]: 157 juga menginformasikan bahwa Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya dikenal oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini antara lain disebabkan mereka mendapatkan (nama)-nya tertulis di dalam Taurat dan Injil (QS Al-A'raf [7]: 157).
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-A’raf: 157)
Menurut pakar agama Islam, yang ditegaskan oleh Al-Qur’an itu, dapat terbaca antara lain dalam Perjanjian Lama, Kitab Ulangan 33 ayat 2:
"...bahwa Tuhan telah datang dari Torsina, dan telah terbit untuk mereka itu dari Seir, kelihatanlah ia dengan gemerlapan cahayanya dari gunung Paran."
Pemahaman mereka berdasarkan analisis berikut: "Gunung Paran" menurut Kitab Perjanjian Lama, Kejadian ayat 21, adalah tempat putra Ibrahim -yakni Nabi Ismail- bersama ibunya Hajar memperoleh air (Zam-Zam).
Ini berarti bahwa tempat tersebut adalah Makkah, dan dengan demikian yang tercantum dalam Kitab Ulangan di atas mengisyaratkan tiga tempat terpancarnya cahaya wahyu Ilahi: Thur Sina tempat Nabi Musa as, Seir tempat Nabi Isa as, dan Makkah tempat Nabi Muhammad SAW. Sejarah membuktikan bahwa beliau satu-satunya Nabi dari Makkah.
Karena itu pula wajar jika Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 146 menyatakan bahkan mereka itu mengenalnya (Muhammad SAW), sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka, bahkan salah seorang penganut agama Yahudi yang kemudian masuk Islam, yaitu Abdullah bin Salam pernah berkata, "Kami lebih mengenal dan lebih yakin tentang kenabian Muhammad SAW daripada pengenalan dan keyakinan kami tentang anak-anak kami. Siapa tahu pasangan kami menyeleweng." []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar