Keluar
dari Jebakan Rutinitas Ramadan
Oleh:
Nadirsyah Hosen
RITUAL tahunan itu telah datang. Bulan
suci telah tiba. Semua bergembira menyambutnya, dan tanpa sadar pola hidup kita
telah menyesuaikan diri dengan ritme bulan puasa. Tengoklah pola konsumsi kita,
hiburan di televisi, bahkan hiasan dan aksesori di pusat perbelanjaan pun
serentak mengulang rutinitas tahunan ini. Adakah yang berbeda dari puasa tahun
ini dibandingkan dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya?
Kahlil
Gibran pernah menulis: ”Cinta yang tak diperbarui setiap hari, ia akan menjelma
menjadi perbudakan.” Artinya, spirit cinta bisa lenyap ketika hanya disuguhi
menu yang sama, gerak langkah yang seragam, dan aktivitas yang itu-itu saja
bagai rutinitas belaka tanpa ada ruang untuk memperbarui spirit cinta. Kita
rasakan sendiri bagaimana hirup pikuk Ramadan begitu menggeliat di minggu
pertama, tapi perlahan meredup ketika kita telah terbiasa kembali menahan lapar
dan dahaga di minggu berikutnya. Contoh kecil: saf di masjid pun semakin
berkurang barisnya dibandingkan minggu pertama berpuasa.
Para ustad
yang memberikan kultum juga seolah hanya memutar ulang pita kaset isi ceramah
tahun-tahun sebelumnya. Sindrom ”kutiba” memeluk para ustad di bulan puasa.
Ayat yang dibaca selalu ayat yang sama, hadis yang disampaikan juga begitu.
Tentu tidak ada yang salah dengan kutipan ayat dan hadis tersebut, tapi jika
makna yang disampaikan selalu sama setiap Ramadan, jamaah pun sudah sama-sama
tahu apa yang disampaikan para ustad, karena nyaris setiap Ramadan isi kultum
telah menjadi rutinitas belaka.
Di sinilah
jebakan rutinitas terjadi. Puasa yang telah kehilangan spirit cinta Ilahi akan
menjelma menjadi kebiasaan seperti halnya menemui kemacetan di jalan raya
setiap hari. Awalnya terasa berat, tapi lambat laun menjadi hal biasa. Bahkan,
kalau ada yang mengomel karena macet, kita jadi kebingungan: ”bukankah macet
itu hal biasa!”. Ibadah Ramadan yang kehilangan spirit cinta Ilahi itu seperti
jebakan jalanan macet: mau tidak mau, Anda akan tetap menjalaninya karena itu
sudah menjadi hal biasa.
Lantas,
bagaimana caranya agar spirit cinta kita selalu diperbarui setiap hari di bulan
Ramadan? Bagaimana caranya hati kita bergetar setiap hari menyongsong fajar
saat memulai puasa kita?
Ada yang
menjawabnya dengan mengurung diri berkhalwat selama bulan Ramadan. Banyak kisah
para sufi dalam literatur keislaman yang bercerita bila Ramadan tiba,
kenikmatan dunia seolah berhenti dan para sufi mengisinya hanya dengan ibadah
semata. Buat kebanyakan orang, langkah itu tidak praktis karena kita memiliki
keluarga dan juga tanggung jawab mencari nafkah. Kita bukanlah para sufi yang
memang hubungannya dengan Allah sudah sedemikian khusus. Hanya orang tertentu
yang sanggup menjalani cara itu.
Ada pula
yang membuat formula beribadah dengan mengkhatamkan Alquran, salat malam, dan berbagai
macam amalan lainnya. Alhasil, mereka akan loyo dan kecapekan saat berangkat ke
kantor atau kampus akibat begadang selama bulan Ramadan. Produktivitas kerja
menjadi menurun, bos di kantor marah, atau dosen di kampus menjadi murka
melihat mahasiswa tertidur di kelas.
Ada yang
berusaha menemukan spirit cinta Ilahi dengan berbagi kepada sesama di bulan
puasa. Ada yang setiap sore memasak nasi, tempe, tahu dan sayur, lantas
dibungkus dan kemudian dibagikan secara cuma-cuma kepada mereka yang papa. Apakah
kaum papa itu berpuasa? Tidak penting. Yang penting mereka punya makanan untuk
berbuka. Siapa tahu mereka jadi tergerak untuk berpuasa karena kini yakin punya
makanan untuk berbuka.
Ada pula
yang tak sempat khataman Quran, tak sempat bangun malam, tak ada pula rezeki
lebih untuk berbagi, yang mereka lakukan hanyalah tetap berusaha menjalani
puasa semampu mereka. Kita temui mereka pada sudut kota yang terik, berdiri di
jalanan yang berdebu, mengais-ngais sisa makanan atau sekadar memetik gitar
atau menjajakan dagangannya.
Bisakah
kita menemukan spirit cinta Ilahi pada pedagang asongan, tukang parkir, tukang
becak, tukang sampah, maupun para pengamen jalanan? Ibn Athaillah mengingatkan
kita: rubbama wajadta min al-mazidi fi al-faqat ma la tajiduhu fi al-shaum wa
al-shalat. Boleh jadi seseorang akan memperoleh pengalaman batin dalam
penderitaan, apa yang tak bisa diperoleh dalam puasa dan shalat. Boleh jadi
Tuhan justru hadir pada mereka yang menderita dan telah ”berpuasa” sepanjang
tahun, dibanding kita yang hanya bepuasa di bulan Ramadan.
Ada yang
justru merajut kembali cinta Ilahi dengan memilih bekerja sebagaimana biasanya.
Rutinitas Ramadan bersatu padu dengan rutinitasnya setiap hari. Semuanya berada
dalam satu tarikan napas. Sementara pihak sedang iktikaf di masjid, dia malah
berjam-jam tengah mengoperasi pasiennya dalam status hidup dan mati. Sementara
orang tengah bertadarus, ada yang sibuk memahami ayat kauniyah dalam ruang laboratorium
dengan berbagai eksperimennya. Ayat-ayat-Nya hadir dalam tumpukan paper dan
berbagai bahan kimia di sekitarnya.
Untuk
orang seperti mereka itu, puasa Ramadan bukan menjadi rutinitas yang membuat
cintanya seolah menjadi perbudakan, tetapi telah menjadi bagian dari denyut
nadi kehidupannya. Tak lagi mereka pisahkan mana dunia dan mana akhirat; seolah
beribadah hanya melulu urusan akhirat, dan bekerja seolah hanya berorientasi
pada dunia. Pandangan mereka tentang dunia dan akhirat berbeda dengan kebanyakan
orang.
Sesuai
dawuh Kiai Ahmad Asrori (Allah yarham), dunia itu adalah segala sesuatu yang
memalingkan kita dari Allah (meskipun sedang beribadah). Sedangkan akhirat itu
adalah segala sesuatu yang membuat kita menuju Allah (meskipun sedang bekerja
mencari nafkah). Maka, merajut kembali spirit cinta Ilahi selama bulan Ramadan
dimulai dengan menata ulang cara pandang kita akan dunia dan akhirat.
Jangan-jangan kita terjebak pada rutinitas Ramadan itu karena kita keliru
memaknai mana yang duniawi dan mana perbuatan yang sifatnya ukhrawi.
Jika
khataman Quran dan salat malam serta kultum yang kita sampaikan itu justru
tidak membuat kita lebih dekat kepada-Nya, kita masih berada pada level
”duniawi”. Sebaliknya, jikalau pekerjaan dan aktivitas kita di kantor, kampus
atau jalan raya, membuat kita semakin merasakan kehadiran-Nya, spirit cinta
Ilahi sudah membawa kita pada level ”akhirat”.
Lantas,
bagaimana dengan mereka yang baik saat di masjid maupun berada di kantor, apa
pun aktivitasnya, baik zikir maupun pikir, selalu menjadi wasilah untuk
mendekat kepada Allah di bulan Ramadan ini? Mereka itulah yang berhasil keluar
dari jebakan rutinitas Ramadan. Mereka itulah yang selalu memperbarui spirit
cinta-Nya setiap hari. Mereka itulah yang memenuhi tujuan berpuasa, yaitu
menjadi orang yang bertakwa. Dan, bi idznillah, mereka itulah yang layak
mendapat kemuliaan malam seribu bulan. Semoga! []
JAWA POS,
03 Juni 2017
Nadirsyah
Hosen | Rais syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan dosen senior
Monash Law School
Tidak ada komentar:
Posting Komentar