Bagaimana Memopulerkan Orang Mampu
Oleh: Dahlan Iskan
MEREALISASIKAN ide Presiden SBY ”agar yang mampu menjadi populer
dan kemudian terpilih” memang tidak mudah. Juga tidak murah. Tidak bisa cepat
pula. Meski kalau ide itu bisa dilaksanakan secara sukses bisa menutupi salah
satu sudut kelemahan sistem demokrasi kita, nyatanya ada hambatan dalam
perjalanannya.
Apalagi, jalan yang ditempuh adalah jalan sempit. Jalan partai.
Partai Demokrat. Dengan gaya berjalan yang berliku pula.
Ketika Presiden SBY menemukan ide brilian untuk mengatasi problem
”yang mampu belum tentu terpilih dan yang terpilih belum tentu mampu”, memang
tidak diungkapkan cara apa yang akan ditempuh untuk membuat yang dianggap mampu
itu bisa menjadi populer. Setidaknya saya belum pernah mendengarnya. Mungkin
sebenarnya SBY sudah menemukan jalan itu, hanya saja sengaja tidak diumumkan.
Mungkin juga SBY belum menemukannya. Mungkin juga ada pemikiran
terserah saja siapa yang akan melaksanakan ide tersebut. Yang penting, SBY
sudah menemukan ide untuk mengatasi kelemahan sistem demokrasi tersebut. Satu
kelemahan yang bisa merugikan bangsa yang demokrasinya masih muda ini.
Bahwa nama-nama 10 besar yang oleh hasil riset dianggap mampu
memimpin Indonesia itu tidak pernah diumumkan, sangat bisa dimaklumi. Namun,
masyarakat menjadi tidak tahu bahwa sebenarnya ada banyak pilihan untuk masa
depan Indonesia.
SBY sendiri akhirnya terlihat punya cara. Yakni dengan
menyelenggarakan konvensi di partainya, Partai Demokrat. Di sini, ide awal yang
brilian tersebut menemukan jalan yang menyempit. Dari ide yang berskala
nasional menjadi program yang berskala partai. Jalan partai itu ternyata juga
terjal.
Tentu hak SBY sepenuhnya untuk memilih jalan itu. Ide brilian
tersebut adalah idenya sendiri. Riset untuk menemukan tokoh yang dianggap mampu
itu juga atas inisiatifnya sendiri. Dan, atas biayanya sendiri. Maka, hak SBY
juga untuk mewujudkannya dengan jalan yang dia pilih.
Keterjalan berikutnya muncul: Beberapa orang yang masuk 10 besar
tersebut ternyata menghindar. Di antara mereka, ada yang tidak mau memenuhi
undangan Partai Demokrat untuk ikut konvensi. Salah satunya adalah Prof Dr
Mahfud MD.
Saya tidak tahu apa alasan resmi Prof Mahfud yang disampaikan
kepada Pak SBY. Tapi, kepada saya, Pak Mahfud mengirim SMS. Juga melakukan
pembicaraan lewat telepon. SMS itu sangat mengesankan untuk saya. Karena itu,
sempat saya simpan selama dua tahun. Sebelum akhirnya hilang bersamaan dengan
rusaknya handphone saya.
Yang jelas, Pak Mahfud tidak pernah secara resmi beralasan karena
nama Partai Demokrat lagi hancur saat itu. Akibat skandal korupsi yang sangat
dramatis itu. Pak Mahfud kelihatannya mempunyai jalan sendiri. Seraya
membesarkan hati saya dan memberikan dukungan kepada saya. Publik tahu jalan
apa yang saat itu sedang ditapak Pak Mahfud. Hanya, belakangan, akhirnya,
ternyata publik tahu bahwa Pak Mahfud juga menemukan jalan yang penuh dengan
labirin.
Masih ada beberapa nama lagi yang menolak undangan untuk ikut
konvensi calon presiden dari Partai Demokrat itu. Saya tidak perlu
menyebutkannya di sini karena saya tidak tahu persis alasan mereka.
Penolakan dari beberapa nama besar itulah yang membuat perjalanan
ide yang awalnya brilian tersebut kian jauh dari ideal. Beberapa nama yang
sebenarnya tidak tercantum dalam 10 besar hasil riset dimasukkan sebagai
peserta konvensi. Publik tidak diberi tahu apa kriteria yang dipakai untuk
menentukan keikutsertaan si A atau si B dalam konvensi itu.
Tentu masih banyak faktor lain yang membuat perjalanan ide brilian
tersebut tidak berhasil membuat yang mampu bisa terpilih. Bahkan jauh dari itu.
Faktor-faktor tersebut bisa ditulis menjadi satu buku tersendiri. Dan, saya
sudah selesai menulis buku tentang semua itu meski belum tentu akan saya
terbitkan.
Toh, publik akhirnya tahu bagaimana ending perjalanan ide brilian
tersebut. Akhir perjalanan ide itu ibarat sebuah kehamilan yang aneh:
melahirkan tidak, keguguran juga tidak. []
JAWA POS, 07 May 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar