Ormas Radikal dan Demokrasi yang Tersandera
Oleh: Nadirsyah Hosen
Demokrasi membuka ruang publik (public
sphere) seluas-luasnya, termasuk kepada mereka yang
menentangnya. Ini paradoks negeri Muslim yang baru memeluk demokrasi. Ketika
keran kebebasan dibuka, yang mengambil peran dan bersuara lantang justru mereka
yang kelak jika berkuasa akan secara perlahan membunuh demokrasi dengan menutup
keran kebebasan itu.
Sebelum tahun 1998 partai politik dibatasi tiga saja. Di awal
reformasi, keran demokrasi dimanfaatkan dengan berdirinya sejumlah partai
Islam, termasuk di dalamnya partai Islam yang kemudian hanya menjadi penggembira
saat pesta demokrasi. Mereka gagal meraih suara yang signifikan. Tidak mungkin
mereka dilarang berdiri atau dibubarkan. Maka dibuatlah mekanisme untuk
mengurangi peran mereka.
Hak berserikat mereka untuk mendirikan partai dijamin konstitusi,
namun mereka harus memenuhi berbagai persyaratan untuk bisa ikut pemilihan umum
atau menduduki kursi di Parlemen sesuai aturan legislasi. Pertama, lewat sistem
verifikasi oleh Kementerian Dalam Negeri untuk memenuhi syarat diakui sebagai
partai politik peserta pemilu.
Kedua, melalui mekanisme electoral
threshold di mana mereka yang tidak memenuhi ketentuan batas
minimal jumlah kursi di Parlemen tak bisa mendudukkan wakilnya di kursi DPR atau
tidak boleh ikut pemilu berikutnya. Meski belum sepenuhnya berhasil, demokrasi
Indonesia telah memiliki mekanisme sendiri untuk tidak tersandera oleh
partai-partai kecil. Secara bertahap ini mengurangi jumlah partai politik
peserta pemilu. Mekanisme ini sah secara legal dan demokratis.
Dalam kasus organisasi massa Islam kecil dan radikal, mekanisme
verifikasi itu sayangnya tidak ada. Sebelum 1998, pemerintah hanya mendengar
tiga ormas besar, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Tidak terdengar peran Front Pembela Islam (FPI), Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Forum Umat Islam (FUI) atau
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Ormas lain yang sejak dulu berdiri seperti Persatuan Islam
(PERSIS), Mathla’ul Anwar (MA), dan al-Washliyah di masa Orde Baru ikut
bergabung dengan MUI tapi tidak mendapat peran penting di kepengurusannya.
Era reformasi mengubah peta ormas Islam. Karena tidak mungkin
menembus NU dan Muhammadiyah yang sudah mengakar sejak sebelum Indonesia
merdeka, maka ormas kecil itu menempuh dua acara untuk diakui eksistensinya.
Pertama, mereka mendekat ke MUI. MUI di era reformasi berusaha melakukan
reposisi perannya, yaitu sebagai payung besar umat Islam Indonesia.
Dengan bergabung di MUI, ormas kecil yang baru muncul itu
tiba-tiba menjadi besar dengan bernaung di bawah payung MUI. Ormas kecil yang
sudah eksis sebelumnya pun meminta peran lebih di MUI sehingga mereka bisa
mengirimkan utusan mereka di pengurus harian maupun di berbagai komisi MUI.
Kepengurusan MUI menjadi sangat gemuk untuk bisa menampung mereka.
Kedua, menggalang aksi demo. HTI, misalnya, mengharamkan
demonstrasi karena bagian dari demokrasi yang mereka anggap batil. Namun,
kemudian mereka menggunakan istilah masiroh
untuk membenarkan aksi turun ke jalan. Masiroh
secara harfiah adalah “perjalanan”, baik dengan berjalan diam maupun dengan
mengumandangkan yel-yel tertentu. Lewat masiroh
itulah mereka bersama-sama membawa istri dan anak kecil ikut berdemonstrasi
untuk menarik perhatian media.
Begitu juga ormas kecil seperti FPI yang semula jumlahnya tidak
seberapa. Namun, lewat sejumlah aksi turun ke jalan dan aksi kekerasan atas
nama menegakkan nahi munkar, mereka
berhasil menyita perhatian media untuk selalu meliput kegiatan mereka.
Mekanisme untuk memverifikasi keberadaan mereka tidak ada. Gerakan
Tarbiyah yang telah menjelma menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) harus
menempuh mekanisme demokrasi untuk bertahan. Sejauh ini mereka masih bertahan
di Parlemen. Namun, ormas seperti FUI, FPI, HTI, dan MIUMI tidak menjadi partai
politik sehingga jumlah suara mereka tak bisa diukur. Mereka tidak lebih berupa
kerumunan yang bising. Buat mereka, itu cukup sebagai pressure groups (kelompok
penekan) semata.
Tidak pula ada mekanisme internal di kalangan umat untuk membatasi
ormas mana saja yang bisa ikut mengirim utusan menjadi pengurus di MUI. Selama
mereka berhasil diliput oleh media dan bisa show
of force (unjuk kekuatan) lewat aksi massa, maka seolah mereka sah
menjadi ormas yang mengatasnamakan suara umat Islam. Mereka seringkali bersuara
dan bertindak mengatasnamakan MUI.
Sejumlah ulama besar seperti KH Hasyim Muzadi (alm) dan KH Ma’ruf
Amin menyampaikan kepada saya bahwa strategi Islam moderat itu harus merangkul
ormas kecil dan radikal agar mereka dilembutkan dan dilunakkan sehingga tidak
lagi radikal. Membiarkan mereka terus menerus turun ke jalan akan dimanfaatkan
pihak lain menuju anarki. Membiarkan mereka di luar payung umat akan membuat
mereka semakin liar tak terkendali. Cara terbaik mengontrol mereka adalah
dengan mengakomodir mereka.
Semula saya menerima argumentasi kedua ulama besar kita di atas.
Namun, belakangan saya bertanya-tanya: setelah sekian lama merangkul ormas
kecil itu, benarkah sikap mereka telah melunak? Jangan-jangan justru para ulama
kita yang menjadi sedikit keras karena berupaya mengakomodir keinginan ormas
kecil tersebut. Bukan mereka yang menjadi lembut, malah ulama kita yang
terlihat ikut keinginan mereka.
Ini jelas menjadi persoalan besar. Saat turun ke jalan mereka
mengaku mengawal fatwa MUI. Namun, saat MUI meminta tidak perlu ada aksi massa
lanjutan, mereka tidak mempedulikannya. Perlu dipikirkan strategi lain agar
ormas kecil itu tidak semakin ngelunjak.
Di sisi lain, pemerintah pusat maupun daerah terkesan juga
memelihara keberadaan ormas kecil tersebut. Ormas kecil itu bisa dimanfaatkan
oleh pemerintah pada suatu episode ketika pemerintah membutuhkan dukungan massa
turun ke jalan, atau ormas kecil itu juga bisa digebuk oleh pemerintah pada
kesempatan lain. Ormas kecil dan garis keras juga memanfaatkan kegamangan
pemerintah dan ketidaktegasan aparat. Jadi, memang ini soal siapa saling
memanfaatkan apa atau siapa.
Bukan hanya ulama moderat yang terlihat menjadi mengeras setelah
mengakomodir ormas kecil dan garis keras. Bahkan sikap sejumlah pejabat atau
calon pejabat yang dulu dikenal moderat dan berwawasan luas juga ikut-ikutan
menjadi mengeras setelah membutuhkan dukungan publik dari ormas kecil yang hobi
menurunkan massanya ke jalan itu. Sekali lagi, merangkul mereka terbukti bukan
membuat sikap mereka melunak, malah membesarkan mereka dengan memberi
kesempatan luas memanfaatkan ruang publik.
Lalu, bagaimana solusinya? Solusi yang saya tawarkan adalah kita
harus memantapkan kembali tekad bahwa Islam moderat, Islam Nusantara, Islam
Berkemajuan atau Islam rahmatan
lil alamin (apa pun istilah yang kita gunakan) bukan sekadar
dipakai sebagai alat tawar semata (untuk mendapatkan manfaat tertentu) dan juga
bukan sekadar strategi di saat umat Islam lemah dan terpaksa mengalah, tapi
Islam yang moderat itu merupakan Islam itu sendiri.
Dengan demikian, mau umat Islam dalam kondisi damai atau perang,
dalam kondisi mayoritas atau minoritas, berkuasa atau tidak, Islam tetap harus
moderat dan rahmatan lil
alamin. Pemahaman ini harus terus ditanamkan dan diaplikasikan pada
umat.
Kritik saya pada ulama dan pejabat yang hanya menjadikan Islam
moderat sebagai alat tawar, strategi atau manhaj
belaka, adalah kita bermain di dua kaki. Kepada pihak luar, kita bicara Islam
moderat. Ke dalam umat sendiri, kita bicara soal bagaimana memukul pihak lawan
dan menguasai panggung kekuasaan.
Maka, tidak heran kedok mereka yang bermain di dua kaki selama ini
terbuka saat Pilkada DKI Jakarta 2017 ini: ungkapan rasis, provokatif, main isu
al-Maidah ayat 51, dan lainnya terbuka jelas bahwa bagi sebagian pihak Islam
moderat hanya dipakai sebagai alat tawar dan strategi belaka.
Di sisi lain, pemerintah dan DPR juga harus merevisi aturan main
agar ada mekanisme yang legal dan demokratis untuk menghambat pergerakan ormas
Islam kecil dan garis keras. Tokohnya ditangkap, misalnya, mereka bisa terus
bergerak. Ormasnya saat ini dibubarkan pun mereka bisa berganti nama keesokan paginya.
Jadi, harus ada aturan main yang disepakati bersama, baik dalam
bentuk undang-undang atau regulasi lainnya yang mengatur mekanisme verifikasi
dan kuota agar menjadi jelas siapa yang layak menjadi bagian dari ormas Islam
yang mewakili umat dan bernaung di bawah payung besar umat Islam.
Tanpa ada mekanisme legal dan demokratis yang menjadi konsensus
bersama, kita akan terus tersandera oleh ormas Islam yang kecil tapi nyaring
suaranya. []
GEOTIMES, 7 April 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU
Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar