Puasa dalam Agama Humanistis
Oleh: Siti Musdah Mulia
SEJUMLAH studi menjelaskan corak keagamaan masyarakat dapat
dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoriter dan agama humanistis.
Agama humanistis selalu mengajari pemeluknya agar memandang manusia dengan
pandangan positif dan optimistis serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang
penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat
memilih agama yang diyakini benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya
agar mampu memahami diri sendiri untuk membangun relasi positif dan konstruktif
dengan sesama manusia serta menjaga kelestarian alam semesta.
Sebaliknya, agama otoriter memandang manusia dengan pandangan
negatif, makhluk penuh dosa, dan tidak punya pilihan bebas, tak berdaya, tak
berarti, dan serbadependen. Manusia hanya bisa pasrah secara mutlak kepada
Tuhan. Ketaatan menjadi amal utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa
paling besar. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan
integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa
keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan.
Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan dalam implementasinya diwujudkan
dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan. Jadi, sebetulnya mereka taat kepada
manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan pada Tuhan yang
sesungguhnya. Tidak mengherankan jika pengikutnya sangat bergantung pada
pemimpin dan sangat loyal pada organisasi. Agama otoriter selalu melahirkan
bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme. Pemimpin kelompok ini sangat
mungkin berlaku sewenang-wenang dan pengikutnya pun mampu melakukan kekerasan
dan kekejaman. Lagi-lagi atas nama Tuhan dan atas nama agama. Mengerikan!
Agama humanistis mendorong kepada sikap mencari kebenaran secara
tulus dan murni (hanafiyyah, kehanifan). Ini sikap keagamaan yang benar, yang
menjanjikan kebahagiaan sejati dan tidak bersifat menghibur secara semu dan
palsu seperti halnya kultus dan fundamentalisme. Nabi menegaskan sebaik-baik
agama di sisi Allah ialah al-hanafiyyah al-samhah, yaitu semangat mencari
kebenaran yang lapang, tidak sempit, toleran, bersifat pluralistis tanpa
kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
Beberapa hadis berikut menjelaskan kecaman Nabi SAW terhadap
sahabatnya yang fanatik dan ekstrem dalam kehidupan keagamaan. Diriwayatkan
bahwa istri 'Utsman bin Mazh'un berkunjung ke rumah para istri Nabi dan mereka
melihat istri Utsman dalam keadaan mencemaskan. Istri Nabi bertanya, “Apa yang
terjadi dengan dirimu? Tidak ada di kalangan kaum Quraysh orang yang lebih kaya
dari suamimu!” Ia menjawab, “Saya dan anak-anak tidak mendapat apa-apa dari dia.
Sebab, jika malam dia beribadat dan siang hari dia berpuasa!.
Mereka pun masuk kepada Nabi dan menceritakan hal itu. Nabi pun
menemui 'Utsman bin Mazh'un dan bersabda, “Hai 'Utsman! Tidakkah padaku ada
contoh bagimu?” Dia menjawab, “Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian.” Lalu
Nabi bertanya, "Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan beribadat
sepanjang malam?” Dia menjawab, “Aku memang melakukannya.” Nabi bersabda,
“Jangan kau lakukan! Sesungguhnya matamu punya hak dan keluargamu pun punya hak
atas engkau! Maka salat dan tidurlah, puasa dan makanlah!.
Kemudian diceritakan bahwa 'Utsman bin Mazh'un membeli sebuah
rumah, lalu tinggal di dalamnya sepanjang waktu untuk beribadah. Berita itu
datang kepada Nabi SAW, maka beliau pun datang dan menariknya ke luar rumah
sambil bersabda, “Wahai 'Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutus aku
dengan ajaran kerahiban.” Nabi mengulang kalimat itu dua atau tiga kali, lalu
bersabda, “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanafiyyah
al-samhah, semangat pencarian kebenaran yang lapang dan toleran.”
Suatu ketika Nabi SAW mendengar berita bahwa segolongan sahabat
menjauhi perempuan dan menghindari makan daging. Maka Nabi pun memberi
peringatan keras dan bersabda, “Sesungguhnya aku tidak diutus dengan membawa
ajaran kerahiban! Sesungguhnya sebaik-baik agama ialah semangat pencarian
kebenaran yang lapang dan toleran.
Nabi selalu menegaskan bahwa beliau tidak diutus untuk mengajarkan
kerahiban atau monastisisme, yaitu sikap mengingkari kewajaran atau hidup
dengan cara yang ekstrem dan menganiaya diri sendiri. Mengapa kerahiban dikecam
dalam Islam? Sebab, kerahiban dapat berjalan sejajar dan berimpit dengan
kefanatikan, keekstreman, dan sikap-sikap pembelengguan diri orang
bersangkutan, dan mungkin tanpa disadarinya. Sikap seperti itu adalah bentuk
pengamalan keagamaan yang tidak wajar, tidak alami, dan tidak sejalan dengan
fitrah manusia, serta berakibat pengingkaran hak kemanusiaan diri dan orang
lain.
Tidak salah jika Eric Fromm, selaku psikoanalis, memandang bahwa
kesehatan jiwa tergantung sikap pemihakan kepada kebenaran secara tulus tanpa
pembelengguan diri, dan semangat cinta kasih kepada sesama manusia. Tentu saja
hal ini akan sulit dicapai kecuali dalam agama humanistis. Agama humanistis didasarkan
atas kepercayaan adanya Tuhan Yang Mahakasih dan Mahasayang. Sifat Mahakasih
dan Mahasayang (al-Rahman dan ar-Rahim) adalah sifat kebenaran mutlak (Tuhan)
yang paling banyak disebutkan dalam Alquran. Dalam banyak hadis, Nabi
mengatakan hendaknya kita mencontoh akhlak Tuhan Mahakasih dan Mahasayang. Jadi
cinta kebenaran adalah juga cinta kepada Yang Mahacinta dan pada gilirannya
membawa kita cinta sesama manusia.
Karena itulah, dalam hadis di atas, Nabi SAW menegur 'Utsman bin
Mazh'un karena telah menelantarkan tidak saja dirinya, tapi juga keluarganya.
Logikanya, jika seseorang memang mempunyai hubungan cinta kepada Tuhan (hablun
minallah), seharusnya dia juga mempunyai hubungan cinta sesama manusia (hablun
minannas), dua nilai hidup yang bakal menjamin keselamatan manusia,
dunia-akhirat.
Kita harus memiliki pandangan positif dan konstruktif kepada
sesama manusia. Pandangan positif seperti ini hanya ada dalam agama humanistis,
bukan pada agama otoriter yang selalu melihat manusia penuh dosa dan memandang
Tuhan sebagai Mahapenyiksa. Islam mengajari manusia pada dasarnya baik (QS
al-Tiin, 95:4), sebab manusia diciptakan dalam fitrah atau kejadian asal yang
suci-bersih.
Kejahatan pada manusia, yaitu keadaan menyimpang dari fitrahnya
yang suci-bersih, harus dipandang sebagai sesuatu yang datang dari luar,
khususnya dari pengaruh lingkungan budaya. Karena itu, Nabi melukiskan setiap
anak lahir dalam kesucian fitrahnya dan kedua orangtuanyalah yang menbuatnya
menyimpang dari fitrah itu, yang membuatnya berpandangan komunal dan sektarian,
yang membelenggu dan membatasi kebebasannya.
Semangat keterbukaan dalam beragama itu sejalan dengan dimensi
kerohanian dan kecintaan llahi sebagaimana dikembangkan sufi terkenal lbn
'Arabi. Ajaran ini dikembangkan demi mengonter paham keagamaan yang
formalistis-ritualistis serta literalisme kosong. Selanjutnya, lbn 'Arabi
mengajarkan agar kita menghayati makna salat sebagai penyatuan roh dengan
Allah. Menghayati zakat sebagai penyatuan diri dengan kemanusiaan. Menghayati
haji sebagai penyatuan seseorang dengan seluruh umat dan menghayati puasa
sebagai media pendekatan diri kepada Allah sekaligus membangun empati kepada
yang kelaparan.
Karena itu, puasa Ramadan tahun ini hendaknya menumbuhkan semangat
al-hanafiyyah al-samhah dalam kehidupan umat Islam sehingga dapat mengembangkan
dimensi sosial Islam untuk mewujudkan pemerataan distribusi kekayaan kepada
mereka yang lapar dan kelompok tertindas. Puasa harus dapat menghidupkan
kembali jiwa kritis Islam demi menemukan solusi terbaik bagi problem
kemanusiaan yang dihadapi masyarakat. Puasa harus dapat menghidupkan kembali
semangat ijtihad yang menurut Muhammad Iqbal satu-satunya jalan menyembuhkan
Islam dari penyakit paling parah, yaitu taklid buta. Iqbal menyebut sikap
bertaklid sebagai 'membaca Alquran dengan penglihatan orang mati'.
Terakhir, semoga puasa kali ini menyadarkan kita tentang
pentingnya mengubah program pengajaran agama sehingga formalisme dan
literalisme keagamaan yang kering dan gersang diakhiri. Puasa harus mampu
mengakhiri mentalitas isolatif dan membuka diri untuk kerja sama dengan
pihak-pihak lain mana pun dari kalangan umat manusia, dalam semangat perlombaan
penuh persaudaraan, meskipun dengan mereka yang berbeda agama. Itu guna meruntuhkan
sistem-sistem tirani dan totaliter. Hanya dengan cara itu, Islam akan tampil
memerankan dirinya sebagai faktor kunci yang membawa demokratisasi,
modernisasi, dan sivilisasi bangsa. Wallahu a'lam bi al-shawab. []
MEDIA INDONESIA, 8 June 2017
Siti Musdah Mulia | Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar