Ilmuan Muslim Populer di Barat (7)
Al-Fazari
Oleh: Nasaruddin Umar
Al-Fazari yang bernama lengkap Abu Abdallah Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari, belum terdeteksi tempat kelahirannya. Ada sumber mengatakan orang Arab hijrah ke Persia ada juga mengatakan orang Persia. Akan tetapi di dalam ensiklopedia ia dikategorikan sebagai ilmuan Persia. Tanggal kelahirannya juga belum disepakati dan tahun wafatnya ada dua versi. Yang pertama menganggap ia wafat tahun 796M dan lainnya tahun 806M.
Ia termasuk salahseorang ilmuan muslim abad pertengahan yang menggores sejarah keilmuan, terutama dengan penemuannya yang sangat menakjubkan, yaitu Astrolabe, sebuah alat pengukuran secara spesifik dengan menggunakan sistem peralatan tertentu di dalam menyelesaikan problem yang berhubungan dengan waktu dan posisi matahari, bulan, dan bintang. Astrolabe sesungguhnya bagian dari astronomi, bidang kajiannya hampir sama, hanya saja astrolabe lebih spesifik dan dapat dikatakan bagian dari astronomi dalam arti umum. Astrolabe lebih operasional dan lebih praktis. Astrolabe ini kemudian dikembangkan di dalam program ilmu computer yang sekarang ini semakin canggih, seperti Astrolabe Planispheris.
Sebuah sumber menyebutkan bahwa jumlah Astrolabe pada
abad ke 12 sudah berjumlah 800 buah bertebaran di sejumlah negeri muslim. Konon
salahsatu di antaranya dimiliki seorang pengembara sekaligus ilmuan Bugis
Makassar bernama Karaeng Pattingalloang. Sayang alat ini hancur dalam perang
saudara antara kerajaan Bugis dan kerajaan Makassar. Bisa dibayangkan betapa
hebatnya Al-Fazari, 1500 tahun lalu sudah mampu menemukan system dan sekaligus
membuat alat Abstrolabe yang tingkat akurasinya sangat tajam dan rigit.
Astrolabe yang ada saat ini hanya pengembangan-pengembangan dalam bentuk
asessoris, yang sesungguhnya perinsip dan system kerjanya sama dengan temuan
Al-Fazari.
Temuan Astrolabe Al-Fazari membantah teori Barat yang
mengatakan Zaman Renaisans adalah zaman pencerahan (enlightenment) yang
seolah-olah sebelumnya abad kegelapan dan abad identic kebodohan, miskin
peradaban. Kalau itu dibatasi di Barat, mungkin itu benar. Akan tetapi kalau
digenaralisir tidak benar, karena sebelum Renaissans dunia Islam sudah mencapai
peradaban tinggi, sebagaimana disebutkan dalam beberapa artikel terdahulu.
Bahkan bisa dikatakan bahwa roh renaissans sesungguhnya adalah roh Islam, karena
lahirnya renaissans disemangati oleh kemajuan Timur (Islam) dan masih gelapnya
peradaban Barat saat itu.
Perbedaan mendasar antara peradaban Islam (abad
pertengahan) dengan Renaissans Barat terletak pada kenyataan bahwa dalam
peradaban Islam disemangati oleh unsur spiritual tauhid, sedangkan Renaissans
disemangati oleh rasionalisme. Pradaban yang yang disemangati oleh
spiritualitas tentu akan lebih dirasakan manfaatnya oleh manusia dan dunia
kemanusiaan. Akan tetapi peradaban yang disemangati oleh rasionalisme akan
terjebak pada faham antropocentris, yang hanya akan memenuhi harapan dan
kebutuhan matrial mahusia, tidak dengan wilayah spiritualnya. Tidak heran jika
zaman positivisme di Barat berlalu dengan cepat, karena terbuti teriakan Ensten
bahwa: Ilmu tanpa agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh. Ini artinya peradaban
yang benar ialah: Iqra' bi ismi Rabbik, peradaban yang berketuhanan.
Al-Fazari termotivasi untuk mengembangkan Astrolabe
oleh pandangan hidupnya sebagai seorang muslim, yang setiap saat harus
menunaikan shalat kapan pun dan di anapun. Karena itu, untuk menentukan arab
kiblat, penentuan waktu-waktu shalat, dan menentukan tgl 1 Ramadhan untuk mulai
berpuasa, dll, diperlukan alat-alat yang canggih seperti Astrolabe, meskipun
kegunaannya bukan sekedar itu. []
DETIK, 26 Juli 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar