Komunalisasi Ruang Publik
Oleh: Komaruddin Hidayat
Menurut cita rasa bahasa, kata 'Indonesia' merujuk pada
letak dan kondisi geografis, yaitu sederet pulau di lautan India, bukan
menunjuk sebuah entitas bangsa. Pernyataan ini lebih mudah dipahami dengan
membuat perbandingan, misalnya Turki, nama bangsa dan negaranya adalah
identik. Atau bangsa dan negara Korea, keduanya juga identik. Sementara
kata Indonesia jika dimaksudkan sebagai sebuah bangsa, yang namanya
bangsa Indonesia masih dalam proses menjadi Indonesia atau mengindonesia.
Sebuah cita-cita politik yang memerlukan perjalanan panjang dan berliku.
Melihat geneologi bangsa dan negara Indonesia, Indonesia merupakan
proyek politik dari warga masyarakat serta pemimpin daerah yang tinggal dan
tersebar di Nusantara ini untuk meraih kemerdekaan dari cengkeraman penjajah.
Indonesia merupakan rumah besar yang elemen-elemen bangunan dan
kamar-kamarnya terdiri dari sekian ragam etnis, budaya dan agama yang sepakat
tegak berdiri saling bergandeng tangan, saling menjaga dan memperkokoh yang
lain.
Hidup berdaulat, merdeka dan sejahtera merupakan cita-cita
dan tekad utama yang mendasari berdirinya Republik Indonesia. Oleh karena itu,
moto Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar menggambarkan pluralitas suku, bahasa,
dan agama penduduk Nusantara, tetapi sebuah janji dan komitmen politik yang
harus dipenuhi oleh pemerintah dan negara untuk melindungi serta memupuk pohon
kebinekaan itu.
Wilayah yang diperebutkan
Moto Bhinneka Tunggal Ika dan kesepakatan Pancasila sebagai
pedoman hidup berbangsa dan bernegara juga merupakan bukti sejarah dan janji
politik agar Indonesia tak dikuasai dan dimiliki ideologi primordial, komunal,
dan kesukuan karena jika hal itu terjadi pasti Indonesia akan gaduh, kehilangan
ruh dan mengingkari jati dirinya dengan ongkos sosial, ekonomi, dan politik
teramat mahal.
Langkah paling logis dan strategis adalah memenuhi janji untuk
menjaga keutuhan berbangsa serta menyejahterakan warganya secara merata karena
merekalah pemilik sejati Tanah Air Indonesia. Pemerintah dan negara mesti
menindak tegas serta menghalau terhadap predator dengan berbagai macam
bentuk, rupa, kostum, dan modus yang merampas hak-hak rakyat serta mau
menggergaji tiang negara.
Sejak dulu wilayah Nusantara ini memang selalu menjadi
daerah yang diperebutkan (contested zone) oleh kekuatan asing. Kekuatan
asing mana yang tidak tertarik untuk datang dan menguasai wilayah yang indah,
makmur dengan sumber alamnya kaya raya ini?
Oleh karena itu, konsep Indonesia asli itu tidak mudah dicarikan
akar tunggangnya secara otentik. Bahkan, agama-agama besar yang diakui oleh
negara pun semuanya agama pendatang. Meminjam bahasa bisnis, semuanya adalah
agama impor. Kalaupun ada agama asli Indonesia, barangkali berupa
kepercayaan dan tradisi lokal yang masih bertahan di sejumlah daerah yang
posisinya pun semakin tergusur. Akan tetapi, memang demikianlah yang terjadi,
di tingkat global pun migrasi penduduk lintas bangsa, agama, dan negara semakin
intens.
Hal ini bisa memperkaya peradaban sebuah bangsa, tetapi bisa juga
malah menimbulkan persoalan baru, seperti ekses eksodus kurban peperangan di
Timur Tengah yang mencari suaka ke Eropa. Sejumlah pelaku teroris
diidentifikasi sebagai warga imigran.
Bangsa-bangsa yang dulu dikenal sebagai kapitalis, imperialis dan
agresor nalurinya tidak akan pernah mati. Yang berubah adalah modusnya. Namun,
mereka dihadapkan kenyataan sosial baru bahwa sekarang ini tak akan bisa sebuah
bangsa dan negara untuk maju dan kaya sendiri. Dalam diplomasi luar negeri,
kata kemandirian telah diubah menjadi kemitraan. Ketika ilmu pengetahuan,
teknologi dan demokrasi semakin mendunia, semua bangsa dipaksa untuk saling
kerja sama dan menghargai hak-hak bangsa lain. Naluri imperialisme mesti
berdamai dengan rasionalitas urgensi kerja sama antarbangsa. Kita hidup
dalam global network society.
Urgensi kerja sama dan nafsu kompetisi ini mengingatkan kita pada
teori Darwinisme sosial, survival of the fittest. Hanya mereka yang kuat
dan fit memasuki lingkungan baru yang bisa bertahan dan berkembang. Kalau ada
negara yang kaya sumber alamnya, tetapi tidak memperoleh perlindungan kuat,
pasti akan jadi mangsa negara kuat yang agresif.
Ini sudah dan masih berlangsung di berbagai belahan dunia,
termasuk di Indonesia. Sampai-sampai muncul istilah a natural curse. Kekayaan
sumber daya alam yang tidak memperoleh perlindungan dan pemanfaatan yang benar,
akan berbalik menjadi sumber malapetaka. Alam mengutuk balik penghuninya. Lihat
saja apa yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, dan beberapa daerah di Indonesia.
Yang menyedihkan adalah ketika terjadi persekongkolan kekuatan
asing dan oknum-oknum dalam negeri sebagai komprador. Lebih
menyedihkan lagi ketika oknum dalam negeri itu menggunakan instrumen negara
untuk merusak dan merampok kekayaan rakyat dan negaranya sendiri.
Politik komunalisme
Perkembangan dan perubahan politik yang berlangsung sedemikian
cepat, ditambah lagi pengguna media sosial (medsos) yang terus bertambah
membuat masyarakat mengalami gegar ledakan informasi, bingung, tidak bisa
membedakan antara berita sampah, hoaks, dan yang konstruktif-edukatif. Lewat
medsos siapa pun punya peluang yang sama untuk menulis menyampaikan
aspirasi dan opininya terhadap berbagai berita dan peristiwa yang terjadi.
Sedemikian penuh dan hiruk pikuk informasi dan opini di medsos
sehingga komunitas netizen cenderung berpikir fragmentaris dan eklektik tanpa
kedalaman. Bahasa medsos pun cenderung subyektif, like or dislike, bukannya
salah atau benar berdasarkan kajian dan perenungan mendalam.
Suasana gamang dan insecure, mendorong seseorang untuk
membangun afiliasi emosional dan imajiner dengan mereka yang memiliki gelombang
emosi yang sama. Afiliasi emosional ini akan menjadi semakin kental ketika
disatukan oleh kesamaan kepentingan dan identitas keagamaan sehingga pada
urutannya menimbulkan crowd mentality. Mental kerumunan. Ketika tampil figur
yang bisa menjadi lokomotif, komunitas netizen yang bermental kerumunan
ini bisa muncul sebagai kekuatan riil meskipun hanya sesaat karena bukan himpunan
massa yang organik.
Dalam sebuah pesta demokrasi, mental kerumunan ini mudah
dikapitalisasi dan direkayasa untuk sebuah tujuan politik jangka pendek.
Kehadiran medsos dan sosok pemimpin massa sangat instrumental untuk menjaring
dan menggalang emosi yang sama dalam menentukan sikap politik massa, meskipun
di situ tidak jarang terjadi proses manipulasi dan pembodohan.
Bahkan, organisasi semacam Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) pun
sangat sadar dan piawai melakukan propaganda sampai cuci otak (brain washed)
melalui medsos. Anak-anak muda yang tidak beruntung secara ekonomi dan dangkal
wawasan pengetahuan agamanya menjadi sasaran empuk propaganda gerakan NIIS dan
gerakan radikal sejenisnya.
Dalam konteks Indonesia yang penduduknya sangat beragam dan dari
sisi pendidikan serta ekonomi masih banyak yang kurang beruntung, mereka mudah
tertarik jika ada tawaran insentif berjihad mencari kemuliaan di jalan Tuhan
dan janji-janji perbaikan nasib. Di antara janji-janji yang ditawarkan itu
adalah mengganti ideologi dan sistem kenegaraan yang menerapkan demokrasi lalu
diganti sistem kekhalifahan. Pancasila dan demokrasi itu pemerintahan taghut,
berhala, kafir, mesti diganti. Atau setidaknya diterapkan sistem syariah,
tetapi syariahmenurut pemahaman mereka.
Tema-tema itu pantas diragukan, jangan-jangan hanya jargon
kosong dan pemikiran utopia karena yang sesungguhnya terjadi adalah perebutan
kekuasaan dan sumber daya ekonomi di kalangan elite yang kemudian
mengkapitalisasi sentimen komunalisme etnis dan agama. Menjadi semakin
complicated ketika kekuatan asing ikut bermain memperburuk suasana dengan
melatih para aktivis radikal dan menyuplai kebutuhan finansialnya.
Jika asumsi dan dugaan di atas benar, kita mesti bersiap-siap
mental mendekati Pemilu 2019 ini Indonesia akan semakin gaduh. Ekspresi
keagamaan yang garang yang akan lebih mengemuka, dan bukannya
keberagamaan yang sejuk dan mencerahkan untuk bersama-sama memajukan dan
menyejahterakan rakyat Indonesia. []
KOMPAS, 19 Juni 2017
Komaruddin Hidayat ; Dosen pada Fakultas
Psikologi UIN Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar